Kaskus

Entertainment

tanmalako091539Avatar border
TS
tanmalako091539
Teater Kekuasaan dalam Sejarah dan Tragedi
Teater Kekuasaan dalam Sejarah dan Tragedi

Sejarah dan tragedi kerap dianggap sebagai fakta empiris yang tak terbantahkan, kejadian nyata yang terekam dalam waktu dan ruang. Namun, dalam kajian teori wacana dan semiotika modern, kita diajak untuk melihat dimensi lain: bahwa sejarah dan tragedi bukanlah sekadar kejadian objektif, melainkan konstruksi naratif yang dibentuk oleh relasi kekuasaan, bahasa, dan simbol.

Foucault menekankan konsep discourse—cara berbicara dan bercerita yang bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi sekaligus membentuk dan mengatur kebenaran. Kebenaran itu sendiri adalah produk dari power/knowledge, yaitu hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan yang menentukan siapa yang berhak menentukan realitas dan bagaimana realitas itu dipahami oleh masyarakat luas. Dalam konteks ini, sejarah Majapahit dan tragedi bom Makassar 2021 bisa dilihat sebagai dua sisi dari satu koin—narasi yang dipoles demi tujuan tertentu.

Sejarah Majapahit selama ini diajarkan sebagai lambang kejayaan Nusantara, sebuah era gemilang yang menjadi fondasi kebanggaan nasional. Gajah Mada, tokoh sentral, diubah menjadi legenda heroik, pahlawan nasional yang melambangkan persatuan dan kekuatan. Namun jika kita membaca dengan pendekatan dekonstruktif ala Roland Barthes, sejarah ini bukan sekadar kisah objektif, melainkan mitos yang sengaja dibangun (myth) untuk memproduksi kesatuan identitas yang homogen. Sebuah narasi yang mengaburkan kontradiksi sosial, kekerasan, dan pengaruh kolonial yang justru mendefinisikan masa lalu secara lebih kompleks dan menyakitkan.

Kini, jika kita beralih pada tragedi bom Makassar, kejanggalan-kejanggalan yang muncul tidak bisa dianggap enteng. Rekaman CCTV yang beredar bukanlah hasil dokumentasi langsung, melainkan rekaman ulang dengan ponsel. Kamera pengawas yang digunakan bukan milik gereja, melainkan dari gedung seberang yang memang difungsikan secara aneh seolah sudah disiapkan untuk merekam ledakan. Foto pelaku yang tersebar tampak diambil dengan sudut rendah dan sangat dekat, berbeda jauh dari standar pengawasan CCTV biasa. Waktu ledakan, 10:28, bukan angka yang lazim disebutkan secara bulat, melainkan sebuah angka yang mengandung simbolisme religius, merujuk pada ayat Matius 10:28.

Jean Baudrillard, dengan konsep simulacra dan simulasi, memberi kita lensa untuk memahami fenomena ini: di mana realitas dan tiruan bercampur sampai sulit dibedakan. Video dan foto yang beredar bukan sekadar rekaman fakta, melainkan tiruan fakta yang telah dimanipulasi untuk menciptakan sebuah “kenyataan” baru yang bisa dikontrol dan dimanfaatkan. Sebuah hyperreality di mana peristiwa asli kehilangan keotentikannya, digantikan oleh versi yang sudah disunting, dikemas untuk konsumsi publik yang ingin diseret ke dalam narasi tertentu.

Narasi ini kemudian diposisikan dalam bingkai besar perang melawan radikalisme dan fundamentalisme agama — tema yang sudah menjadi mesin penggerak utama wacana keamanan dan politik global. Kelompok-kelompok yang berperan sebagai produsen narasi ini memiliki agenda yang tidak selalu transparan. Mereka adalah gatekeeper modern, yang menjaga pintu masuk makna agar hanya versi cerita tertentu yang lolos dan diterima masyarakat luas. Ketakutan yang mereka produksi menjadi alat kontrol sosial yang sangat efektif: menciptakan solidaritas palsu dan memupuk kebencian terhadap “musuh” yang selalu berubah wajah.

Derrida, dengan konsep différance, mengingatkan kita bahwa makna tidak pernah tetap; selalu terbuka pada penafsiran dan pergeseran. Narasi bom Makassar ini sengaja dibuat berlapis-lapis dan kabur agar tak mudah diurai, supaya kekuasaan bisa terus mengendalikannya. Dengan begitu, publik yang bingung menjadi mudah dikendalikan dan dijaga agar tidak bertanya terlalu dalam.

Benedict Anderson pun menyentil dengan konsep imagined community, bahwa bangsa dan identitas kolektif dibangun bukan atas dasar realitas objektif, tapi atas narasi dan simbol yang dibayangkan bersama. Dalam konteks ini, narasi terorisme dan radikalisme menjadi bahan bakar penting untuk mengukuhkan ikatan sosial yang dibangun atas dasar ketakutan bersama dan musuh yang disepakati.

Puncak ironi terletak pada pelaku yang seringkali dijadikan kambing hitam. Mereka bukan hanya korban dari sistem yang lebih besar, tetapi juga korban langsung dari narasi yang mengorbankan mereka demi menjaga citra dan stabilitas. Mereka adalah boneka dalam sandiwara kekuasaan yang mengorbankan tubuh dan nama baik demi pertunjukan yang menghibur para penguasa.

Kita bisa membayangkan mereka sebagai tokoh dalam sebuah liturgi yang telah dirancang dengan cermat: korban yang “terpilih” untuk menjalankan peran tragis di panggung sejarah modern, di mana kematian mereka dimanipulasi agar berfungsi sebagai simbol dan alat kontrol sosial. Mereka adalah figur malang yang terjebak di dalam scripted trauma — penderitaan yang dipentaskan untuk melanggengkan sebuah narasi palsu.

Dalam pusaran narasi ini, kita menyaksikan sebuah tragedi yang bukan semata-mata tragedi kemanusiaan, melainkan tragedi epistemologis dan politik: bagaimana pengetahuan dan kebenaran diproduksi dan diatur untuk melayani kekuasaan. Kesadaran kritis menjadi senjata utama untuk membedah lapisan-lapisan sandiwara ini, membuka tabir manipulasi dan menghadirkan ruang bagi sejarah dan peristiwa yang lebih jujur dan kompleks.

Pada akhirnya, kita bukan sekadar menyaksikan tragedi bom Makassar atau merayakan kejayaan Majapahit. Kita sedang menonton sebuah pertunjukan besar di mana realitas direkayasa, kebenaran dimanipulasi, dan manusia menjadi pion dalam drama kekuasaan yang tak kenal belas kasihan.
0
7
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan