- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
10 28: Teologi di Balik Teror


TS
tanmalako091539
10 28: Teologi di Balik Teror

"Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka."
--- Matius 10:28
Di antara rangkaian ayat Injil yang melintasi batas liturgi dan politik, Matius 10:28 memegang posisi strategis sebagai imperatif eksistensial sekaligus artikulasi teologis atas relasi antara kekuasaan, ketakutan, dan tubuh manusia. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang martyria---kesaksian iman dalam penderitaan---tetapi juga memproduksi kerangka interpretatif yang memungkinkan sebuah tindak kekerasan memperoleh justifikasi spiritual.
Tatkala ledakan mengguncang halaman depan sebuah gereja di Makassar pada pukul 10:28 WITA, waktu itu menjadi lebih dari sekadar penanda kronologis. Ia berubah menjadi penanda simbolik. Waktu 10:28 bukanlah angka acak. Ia merepresentasikan struktur tanda yang menunjuk kembali ke teks suci, menciptakan resonansi antara peristiwa dunia dan teks ilahi. Maka, pertanyaan yang perlu diajukan bukan lagi "apa yang terjadi?" melainkan "mengapa waktu 10:28 dipilih?" dan "pesan apa yang ingin diciptakan melalui waktu tersebut?"
Dalam kajian teologi dan semiotika kekuasaan, waktu bukan hanya chronos---aliran linier peristiwa---melainkan juga kairos, momen yang sarat makna, titik intervensi ilahi atau politis dalam sejarah. Waktu 10:28 bukanlah kronologi, melainkan kairologi: pemilihan waktu untuk menciptakan resonansi dengan Matius 10:28. Ini adalah bentuk theological encoding---pengkodean spiritual dalam tubuh publik.
Teori Michel Foucault tentang regimes of truth memberikan kita kerangka untuk memahami bagaimana kebenaran diproduksi bukan lewat fakta, melainkan lewat struktur wacana yang mengatur persepsi. Dalam konteks ini, waktu ledakan adalah bagian dari apparatus produksi makna. Ia menjadi semacam ritualized index, penanda simbolik yang memungkinkan sebuah kekerasan dibaca sebagai penganiayaan religius, dan karenanya membangkitkan afeksi solidaritas terhadap komunitas iman yang dianggap diserang.
Jean Baudrillard pernah menulis bahwa dalam dunia yang dibanjiri simulakra, terorisme bekerja bukan hanya melalui ledakan fisik, tetapi melalui "symbolic exchange of death"---pertukaran simbolik kematian. Ledakan di Makassar, jika ditinjau dari waktu yang nyaris identik dengan ayat injil, menjelma menjadi lebih dari sekadar aksi kekerasan. Ia menjadi teater spiritual, sebuah dramaturgi penderitaan yang mengundang konversi afeksi publik ke dalam kerangka iman.
Inilah yang disebut Giorgio Agamben sebagai sacralization of violence---proses di mana kekerasan diserap ke dalam logika kesucian. Tubuh yang hancur bukan lagi hanya korban, melainkan altar. Waktu yang dipilih bukan sekadar teknis, melainkan divine appointment. Maka, jika benar waktu 10:28 dipilih secara sadar, kita berhadapan dengan bentuk mutakhir dari apa yang disebut Ren Girard sebagai scapegoating [i]mechanism---pengorbanan simbolik yang dibutuhkan untuk menyatukan komunitas melalui rasa takut bersama.
Setiap peristiwa besar selalu diikuti oleh narasi. Namun tidak semua narasi muncul secara natural. Dalam [i]Critical Discourse Analysis, wacana dipahami sebagai produk kekuasaan dan alat kontrol sosial. Maka, wacana "gereja dibom oleh pelaku radikal" yang dikaitkan dengan waktu 10:28 membentuk skenario predetermined moral axis---garis moral yang sudah disiapkan sebelumnya. Di satu sisi, umat yang diserang disebut "tak bersalah" dan "setia"; di sisi lain, pelaku disimbolkan sebagai "kekuatan jahat" yang layak dimusnahkan.
Waktu yang terlalu presisi (10:28), lokasi yang penuh muatan religius (gereja), dan narasi cepat dari aparat (teroris ISIS, suami-istri pelaku bom bunuh diri, dll.) adalah elemen dari scripted trauma---trauma yang dirancang agar bisa segera dikapitalisasi secara politis dan religius. Dalam terminologi Slavoj Zizek, ini adalah bentuk "ideological fantasy": peristiwa yang tampaknya nyata, tapi sebenarnya diproduksi untuk mengisi kekosongan dalam struktur ideologis dominan.
Kecurigaan bahwa bom Makassar adalah rekayasa bukan sekadar teori pinggiran. Ia berakar pada analisis terhadap modus operandi kekuasaan dalam membentuk musuh internal. Dalam banyak negara pascakolonial, terorisme berfungsi sebagai narasi perekat nasionalisme dan alat legitimasi terhadap militerisme. Negara modern membutuhkan teror agar tetap bisa mengatur melalui rasa takut.
Ledakan pada 10:28 bisa dibaca sebagai bagian dari liturgi negara---ritual kekerasan yang dihadirkan agar negara bisa tampil sebagai penyelamat. Sama seperti misa atau jumatan yang memiliki waktu tetap, struktur, dan tujuan spiritual, maka ledakan teror pun memiliki struktur, waktu, dan tujuan politis. Ia bukan insiden, tapi inskripsi; bukan gangguan, tapi grammar kekuasaan.
Matius 10:28 bukan ayat sembarangan. Ia mengandung kekuatan untuk menggerakkan afeksi massa, membangun rasa takut, dan memproduksi kesetiaan terhadap otoritas spiritual. Jika waktu 10:28 dipilih untuk menciptakan asosiasi ini, maka kita harus bertanya: siapa yang memilihnya, dan untuk tujuan apa?
Dalam dunia di mana kebenaran sering dikonstruksi melalui waktu dan simbol, maka analisis terhadap bom Makassar tidak bisa hanya berhenti pada teknis forensik atau investigasi aparat. Ia harus masuk ke wilayah semiotika, teologi, dan politik pengetahuan.
Karena terkadang, yang meledak bukan hanya tubuh---tetapi akal sehat kolektif kita.
0
12
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan