- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Resensi Film Dogtooth (2009): Dunia yang Dikurung dalam Bahasa


TS
tanmalako091539
Resensi Film Dogtooth (2009): Dunia yang Dikurung dalam Bahasa

Ada dunia (world) sebelum kata (word), dunia di mana kita tidak punya bayangan sama sekali tentangnya, tapi kita tak pernah tinggal di sana. Kita lahir, dibungkus nama, dan langsung ditenggelamkan ke dalam sistem simbol. Dogtooth (2009), film karya Yorgos Lanthimos yang dibintangi oleh Christos Stergioglou, Michelle Valley, Angeliki Papoulia, Mary Tsoni, dan Christos Passalis, memperlihatkan kepada kita apa yang terjadi bila satu keluarga menciptakan ulang dunia dari nol---dengan bahasa sebagai alat sekaligus pagar.
Tiga anak dibesarkan tanpa akses ke luar rumah, tanpa televisi, tanpa konsep dunia luar, dan lebih mengerikannya: tanpa makna yang disepakati secara universal. Di dunia mereka, "laut" berarti kursi, "telepon" adalah garam, dan "zombie" adalah bunga kecil. Setiap kata telah diganti definisinya oleh sang ayah, dan tak seorang pun bisa menolak. Mereka tidak tahu bahwa kata-kata itu bisa berarti lain, karena mereka tidak tahu bahwa dunia lain itu ada.
Di sinilah kekuasaan Dogtooth bekerja: dalam diam, dalam kamus yang dipalsukan. Ketika orang bertanya, "mengapa mereka tidak kabur?", jawabannya adalah: kabur ke mana? Apa itu "kabur"? Apa itu "ke luar"? Mereka tidak punya kata untuk membayangkan kebebasan.
Yorgos Lanthimos tidak menggambarkan sang ayah sebagai tiran yang bengis. Ia bukan monster dalam arti konvensional. Christos Stergioglou memainkannya sebagai pria tenang, penyayang dalam versinya, dan sangat yakin bahwa ia melindungi anak-anaknya dari kekotoran dunia. Tapi justru di situlah letak kekerasannya: ia tak hanya mengunci pintu, tetapi juga mengunci makna. Dan begitu makna dikunci, realitas berhenti berkembang.
Angeliki Papoulia dan Mary Tsoni memerankan dua anak perempuan yang hidup dalam rutinitas absurditas domestik: menari, berenang, belajar kata-kata palsu, dan menerima kehadiran seorang wanita dari luar (dengan mata ditutup) yang didatangkan hanya untuk kebutuhan seksual sang anak lelaki. Dunia mereka stabil, steril, dan tak terganggu---sebuah simulasi utopia yang sebenarnya distopia linguistik.
Dogtooth bukan film horor, tetapi terasa seperti mimpi buruk bagi siapa saja yang pernah percaya bahwa dunia bisa ditafsirkan secara bebas. Dunia dalam film ini bukan tempat; ia adalah sistem pengertian. Dunia tidak runtuh karena perang, tetapi karena tidak ada kata yang cukup untuk menunjuk kenyataan. Dalam semesta Dogtooth, kebebasan bukan direnggut---ia bahkan belum sempat ditemukan.
Namun film ini tidak sepenuhnya asing. Ia justru terasa sangat dekat. Bukankah kita juga dibesarkan dalam sistem bahasa yang sudah siap pakai? Kita diberi nama sebelum bisa memilih, diberi Tuhan sebelum bisa bertanya, diberi bendera sebelum bisa membaca. Kita menyerap dunia melalui kata-kata yang diwariskan, dan jarang punya kesempatan untuk menguji apakah dunia itu sungguh milik kita.
Yorgos Lanthimos menggunakan kamera statis dan dialog datar untuk menciptakan rasa asing yang tenang, seolah memperlihatkan bahwa ini bukan kegilaan, tapi ketertiban yang salah. Tidak ada kekerasan visual yang eksplisit, tetapi kekerasan simbolik meresap ke setiap adegan. Ketika seorang anak memukul giginya sendiri hingga copot---karena percaya bahwa itu syarat untuk keluar rumah---kita menyadari bahwa luka paling dalam bukan di tubuh, tetapi di struktur makna.
Judul film ini, Dogtooth, sendiri adalah lelucon sinis: gigi anjing yang katanya harus copot agar seseorang bisa keluar rumah. Tentu saja tidak ada dasar biologis untuk itu. Tapi itu bukan soal kebenaran, melainkan kredo. Dalam dunia tertutup, kredo bisa jadi kebenaran mutlak. Dan untuk keluar dari kredo, seseorang harus melukai dirinya lebih dulu. Haruskah semua pelarian dimulai dengan pengorbanan?
Michelle Valley, sebagai sang ibu, memperkuat absurditas rumah ini dengan kehadiran yang hampir transparan. Ia tidak menindas, tapi juga tidak melindungi. Ia diam bukan karena tidak tahu, tetapi karena ia sendiri sudah jadi bagian dari dunia yang dikondisikan. Dogtooth menunjukkan bahwa pelaku kekerasan simbolik tidak harus sadar diri---bahkan bisa jadi mereka percaya bahwa mereka sedang mencintai.
Apa yang disampaikan film ini bukan hanya tentang keluarga, tetapi tentang kita semua: tentang bagaimana dunia adalah kesepakatan yang diturunkan, bukan kenyataan yang ditemukan. Dunia adalah konsensus linguistik yang diulang-ulang sampai terasa alamiah. Dalam dunia Dogtooth, dunia itu tidak pernah datang. Yang ada hanya tiruan dunia, versi kecil yang dikontrol penuh oleh otoritas tunggal.
Film ini bisa dibaca sebagai alegori tentang negara, agama, sistem pendidikan, bahkan media. Semua institusi itu memiliki kekuatan untuk mengatur apa yang boleh dikatakan dan apa yang dianggap "tidak masuk akal". Tapi Dogtooth menghindari khotbah. Ia tidak menyodorkan argumen, melainkan menciptakan ruang kontemplasi lewat absurditas yang menyakitkan. Kita tidak disuruh membenci, hanya diajak untuk menoleh ke rumah masing-masing dan bertanya: siapa yang pertama kali mengajariku arti dunia?
Dan mungkin, pada akhirnya, kita menyadari bahwa kita juga sedang mencoba mencabut gigi taring itu---diam-diam, dalam doa, dalam tulisan, dalam mimpi yang belum sempat kita artikulasikan. Sebab, di luar pagar bahasa yang kita kenal, mungkin masih ada dunia lain yang belum disebutkan namanya.
0
16
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan