Kaskus

Entertainment

tanmalako091539Avatar border
TS
tanmalako091539
Melacak Jejak Dana Misterius di Lingkungan Passobis Sidrap
Melacak Jejak Dana Misterius di Lingkungan Passobis Sidrap

Sulawesi Selatan tengah menyaksikan fenomena sosial-ekonomi yang semakin kompleks. Di balik hingar-bingar kehidupan digital, muncul kelompok pelaku penipuan daring yang secara lokal dikenal sebagai passobis. Aktivitas mereka tampak sepele—menjual barang fiktif secara daring lalu menghilang begitu uang ditransfer. Namun yang mencemaskan bukan hanya modusnya, melainkan dampak sosial dan pola hidup yang menyertainya.

Passobis tidak lagi beroperasi secara sembunyi-sembunyi. Di sejumlah desa di Sidrap, misalnya, masyarakat sudah mafhum siapa yang berstatus sebagai passobis. Yang menarik, kelompok ini sering kali menunjukkan gaya hidup yang cukup mencolok. Mereka mampu membeli kendaraan secara kontan, membangun rumah permanen, dan bahkan menjadi donatur dadakan dalam berbagai acara sosial dan hiburan malam. Padahal, jika hanya mengandalkan keuntungan dari praktik penipuan daring tersebut, apa yang mereka tampilkan jelas jauh melampaui nalar ekonomi.

Secara kasat mata, aktivitas sobis terlihat seperti kejahatan tingkat rendah. Tapi belakangan muncul dugaan bahwa praktik ini hanyalah kedok semata—sebuah tirai yang menutupi aliran dana dari sumber-sumber lain yang lebih besar dan tersembunyi. Istilah “ekonomi bayangan” menjadi relevan ketika kita menyaksikan perputaran uang tunai dalam jumlah besar, tanpa jejak produktivitas ekonomi yang sepadan.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Dalam sejumlah hajatan rakyat seperti panggung organ tunggal dan pertunjukan DJ, kerap terlihat aksi saweran secara spontan oleh beberapa individu yang dikenal sebagai passobis. Mereka melemparkan lembaran uang asli—dalam nominal yang tidak kecil—ke atas panggung, sebagai bentuk dukungan sekaligus pamer kuasa ekonomi. Saweran ini bukan sekadar ekspresi hiburan, tetapi sinyal kuat bahwa ada surplus uang tunai yang beredar di luar logika penghasilan resmi.

Perlu digarisbawahi: uang yang beredar di lingkungan passobis adalah uang sungguhan—bernilai, bisa dibelanjakan, dan diterima oleh masyarakat luas. Ini bukan uang palsu. Justru karena itulah, muncul kecurigaan: jika sobis hanya sekadar modus kecil-kecilan, dari mana sebenarnya asal muasal dana tunai yang begitu besar?

Seperti dua sisi mata uang, berita mengenai percetakan uang palsu di lingkungan kampus UIN Alauddin Makassar pada awal 2025 juga memantik pertanyaan. Kasus tersebut melibatkan oknum pegawai yang diketahui mencetak lembaran menyerupai pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu dengan teknologi printer digital. Meski skala kejadiannya tergolong kecil dan cepat ditindak, publik dibuat bertanya: apakah kasus ini berdiri sendiri, atau justru sengaja diekspos untuk mengalihkan perhatian dari aliran dana misterius yang lebih besar?

Dalam praktik pengelolaan opini publik, strategi semacam ini kerap disebut narrative diversion—pengalihan perhatian masyarakat lewat ekspos kasus yang terlihat serius, namun sebenarnya berfungsi mengaburkan persoalan struktural yang jauh lebih mengakar. Bisa jadi, kasus uang palsu di UIN hanyalah satu babak kecil dalam skenario yang lebih besar, di mana narasi penegakan hukum dikedepankan untuk menutupi sumber dana ilegal yang tak kunjung teridentifikasi.

Fenomena ini berbahaya bukan hanya karena potensi pelanggaran hukumnya, tetapi juga karena ia menggerus tatanan nilai sosial. Ketika seorang passobis dihormati karena kedermawanan dan kemampuan ekonominya, maka norma keberhasilan pun berubah. Generasi muda mulai percaya bahwa jalan pintas melalui tipu daya lebih menjanjikan ketimbang kerja keras dan pendidikan. Dalam waktu yang tidak lama, masyarakat bisa terjebak dalam ilusi kolektif bahwa kebohongan yang berhasil adalah kesuksesan itu sendiri.

Lebih jauh, jika uang dari skema semacam ini masuk ke dalam ranah politik, kita bisa membayangkan munculnya elite lokal baru yang dibentuk bukan oleh kapasitas atau integritas, melainkan oleh daya beli terhadap loyalitas. Demokrasi lokal pun terancam berubah menjadi pasar transaksional, di mana dukungan dijual, jabatan dibeli, dan pemerintahan menjadi pelayan ekonomi gelap.

Di tengah semua kecurigaan dan sinyal sosial ini, kita masih menanti langkah serius dari negara. Bukan semata-mata penanganan simbolik, melainkan pengusutan menyeluruh terhadap struktur distribusi dana ilegal di tingkat lokal. Jika tidak, Sulawesi Selatan—khususnya daerah seperti Sidrap—akan terjebak dalam sirkulasi ekonomi bayangan yang melanggengkan kemiskinan struktural dan merusak fondasi moral masyarakat.

Sobis mungkin tampak kecil. Tapi jika ia menjadi pintu masuk bagi pembiaran sistemik terhadap uang misterius, maka kejahatan itu bukan lagi masalah individu. Ia adalah cermin dari kegagalan negara membaca denyut ekonomi rakyatnya sendiri.

Sobis, dalam konteks ini, tidak lebih dari topeng sosial yang sengaja dipertontonkan untuk menutupi sesuatu yang lebih besar: peredaran uang misterius yang tidak dapat ditelusuri sumbernya secara formal. Aktivitas penipuan daring itu hanya menjadi narasi pelindung agar masyarakat percaya bahwa kekayaan para passobis berasal dari hasil kerja, betapapun menyalahi hukum.

 Sementara itu, isu pencetakan uang palsu yang mencuat di Makassar seolah menjadi pengalih perhatian—sebuah skenario yang mengalihkan fokus publik dari aliran dana asli yang jauh lebih mencurigakan. Dengan menyoroti uang palsu, masyarakat diarahkan untuk curiga pada apa yang palsu secara bentuk, namun lupa mempertanyakan apa yang palsu secara struktural: asal-usul kekayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

Di sinilah letak persoalan yang sesungguhnya—di antara realitas yang tak terjelaskan dan narasi yang sengaja diarahkan.
0
15
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan