- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kejanggalan-Kejanggalan Bom Makassar 2021


TS
tanmalako091539
Kejanggalan-Kejanggalan Bom Makassar 2021

Pukul 10:28 WITA, Minggu 28 Maret 2021, sebuah dentuman mengguncang Makassar. Ledakan itu---secara harfiah dan simbolik---mengoyak lanskap keimanan, keamanan, dan kewarasan kolektif kita. Media nasional segera menyiarkan berita: bom bunuh diri di depan Gereja Katedral. Dua pelaku, sepasang suami istri, konon meledakkan diri di tengah jemaat yang baru saja selesai misa. Umat panik. Negara siaga. Narasi dibentuk.
Namun, di balik narasi yang disusun dengan cepat dan rapi, terdapat serpihan-serpihan keganjilan---rekahan kecil dalam bangunan wacana resmi yang membuka celah bagi kecurigaan kritis. Ledakan ini bukan sekadar tindak kekerasan. Ia menyerupai scripted ritual, sebuah liturgi kekuasaan, tempat tubuh manusia dijadikan alat, waktu dijadikan simbol, dan narasi dijadikan dogma.
Video "detik-detik ledakan" segera viral di media sosial. Namun satu fakta kecil terlewatkan oleh banyak orang: rekaman itu bukan footage asli CCTV, melainkan hasil re-recording---dokumentasi ulang menggunakan ponsel terhadap layar monitor. Tidak ada raw footage, tidak ada timestamp digital, tidak ada metadata yang bisa diverifikasi.
Secara semiotik, ini adalah second order image---gambar dari gambar, tanda dari tanda. Jean Baudrillard menyebutnya simulacrum: representasi yang tidak lagi merujuk ke realitas, tapi menciptakan realitas alternatif. Maka ledakan itu sejak awal telah dibingkai, disutradarai, dan didistribusikan bukan sebagai fakta, melainkan truth effect---efek dari sesuatu yang ingin diyakini benar.
Video tersebut tidak berasal dari kamera gereja, tetapi dari gedung di seberang jalan. CCTV-nya tidak merekam halaman sendiri, melainkan memiring ke kiri, seolah-olah dipasang secara khusus untuk menangkap ledakan yang akan terjadi. Angle-nya tidak lazim untuk sebuah kamera pengawas.
Apakah mungkin suatu CCTV secara kebetulan mengarah tepat ke titik ledakan, tanpa alasan keamanan terhadap halaman gedungnya sendiri? Apakah kamera itu mengintai sesuatu yang belum terjadi---atau justru sesuatu yang sudah dijadwalkan?
Tubuh pelaku pria dan wanita ditemukan dalam keadaan tercerai-berai. Namun pose terakhir mereka, yang terekam sebelum ledakan, justru memunculkan tanda tanya lain: siapa yang memotret mereka saat sedang berboncengan? Foto itu tajam, bersih, dan memiliki angle terlalu rendah untuk kamera pengintai biasa. Jika dari CCTV, mengapa bukan videonya yang dirilis? Jika dari aparat, mengapa tidak dicegah?
Postur perempuan juga ganjil: ia duduk menyamping ke kanan, padahal posisi umum di Indonesia adalah menghadap ke kiri, demi stabilitas tubuh di atas motor. Maka tubuh yang menjadi pelaku justru tampil sebagai mise en scne---setting panggung---di mana kematian mereka telah dipersiapkan bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk dipertontonkan.
Ledakan terjadi pada pukul 10:28. Waktu ini terlalu presisi, terlalu "rapi" untuk sekadar hasil kebetulan. Ia tidak bulat (misal: 10:30 atau 11:00), tidak lazim (karena gereja biasanya sudah selesai misa sejak pukul 10). Namun angka ini memiliki resonansi simbolik yang mengejutkan---dan menggetarkan.
Matius 10:28 dalam Alkitab berbunyi:
"Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa..."
Sebuah seruan spiritual untuk tidak gentar menghadapi kekerasan fisik---karena yang utama adalah keselamatan jiwa. Jika waktu ledakan dikodekan pada ayat ini, maka ledakan itu bukan hanya peristiwa fisik, melainkan pernyataan teologis, spiritualized violence yang mengonstruksi pelaku sebagai kekuatan jahat dan umat sebagai martir.
Waktu menjadi ayat. Ayat menjadi narasi. Narasi menjadi kebenaran.
Penting untuk mencermati siapa yang paling cepat menyusun narasi setelah ledakan. Dalam waktu kurang dari 24 jam, media arus utama, aparat keamanan, dan pengamat terorisme menyampaikan simpulan: pelaku adalah bagian dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), berafiliasi ISIS, dan telah "terpantau" selama beberapa waktu.
Namun, narasi ini tidak lahir di ruang hampa. Ia dibentuk dan dipelihara oleh jaringan intelektual dan lembaga think tank yang selama dua dekade terakhir memproduksi diskursus tentang "bahaya Islam radikal", "fundamentalisme agama", dan "ekstremisne".
Melalui studi kebijakan, publikasi media, dan pelatihan kontra-radikalisasi, mereka menciptakan hegemoni diskursif atas siapa yang layak dicurigai, siapa yang dianggap "rentan radikal", dan siapa yang pantas dikebiri secara simbolik. Konsep-konsep seperti preventive deradicalization, early warning, dan violent extremism monitoring telah menjadi perangkat epistemik dalam menciptakan "musuh internal" permanen.
Narasi ini sangat kompatibel dengan kepentingan negara dan aktor global dalam mengontrol agama sebagai entitas sosial-politik. Maka tidak mengherankan jika tiap ledakan selalu disusul oleh narasi anti-fundamentalisme yang nyaris siap saji, lengkap dengan data grafis, kutipan tokoh, dan peta jaringan.
Ledakan menjadi panggung, dan wacana kontra-radikalisme menjadi sutradara yang tak terlihat.
Jika semua kejanggalan ini kita satukan---rekaman tak asli, CCTV nyeleneh, pose tubuh yang janggal, waktu simbolik, dan narasi instan yang ditulis oleh aktor-aktor global---maka kita berhadapan bukan dengan terorisme biasa, tapi dengan liturgi kekuasaan. Ledakan menjadi ritual simbolik, media menjadi mimbar, dan korban menjadi tumbal.
Negara modern sering memerlukan musuh internal untuk mempertahankan solidaritas eksternal. Dalam kerangka Giorgio Agamben, ini adalah produksi homo sacer---figur manusia yang bisa dikorbankan tanpa konsekuensi hukum, justru demi memurnikan ruang publik. Si pelaku bom, yang tak bisa bicara karena sudah hancur, menjadi kambing hitam dalam upacara penguatan negara.
Ledakan bom Makassar bukan sekadar dentuman. Ia adalah bentuk ekspresi teologis kekuasaan dalam bentuk kekerasan simbolik. Ia bukan insiden, melainkan inskripsi---penulisan ulang sejarah melalui tubuh yang hancur dan waktu yang disakralkan. Dari CCTV yang salah arah, hingga waktu yang menunjuk ke Injil, semuanya menyatu dalam satu dramaturgi besar: teror sebagai wahyu.
Dan jika benar ini semua adalah rekayasa, maka kita tidak sedang menyaksikan seorang pelaku yang fanatik, melainkan seorang manusia yang dikutuk dalam diam, dipilih sebagai simbol, lalu dikorbankan dalam ritual kekuasaan. Ia mungkin tidak tahu apa yang ia tunggangi, tidak paham naskah besar yang sedang dimainkan. Ia---yang kini tak bersuara, tak utuh, tak dikenal---bisa jadi adalah korban dari terorisme yang sesungguhnya: terorisme yang tidak meledakkan bom, tetapi meledakkan makna, logika, dan kemanusiaan itu sendiri.
Mereka membunuhnya dua kali. Sekali dengan bom, sekali dengan narasi.
Diubah oleh tanmalako091539 Hari ini 11:37
0
25
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan