Kaskus

Entertainment

tanmalako091539Avatar border
TS
tanmalako091539
Satire Arkeologi dari Trowulan: Kritik Sumber Data Sejarah Majapahit
Satire Arkeologi dari Trowulan: Kritik Sumber Data Sejarah Majapahit

Masyarakat kita memiliki kebiasaan aneh: mempercayai masa lalu seperti mempercayai ramuan herbal dari iklan televisi---tanpa pernah membaca komposisinya. Ambil contoh Majapahit. Nama ini sering diucapkan dengan nada sakral, seolah setiap bata merah yang muncul di ladang tebu otomatis menjadi saksi bisu kejayaan nenek moyang. Padahal, jika semua bata merah itu benar-benar Majapahit, maka mungkin separuh Jawa Timur adalah candi raksasa yang runtuh karena kelelahan.

Di laboratorium arkeologi, Majapahit tidak bisa dibangkitkan hanya dengan retorika. Ia harus dihidupkan lewat tes karbon, termoluminesensi, stratigrafi, dan segala metode ilmiah yang sering dihindari para sejarahwan karena terlalu mengganggu plot nasionalisme.

Candi yang kita klaim dari abad ke-14 harus diuji komposisi batanya. Kalau ternyata kandungan mineralnya menunjukkan teknik pembakaran modern, maka yang kita hadapi bukan peninggalan Majapahit, melainkan hasil kreativitas tukang batu desa pada tahun 1970 yang mungkin pernah ikut proyek perumahan di Trowulan.

Lalu ada prasasti. Ah, prasasti! Batu dengan ukiran aksara Kawi ini sering dijadikan bukti mutlak. Namun, paleografi tanpa penanggalan material ibarat menikahi seseorang hanya berdasarkan foto masa SMP---kita tidak tahu kondisinya sekarang, apalagi apakah fotonya asli. Ukiran bisa dibuat ulang oleh tukang pahat modern dengan ketelitian yang mengagumkan. Karena itu, batu prasasti harus diuji umur materialnya. Jika hasilnya menunjukkan "lahir" pada 1850, maka jelas ia hanyalah imitasi kolonial yang mungkin dibuat untuk memuaskan rasa lapar Belanda terhadap eksotisme Jawa.

Masalah berikutnya adalah konteks situs. Artefak yang benar-benar sezaman akan ditemukan in situ, tertanam di lapisan tanah yang konsisten dengan kronologi lokal. Tetapi banyak "peninggalan Majapahit" muncul tanpa alamat asal, seperti anak yang tiba-tiba mengaku keluarga Anda hanya karena membawa foto lama. Prasasti yang ditemukan di halaman belakang rumah seorang kolektor tanpa catatan penggalian resmi sama meragukannya dengan surat wasiat yang diketik kemarin sore.

Para sejarahwan sering mengeluh bahwa metode ilmiah ini "membunuh kebanggaan bangsa". Mereka benar dalam satu hal: metode ini memang membunuh kebohongan. Sains tidak peduli apakah hasilnya membuat kita bangga atau malu. Jika radiokarbon menunjukkan bahwa sisa arang di dalam candi berasal dari abad ke-17, maka seluruh pidato tentang "pusaka Majapahit" harus diganti dengan "pusaka Mataram" atau bahkan "pusaka pembakaran dapur umum".

Namun, permainan satir paling indah muncul ketika kita membandingkan bukti arkeologi dengan sumber asing sezaman. Catatan Tiongkok abad ke-14, misalnya, bisa menyebut adanya negeri perdagangan di Jawa. Tetapi jika artefak yang kita temukan sama sekali tidak menunjukkan jaringan perdagangan internasional, maka mungkin yang dimaksud dalam catatan Tiongkok adalah pelabuhan kecil yang di kemudian hari dipromosikan menjadi kerajaan superpower oleh penulis naskah istana. Ini seperti menemukan kuitansi warung kopi lalu menafsirkannya sebagai bukti bahwa pemilik warung adalah pengendali ekonomi dunia.

Laboratorium juga bisa membongkar tipu daya penuaan buatan. Permukaan batu yang digosok asam atau dibakar ringan agar terlihat tua akan meninggalkan pola korosi yang tidak alami. Di bawah mikroskop elektron, semua kebohongan itu tampak jelas. Batu tua palsu akan mempermalukan pengagumnya, sama seperti wig murahan mempermalukan pemakainya di tengah angin kencang.

Sayangnya, sebagian besar narasi Majapahit yang beredar di buku pelajaran tidak pernah melewati tahap verifikasi ilmiah yang ketat. Banyak yang hanya mengulang cerita Nagarakretagama atau Pararaton, yang ditulis dari sudut pandang politik internal istana. Mengandalkan sumber tunggal ini untuk menggambarkan seluruh Nusantara abad ke-14 sama naifnya dengan mengandalkan brosur hotel untuk memahami sejarah kota tempat hotel itu berdiri.

Dengan metode yang benar, Majapahit bisa menyusut drastis ukurannya. Mungkin ia hanya kerajaan regional dengan beberapa pusat perdagangan, bukan imperium yang membentang "dari Sabang sampai Merauke" seperti yang sering dikhotbahkan. Tetapi inilah risiko penelitian: Anda harus siap menerima kenyataan bahwa kebesaran nenek moyang Anda mungkin hanya sebesar kecamatan.

Ironisnya, jika kita benar-benar jujur dan hanya memakai bukti yang lolos uji otentisitas serta orisinalitas, maka sebagian "warisan Majapahit" yang kita cintai bisa jadi pindah label menjadi "warisan kolonial tentang Majapahit".

Artinya, apa yang kita yakini sebagai fakta sejarah adalah hasil rekayasa abad ke-19 yang dirancang untuk memudahkan Belanda menguasai Jawa melalui narasi kejayaan masa lampau. Dan ketika kita melanjutkan narasi itu tanpa kritik, kita sesungguhnya sedang bekerja sebagai humas warisan kolonial, gratis.

Kesimpulannya, menghidupkan Majapahit memerlukan kerja ilmiah yang melelahkan, sering kali menyakitkan bagi para pencinta candi, dan sama sekali tidak cocok untuk orasi politik.

Namun, jika tujuan kita adalah kebenaran, bukan sekadar kebanggaan, maka kita harus rela menyalakan lampu mikroskop dan mematikan lampu sorot panggung.

Karena hanya di laboratorium, Majapahit bisa dibuktikan hidup; dan hanya di laboratorium pula ia bisa dimakamkan secara terhormat---tanpa pidato panjang, tanpa sumpah Gajah Mada, dan tanpa bata merah palsu yang dijual di pinggir jalan.
0
14
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan