Kaskus

Entertainment

tanmalako091539Avatar border
TS
tanmalako091539
Rekonstruksi Sejarah Pesantren: Benteng Tradisi atau Warisan Misionaris Kolonia?
Rekonstruksi Sejarah Pesantren: Benteng Tradisi atau Warisan Misionaris Kolonia?

Pesantren selama ini dielu-elukan sebagai salah satu benteng terakhir peradaban Islam di Nusantara. Dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah, ia kerap dipotret sebagai mercusuar keilmuan, tempat lahirnya ulama kharismatik, pusat perlawanan terhadap kolonialisme, sekaligus wadah pembentukan moral bangsa. Narasi itu nyaris tanpa cela. Ia diulang terus, dari buku pelajaran hingga mimbar khutbah, seakan tidak ada ruang untuk keraguan.

Tetapi, sejarah selalu menyisakan ruang bagi pertanyaan yang tidak nyaman. Apakah benar pesantren lahir murni dari rahim tradisi Islam lokal? Apakah ia betul-betul merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan para ulama terdahulu, bebas dari infiltrasi ideologis kekuatan asing? Atau, justru sejak awal, pesantren sudah dibentuk oleh kekuatan politik yang bekerja di balik layar, dengan agenda kolonial yang tak pernah diakui?

Pertanyaan semacam ini jarang sekali diajukan, apalagi dijawab. Sejarah arus utama kita jarang menyentuh sisi gelap institusi ini. Kita cenderung menerima begitu saja bahwa pesantren adalah warisan asli, lahir dari tradisi Islam yang menyesuaikan diri dengan budaya lokal. Kita diajari bahwa ia merupakan kelanjutan alami dari pengajaran di surau atau masjid pada masa Walisongo. Namun, jika kita menggeser sudut pandang, menelusuri jejaknya dengan kecurigaan sehat, pola-pola ganjil mulai muncul ke permukaan.

Salah satu pola yang mencurigakan adalah bentuknya yang berasrama. Sistem ini, jika dilihat dalam konteks sejarah Islam, justru bukan berasal dari Timur Tengah. Di Mekkah, Madinah, Damaskus, atau Kairo, pendidikan tradisional berlangsung di masjid, halaqah, atau madrasah yang terbuka. Para murid bebas tinggal di rumah masing-masing atau mengontrak di sekitar pusat belajar. Sistem asrama yang ketat, di mana para murid tinggal di bawah pengawasan langsung seorang guru, jauh lebih dekat dengan tradisi boarding school Eropa yang berkembang sejak abad pertengahan—di Inggris, Prancis, dan Belanda.

Model boarding school Eropa bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah alat pembentukan watak dan kontrol sosial. Di Eropa, ia berada di bawah pengaruh gereja, membentuk generasi yang patuh pada hierarki religius dan politik. Saat model ini dibawa ke wilayah koloni, fungsi itu tetap dipertahankan: mendidik elite lokal agar setia pada kekuasaan kolonial, menanamkan nilai-nilai Kristen Barat, dan membentuk mentalitas tunduk terhadap struktur kekuasaan yang ada. Proses ini halus, nyaris tak terasa, tetapi dampaknya menembus generasi demi generasi.

Jika demikian, apakah mungkin pesantren adalah adaptasi lokal dari pola ini? Apakah sistem berasrama, kepatuhan total pada kiai, dan pola pengawasan ketat yang kita kenal sekarang sebenarnya merupakan warisan dari model pendidikan kolonial yang disesuaikan dengan cita rasa Islam Nusantara? Pertanyaan ini semakin relevan ketika kita melihat perbedaan mencolok antara pesantren di Jawa dan lembaga pendidikan Islam di daerah lain, seperti Aceh, yang lebih terbuka dan tidak memaksa murid tinggal di asrama.

Ada satu aspek menarik yang jarang dibicarakan: istilah “santri”. Secara etimologis, ia sering dihubungkan dengan kata Sanskerta yang berarti “orang berilmu”. Namun ada pula tafsir simbolik yang lebih provokatif—mengaitkannya dengan “three suns” atau tiga matahari, representasi Trinitas dalam Kekristenan. Dalam ikonografi gereja, tiga matahari melambangkan Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Jika ini benar, maka istilah “santri” mungkin tidak lahir murni dari kosakata Islam, melainkan merupakan hasil pertemuan, atau bahkan benturan, antara simbol-simbol Islam dan Kristen dalam konteks kolonial.

Kita tahu bahwa pada masa Hindia Belanda, kristenisasi tidak selalu dilakukan secara terang-terangan. Ia kerap beroperasi lewat strategi kultural, meminjam bahasa, simbol, bahkan metode pengajaran yang sudah dikenal masyarakat. Pendidikan menjadi jalur utama infiltrasi ini. Sebuah istilah yang kita anggap “Islam” bisa saja mengandung muatan simbolis yang diambil dari tradisi lain, lalu ditanamkan dalam kesadaran kolektif tanpa pernah disadari.

Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa hubungan pesantren dengan kekuasaan kolonial tidak sesederhana yang kita bayangkan. Banyak pesantren pada masa kolonial yang bersikap apolitis, memilih beradaptasi daripada melawan. Tidak sedikit kiai besar yang menerima dukungan, baik berupa izin pendirian, pemberian tanah, maupun bantuan logistik dari pemerintah kolonial. Dalam beberapa kasus, pesantren menjadi tempat pembinaan calon pejabat pribumi yang kemudian diintegrasikan ke dalam birokrasi kolonial.

Contoh yang paling memancing pertanyaan adalah kasus Kiai Sadrach. Ia seorang pemimpin komunitas Kristen pribumi yang mengadopsi gaya keislaman: mengenakan sorban, berkhotbah dari mimbar, dan menampung murid-muridnya dalam sistem berasrama. Ajarannya murni Kristen, tetapi kemasan metodenya identik dengan pesantren. Fakta ini menunjukkan bahwa batas antara pesantren, misi Kristen, dan strategi kolonial pernah begitu tipis sehingga nyaris tak terbedakan.

Jika kita tarik benang merahnya, sistem berasrama dalam pesantren bisa saja merupakan adaptasi dari pola pendidikan yang telah lama digunakan oleh misionaris dan administratur kolonial. Di Eropa, model ini memproduksi generasi yang patuh pada otoritas gereja dan negara. Di koloni, ia memproduksi elite lokal yang setia pada tatanan kolonial. Pola patron–klien antara guru dan murid di pesantren—di mana kiai menjadi figur pusat dan otoritas mutlak—selaras dengan kebutuhan kolonial untuk menciptakan hierarki sosial yang stabil dan mudah dikendalikan.

Dampak psikologisnya juga signifikan. Santri dibentuk bukan hanya untuk memahami teks agama, tetapi juga untuk hidup dalam kerangka disiplin yang ketat, menerima otoritas tanpa perlawanan, dan mematuhi tata tertib tanpa mempertanyakan logikanya. Disiplin ini, dalam perspektif kekuasaan, sangat berguna untuk memelihara keteraturan sosial yang menguntungkan penguasa.

Dari sini muncul hipotesis yang tidak menyenangkan bagi banyak orang: pesantren yang kita kenal hari ini mungkin tidak sepenuhnya lahir dari tradisi Islam murni, melainkan merupakan hasil hibridisasi antara warisan Islam, adaptasi lokal, dan rekayasa sosial kolonial. Dengan kata lain, pesantren bisa saja merupakan instrumen pengendalian sosial yang dibungkus dalam legitimasi religius.

Hipotesis ini tentu saja menuntut kajian lanjutan. Tetapi keberanian untuk mengajukannya adalah langkah awal dalam membongkar lapisan-lapisan sejarah yang selama ini dianggap tak tersentuh. Sejarah tidak pernah tunggal; ia selalu merupakan hasil dari perebutan narasi, tempat berbagai kepentingan saling bertarung untuk menentukan versi mana yang akan diabadikan sebagai “kebenaran”.

Membongkar sejarah pesantren bukan berarti menafikan peran positifnya hari ini. Banyak pesantren telah menjadi pusat pemberdayaan masyarakat, melahirkan ulama, akademisi, bahkan aktivis sosial. Namun, jika akar sejarahnya memang bersinggungan dengan kolonialisme dan kristenisasi, kita perlu menyadari bahwa sebuah lembaga bisa saja membawa warisan struktur kekuasaan yang tidak lagi kita sadari, tetapi tetap bekerja secara laten.

Tugas generasi sekarang bukanlah memuja atau menghujat tanpa dasar, melainkan melakukan rekonstruksi. Kita perlu menata ulang narasi pendidikan Islam di Nusantara agar benar-benar membebaskan, bukan sekadar meneruskan pola yang dulu dirancang untuk mengendalikan. Pendidikan Islam tidak boleh berhenti pada pengajaran doktrin dan hafalan teks, tetapi harus mengajarkan keberanian untuk bertanya, membantah, dan berpikir mandiri.

Mungkin, inilah paradoks terbesar pesantren. Ia dibanggakan sebagai benteng pertahanan Islam, namun bentuknya bisa saja mewarisi blue print lembaga pendidikan kolonial. Ia dibanggakan sebagai pusat perlawanan, tetapi strukturnya sangat cocok untuk penanaman loyalitas dan kepatuhan mutlak. Dan mungkin, justru di sinilah letak tantangannya: bagaimana mengubah sebuah institusi yang secara historis pernah menjadi instrumen kontrol menjadi ruang yang benar-benar membebaskan pikiran.

Sejarah, jika dibaca dengan mata terbuka, jarang memberikan kenyamanan. Ia mengungkap hal-hal yang ingin kita lupakan. Ia memaksa kita mempertanyakan fondasi yang kita anggap kokoh. Dalam kasus pesantren, mempertanyakan akar sejarahnya bukanlah tindakan meruntuhkan, melainkan membuka kemungkinan untuk membangun kembali—dengan kesadaran penuh bahwa pendidikan adalah medan perjuangan, dan setiap bentuknya selalu membawa jejak kekuasaan di dalamnya.
Diubah oleh tanmalako091539 Kemarin 16:40
0
10
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan