- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Historiografi dan Kekuasaan: Siapa Menguasai Masa Lalu, Menguasai Masa Depan


TS
tanmalako091539
Historiografi dan Kekuasaan: Siapa Menguasai Masa Lalu, Menguasai Masa Depan

Sejarah sering tampil seperti suara bijak dari masa lampau-- tenang, meyakinkan dan seolah mengetahui segalanya. Ia menyodorkan narasi tentang asal-usul bangsa, deretan nama pahlawan, dan momen-momen monumental yang konon menentukan arah bangsa. Tapi bila kita mencermatinya lebih dalam, bisa jadi yang kita baca bukan historia rerum gestarum (sejarah tentang apa yang sungguh terjadi), melainkan historia narrata---sejarah yang dikisahkan, disusun, dan dimanipulasi oleh kuasa tertentu.
Dalam dunia seperti itu, muncullah seorang filsuf eksentrik dari Prancis, yang tidak bertanya "apa yang benar-benar terjadi?", melainkan justru melontarkan pertanyaan nakal: "Qui dcide ce qui est arriv ?"---siapa yang memutuskan apa yang dianggap 'terjadi'?
Michael Foucault menolak gagasan bahwa sejarah adalah reprsentation objective---cerminan objektif dari masa lalu. Baginya, sejarah adalah produk dari règime de vérit (rezim kebenaran): yaitu seperangkat mekanisme sosial dan diskursif yang menentukan apa yang sah disebut sebagai kebenaran, siapa yang berhak mengucapkannya, dan versi mana yang layak dikenang dalam memori kolektif.
Dalam kerangka ini, sejarah tidak bersifat netral. Ia penuh dengan muatan ideologis, bias institusional, dan kekerasan simbolik. Yang disebut fakta sejarah seringkali adalah constructum---hasil konstruksi, bukan refleksi.
Foucault memperkenalkan dua pisau analisis: archologie du savoir (arkeologi pengetahuan) dan gènalogie (genealogi). Arkeologi tidak menggali candi, melainkan teks dan wacana. Ia menelusuri retakan dan lompatan dalam narasi sejarah yang menunjukkan bahwa apa yang tampak seperti kontinuitas seringkali adalah ilusi yang direkayasa.
Genealogi, sementara itu, menolak origine mythique---mitos asal-usul yang murni dan suci. Alih-alih mencari awal mula yang agung, genealogi justru menelusuri asal-usul yang banal, ambigu, bahkan memalukan. Ia menunjukkan bahwa apa yang disebut "identitas nasional" atau "jiwa bangsa" seringkali adalah hasil dari kompromi strategis dalam medan perebutan makna.
Dengan metode ini, Foucault menyeret sejarah turun dari altar. Ia mengajukan bahwa sejarah adalah medan pertempuran diskursif, tempat berbagai kekuatan beradu memperebutkan makna masa lalu demi kepentingan masa kini.
Konsep kekuasaan yang ia usung bukanlah kekuasaan yang bersifat juridico-politique (hukum-politik), seperti yang dijalankan oleh raja, parlemen, atau militer. Kekuasaan di sini bersifat capillaire---menyebar seperti jaringan kapiler dalam tubuh sosial. Ia hadir dalam sistem pendidikan, kurikulum sekolah, buku pelajaran, pidato resmi, hingga peringatan nasional.
Kekuasaan ini produktif , bukan hanya represif. Ia tidak sekadar melarang, tetapi juga membentuk: membentuk subjek, membentuk memori kolektif, dan membentuk emosi publik. Sejarah dalam konteks ini berfungsi sebagai teknologi pembentukan diri yang mengatur cara berpikir dan cara merasa.
Maka tak heran jika tanggal-tanggal tertentu membuat kita harus merasa bangga, haru, atau khidmat. Tanggal-tanggal itu menjadi scripts motionnels---skenario emosional resmi yang harus diinternalisasi oleh warga negara. Mereka yang tidak mengikuti naskah bisa dicurigai sebagai dviant---penyimpang, atau bahkan pengkhianat.
Dalam sistem seperti ini, sejarah tidak hanya berfungsi untuk mengingat, tetapi juga untuk mendisiplinkan. Ia menjadi semacam panopticon mmoriel---penjara ingatan yang memantau bukan hanya tindakan, tetapi juga cara kita mengingat dan merasakan masa lalu.
Arsip bukan lagi tempat menyimpan dokumen, tetapi menjadi altar kebenaran dari mana versi resmi dibacakan. Apa yang tak tercatat di sana dianggap tak pernah terjadi. Seorang tokoh lokal yang meledakkan markas musuh bisa dilupakan, sementara seorang elite yang berpidato di konferensi bisa dijadikan pahlawan. Logika historiografi hegemonik bekerja seperti itu: ia lebih mementingkan siapa yang berbicara daripada apa yang dilakukan.
Foucault tidak mengajukan narasi tandingan. Ia tidak menawarkan narasi pengganti, melainkan justru mencurigai narasi itu sendiri. Ia mengajak kita untuk meragukan yang tampak wajar, mempertanyakan nama-nama dalam buku pelajaran, dan mendekonstruksi kebanggaan nasional yang didesain dari atas.
Ia tidak sedang menulis sejarah baru. Ia sedang menulis cara baru untuk membaca sejarah.
Dalam dunia yang penuh dengan ingatan yang dijinakkan---setiap suara kritis menjadi penting. Setiap narasi yang menyimpang dari pusat patut dirawat. Karena seperti dikatakan sang filsuf, "Celui qui contrôle le récit du passé, maîtrise les possibles de l'avenir."
"Siapa yang menguasai narasi tentang masa lalu, menguasai kemungkinan masa depan."
Dan bagi masyarakat pascakolonial seperti Indonesia---yang masa lalunya dijejali narasi ganda antara imperialisme dan nasionalisme---pendekatan ini bukan sekadar relevan, tapi mendesak. Karena di balik setiap perayaan nasional bisa tersembunyi wacana penghapusan terhadap mereka yang tak sesuai dengan skrip resmi.
Maka sejarah sejati bukan yang ditulis dalam buku cetak bersampul negara, tapi yang dibisikkan di gang sempit, digumamkan oleh mereka yang kehilangan, dan disusun kembali oleh mereka yang menolak lupa.
0
21
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan