Kaskus

Entertainment

kenzie16465Avatar border
TS
kenzie16465
[CERPEN] PINTU LANGIT — PART 3: Penunggu Gunung Prau
[CERPEN] PINTU LANGIT — PART 3: Penunggu Gunung Prau
Foto: KasKus/Kenzie16465

Quote:




Kabut Tengah Malam

Aku terbangun karena suara gesekan di jendela kamar penginapan.
Bukan angin. Bukan ranting.
Suara itu seperti kuku menggaruk kaca.

Saat kulirik jam, jarumnya menunjuk pukul 01:13. Semua orang tidur. Tapi udara di kamar mendadak dingin tak wajar. Aku bangun pelan, berjalan ke jendela... dan di luar sana—kabut.

Bukan kabut biasa. Kabutnya gelap.

Dan di tengahnya, kulihat siluet seseorang—tidak bergerak, hanya berdiri menatap ke arahku. Tubuhnya tinggi, kepalanya sedikit condong ke kanan. Dan... matanya menyala merah samar.

Aku mundur, jantungku berdegup kencang.
Lalu suara itu datang lagi. Bisikan yang bukan milikku.

"Gunung Prau… sebelum fajar… atau jejakmu akan hilang."

Aku memegang peta yang kusimpan di tas. Titik ketiga... menyala.


Diam-Diam Meninggalkan Penginapan

Aku tahu ini gila. Tapi jika ini bagian dari jejak, aku harus berangkat.
Kuselipkan jaket tebal, senter, dan peta ke dalam tas.

Kucatat pesan singkat untuk orang tua, alasan "hanya ingin lihat sunrise"(meski ini jam 1 pagi). Lalu aku keluar diam-diam.

Dieng tengah malam benar-benar sepi. Hanya suara serangga dan tiupan angin yang terdengar.

Jalan menuju basecamp Gunung Prau terasa seperti lorong menuju tempat asing.

Sampai di kaki gunung, aku sadar: tidak ada pendaki lain.
Basecamp kosong. Pintu gerbang terbuka lebar.
Dan kabut gelap itu... menungguku di jalur.


Pendaki Misterius

Baru sekitar 20 menit mendaki, aku bertemu seorang lelaki tua dengan topi jerami.

Kulitnya legam, matanya tajam tapi ramah. Ia memanggilku, “Nak, malam-malam begini naik gunung? Sendiri pula?”

Aku gugup. “Eh… iya, Pak. Mau lihat sunrise.”

Dia tersenyum tipis. “Sunrise? Kalau kabutnya seperti ini, yang kau lihat bukan matahari.”
Aku terdiam.
“Kalau mau sampai atas, jangan tengok ke belakang. Apapun yang kau dengar, jangan.”

Sebelum aku sempat bertanya maksudnya, dia berjalan duluan, menghilang di tikungan. Anehnya, meski aku mempercepat langkah, aku tidak pernah bisa mengejarnya.


Suara di Belakang

Setengah perjalanan, kabut makin tebal. Senterku hanya menembus jarak satu meter.
Lalu terdengar langkah kaki di belakangku.

Perlahan....
Mendekat....

Aku ingat pesan lelaki tadi. Jangan tengok.

Tapi langkah itu berubah menjadi suara napas berat. Dan kemudian... suara yang sangat familiar.

“Reno… ini Ibu. Kenapa kamu pergi?”
Nadanya seperti Ibu, tapi terlalu datar.
Aku menggigit bibir, mempercepat langkah.

“Reno… lihat Ibu sebentar saja…”

Suara itu berubah. Serak. Dalam. Tidak manusiawi.

Aku berlari, tapi langkah di belakangku terdengar seperti hentakan kaki raksasa.


Penunggu Puncak

Akhirnya aku sampai di sebuah lapangan kecil—tempat orang biasanya camping sebelum ke puncak. Tapi kali ini, bukan tenda yang kulihat.

Di tengah lapangan berdiri pohon tunggal, besar, dan dari dahan-dahannya tergantung puluhan lonceng kecil.

Anginnya aneh. Setiap lonceng berdenting, tapi tidak ada satu pun bergerak.

Dari balik pohon, makhluk itu muncul. Tingginya dua kali manusia dewasa. Tubuhnya seperti diselimuti kain kabut.

Wajahnya tak jelas, hanya dua cahaya merah di tempat mata seharusnya. Dan setiap kali ia melangkah, tanah di bawahnya membeku.

"Penjaga baru…" suaranya bergema seperti banyak mulut berbicara sekaligus.
"Tunjukkan nyalimu, atau hilang di kabut selamanya."


Ujian Ketiga: Cahaya di Puncak

Peta di tanganku mulai bersinar terang. Titik ketiga berdenyut seperti jantung.
Aku tahu aku harus melakukan sesuatu—tapi apa?

Makhluk itu mengangkat tangannya, dan dari kabutnya keluar sosok-sosok berwujud manusia... wajahnya adalah orang-orang yang kukenal. Teman sekolah, tetangga, bahkan Ayah. Tapi matanya kosong.

“Ini bukan mereka…” bisik hatiku. “Ini cuma ilusi.”

Aku menutup mata, mengingat kata-kata Shinta di Danau Terbalik: "Kau punya cahaya."

Ketika kubuka mata lagi, cahaya itu muncul di tanganku—kali ini bukan perisai, tapi lentera kecil. Lentera itu menyala keemasan, menembus kabut, dan setiap sosok ilusi yang terkena sinarnya… hilang seperti asap.

Makhluk itu mundur, suaranya menggeram.
"Tiga jejak… empat tersisa… tapi waktumu semakin sedikit."

Seketika kabut tersapu angin, dan aku berdiri di puncak Gunung Prau. Di kejauhan, langit mulai berubah warna. Sunrise.


Kembali ke Dunia Nyata

Aku menuruni gunung dalam keadaan setengah linglung.
Di kaki gunung, lelaki bertopi jerami itu menungguku. Dia menatapku lama, lalu berkata pelan, “Kau lulus. Tapi mulai sekarang, kabut akan mencarimu sendiri. Hati-hati.”

Aku ingin bertanya banyak hal, tapi dia sudah berjalan menjauh. Saat kuikuti… dia hilang begitu saja, seperti larut dalam udara.

Ketika sampai di penginapan, Ayah menyambutku dengan wajah cemas. “Kamu dari mana? Tadi subuh kamu nggak ada di kamar!”

Aku hanya bisa menjawab, “Lihat sunrise.”
Tapi di dalam hati, aku tahu—ini lebih dari sekadar melihat matahari terbit.


Tanda Ketiga

Malamnya, aku membuka peta. Titik ketiga kini bersinar, dan simbol di telapak tanganku bertambah satu garis melingkar.

Enam jejak sudah menunggu.
Dan di luar jendela, kabut mulai berkumpul lagi.



🌀 Bersambung ke Part 4: Pasar di Ujung Senja
droidmotoAvatar border
senjaperenunganAvatar border
senjaperenungan dan droidmoto memberi reputasi
2
70
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan