- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Suara Alam Kena Royalti saat Rekaman Dijual, Siapa Pemilik Hak Paten dari Suara Alam?


TS
sale2010
Suara Alam Kena Royalti saat Rekaman Dijual, Siapa Pemilik Hak Paten dari Suara Alam?

suara alam (kicau burung)
Bayangkan Anda sedang duduk santai di sebuah kafe pinggir hutan. Sinar matahari sore menembus sela-sela dedaunan, aroma kopi menyeruak, dan di kejauhan terdengar suara kicau burung merdu yang seolah menjadi iringan musik alami. Bagi telinga, itu adalah hiburan gratis dari alam. Bagi hati, itu adalah terapi. Namun, di balik kenyamanan itu, muncul pertanyaan yang unik: Apakah suara alam seperti ini memiliki hak cipta? Apakah seseorang harus membayar royalti untuk menikmatinya?
disadur oleh Kibul Gonzales
Suara Alam: Gratis atau Berbayar?
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) baru-baru ini memberikan penjelasan resmi yang cukup menarik perhatian. Menurut Komisioner Bidang Lisensi dan Kolekting LMKN, Jhonny W. Maukar, suara burung atau suara alam yang didengar langsung tanpa perekaman tidak dikenakan royalti. Dengan kata lain, selama Anda mendengarnya langsung dari sumbernya — misalnya burung di sangkar atau gemericik air sungai — itu sepenuhnya gratis dan bebas digunakan.
Namun, ceritanya berubah ketika suara itu direkam dan diputar ulang. Begitu ada proses perekaman atau yang dalam istilah hukum disebut fiksasi, hak cipta berlaku. Dalam konteks hukum hak cipta, fiksasiberarti mengikat atau merekam sebuah karya ke dalam bentuk yang bisa dilihat atau didengar kembali. Artinya, ketika kicau burung tersebut menjadi file audio yang dapat diputar berulang-ulang, ia sudah masuk ke ranah perlindungan hukum.
Siapa Pemilik Hak dari Suara Alam yang Direkam?
Ini bagian yang sering disalahpahami. Banyak orang mungkin berpikir bahwa pemilik suara alam adalah "alam" itu sendiri atau bahkan hewan yang mengeluarkannya. Tetapi, hukum tidak bekerja seperti itu. Dalam kasus ini, pemilik hak bukan burungnya dan jelas bukan hutan yang menghasilkan suara tersebut. Pemegang hak justru adalah produser fonogram atau pihak yang melakukan perekaman.
Jika yang merekam adalah seorang pemilik kafe, maka dia lah yang berhak atas rekaman itu. Menariknya, jika pemilik kafe tersebut terdaftar di Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), dia juga bisa mendapatkan kembali sebagian besar royalti yang dibayarkan orang lain untuk menggunakan rekaman tersebut. Menurut LMKN, 80 persen royalti akan dikembalikan kepada pemegang hak, sementara 20 persen sisanya digunakan untuk biaya operasional.
Bagaimana Jika Pemilik Kafe Ingin Menghindari Royalti Penuh?
Jhonny W. Maukar menyarankan langkah cerdas: rekam sendiri suara yang ingin digunakan. Misalnya, jika sebuah kafe ingin memiliki latar suara hutan hujan tropis, mereka dapat pergi ke hutan, melakukan perekaman, mendaftarkannya, dan menggunakannya secara legal tanpa harus membayar royalti kepada pihak lain. Bahkan, mereka bisa mendapatkan royalti jika pihak lain ingin menggunakan rekaman tersebut.
Dengan cara ini, pemilik kafe tidak hanya mendapatkan suasana yang unik, tetapi juga menciptakan aset intelektual yang bisa menghasilkan pendapatan tambahan.
Perspektif dari LMK Selmi
Hal senada juga diungkapkan oleh Jusak Irwan Setiono, Ketua LMK Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi). Ia menegaskan bahwa suara alam yang asli atau langsung tanpa rekaman, memang tidak memiliki pencipta ataupun produser fonogram. Artinya, tidak ada dasar untuk mengenakan royalti.
Namun, situasinya berbeda jika ada proses perekaman. Jusak memberi contoh: jika seseorang dengan sengaja pergi ke hutan, menunggu burung berkicau, lalu merekamnya, proses itu melibatkan usaha, waktu, bahkan biaya. Karena itu, si perekam memiliki hak sebagai produser fonogram.
Pembagian Royalti
Dalam industri musik dan rekaman, royalti biasanya dibagi ke tiga pihak utama:
[ol][li]Pencipta – orang yang membuat komposisi musik atau lirik.[/li][li]Pelaku pertunjukan – orang yang membawakan karya tersebut (penyanyi, musisi, narator, dll.).[/li][li]Produser fonogram – pihak yang merekam dan memproduksi karya tersebut.[/li][/ol]
Nah, dalam konteks suara alam, umumnya tidak ada pencipta atau pelaku pertunjukan. Burung berkicau bukanlah "pencipta" dalam arti hukum, dan ia tidak dianggap melakukan "pertunjukan" yang dilindungi. Maka, royalti yang berlaku hanya untuk hak terkait milik produser fonogram.
Misalnya, untuk sebuah kafe dengan kapasitas 50 kursi, LMK dapat menetapkan royalti sekitar Rp 120 ribu per kursi per tahun. Jika suara yang digunakan adalah musik ciptaan manusia, royalti dibagi dua: Rp 60 ribu untuk hak cipta, dan Rp 60 ribu untuk hak terkait. Tetapi, jika yang digunakan hanya rekaman suara alam, maka hanya Rp 60 ribu yang dihitung untuk hak terkait.
Tujuan di Balik Kebijakan Ini
Jusak Irwan Setiono menekankan bahwa penarikan royalti bukanlah aksi sepihak. Prinsipnya adalah keberlanjutan ekosistem. Jika para pelaku usaha ditekan dengan biaya berlebihan, mereka bisa gulung tikar, yang pada akhirnya merugikan semua pihak, termasuk LMK dan LMKN. Tujuannya adalah agar produser fonogram tetap mendapatkan apresiasi atas karya rekamannya, tanpa membebani pengguna secara tidak wajar.
Apakah Suara Alam Bisa Dipatenkan?
Pertanyaan ini membawa kita ke ranah yang sedikit berbeda: hak cipta dan hak paten adalah dua hal yang tidak sama. Hak cipta melindungi ekspresi ide dalam bentuk karya, seperti musik, film, foto, dan rekaman audio. Sementara hak paten melindungi penemuan atau inovasi teknis.
Suara alam, dalam bentuk aslinya, tidak bisa dipatenkan karena bukan hasil ciptaan manusia dan bukan penemuan teknis. Namun, hasil perekaman suara alam bisa dilindungi hak cipta sebagai fonogram. Jadi, tidak ada "pemilik paten suara burung" dalam hukum, tetapi ada pemegang hak cipta rekaman suara burung.
Sebagai contoh:
[ul][li]Tidak bisa dipatenkan: Suara asli burung jalak di alam liar.[/li][li]Bisa dilindungi hak cipta: File rekaman audio burung jalak yang direkam oleh seorang profesional.[/li][/ul]
Peluang Bisnis dari Rekaman Suara Alam
Fenomena ini membuka peluang bisnis baru. Para pembuat konten, pemilik kafe, hingga platform streaming dapat memanfaatkan rekaman suara alam sebagai aset bernilai. Di era digital, banyak orang yang mencari suara alam untuk meditasi, relaksasi, atau latar belakang kerja (ambient sound).
Bayangkan seorang pehobi alam pergi ke hutan Kalimantan, merekam suara hujan deras bercampur kicauan burung enggang, lalu menjual lisensinya di platform musik atau aplikasi meditasi. Setiap kali rekaman itu digunakan, ia berhak mendapatkan royalti sebagai produser fonogram.
Bahkan, di beberapa negara, ada perusahaan yang khusus memproduksi dan menjual library suara alam. Perpustakaan audio ini digunakan oleh pembuat film, pengembang game, hingga pengelola hotel dan spa. Dengan regulasi LMKN, model bisnis seperti ini juga bisa berkembang di Indonesia.
Risiko dan Etika
Meski secara hukum produser fonogram berhak atas rekaman suara alam, ada aspek etika yang perlu diperhatikan. Misalnya, jika perekaman dilakukan di wilayah konservasi atau melibatkan spesies langka, izin dari pihak berwenang menjadi wajib. Selain itu, penggunaan suara alam untuk tujuan komersial harus mempertimbangkan dampak terhadap satwa dan ekosistem.
Misalnya, memasang speaker dengan volume tinggi di dekat habitat burung liar demi "menarik pengunjung" bisa mengganggu perilaku satwa tersebut. Di sini, regulasi lingkungan hidup bisa berperan, meski berbeda dari hukum hak cipta.
Jadi, suara alam asli yang kita dengar langsung tidak pernah dikenakan royalti, karena tidak ada proses perekaman dan tidak ada pihak yang memegang hak cipta. Namun, begitu suara itu direkam, ia berubah menjadi karya fonogram yang memiliki perlindungan hukum. Pemegang haknya adalah pihak yang melakukan perekaman, bukan alam atau satwanya.
Bagi pelaku usaha, ada dua pilihan:
[ol][li]Membayar royalti untuk rekaman milik orang lain.[/li][li]Merekam sendiri dan menjadi pemilik hak, sehingga bisa menggunakannya bahkan mendapatkan royalti dari pihak lain.[/li][/ol]Di tengah tren kebutuhan audio unik untuk berbagai keperluan, pemahaman tentang aturan ini bisa menjadi kunci untuk memanfaatkan suara alam secara kreatif, legal, dan berkelanjutan.
disadur oleh Kibul Gonzales
0
50
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan