- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kala Musisi Pertanyakan Transparansi LMK dan LMKN


TS
gentlepilot3302
Kala Musisi Pertanyakan Transparansi LMK dan LMKN

JAKARTA - Tiada yang meragukan sulitnya mengurus royalti musik di Indonesia. Kehadiran Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dianggap tak terlalu membantu. Kedua lembaga kerap mendapatkan kritikan.
Royalti yang dikumpulkan sering kali tak transparan. Tiada laporan pasti berapa total royalti yang terkumpul. Tiada pula rincian bayaran royalti yang diserahkan ke musisi. Alih-alih bawa banyak manfaat, LMK dan LMKN justru dianggap bawa mudarat.
Kehadiran LMK dan LMKN pernah dianggap bawa kemajuan dalam dunia musik Indonesia sedari 2014. Kedua lembaga itu diyakini mampu jadi ujung tombak menaikkan hajat hidup musisi – pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak untuk mengumpulkan royalti.
LMK sendiri adalah lembaga nirlaba yang diberi hak untuk mengumpulkan royalti. LMK bisa beragam. Bisa pula dibentuk oleh siapa saja. Asal mereka mampu memiliki 200 anggota pencipta, 50 hak terkait, dan mendapatkan izin Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
LMK hanya boleh mengumpulkan royalti terbatas pada anggotanya saja. Kehadiran LMKN beda lagi. LMKN adalah lembaga bentukan pemerintah yang bertugas relatif sama dengan cangkupan lebih luas. Mereka jadi koordinator LMK. Mereka juga bisa mengumpulkan royalti untuk untuk musisi yang tak beri kuasa ke LMK.
Kehadiran kedua lembaga itu justru tak mempermudah urusan pengumpulan royalti. Pengumpulan royalti kian ruwet. Keduanya sama-sama bisa menarik royalti. Artinya pembayaran royalti tidak satu pintu.
Kondisi itu kian membingungkan musisi. Mereka jadi bingung menyandarkan kuasa kepada lembaga yang mana. Belum lagi kedua lembaga dianggap tak hadir untuk musisi, tetapi kepentingan lain macam cari untung.
“Adanya dua lembaga ini juga bisa membingungkan karena keduanya bisa menarik royalti dan LMKN dapat mendelegasikan kewenangannya kepada LMK yang sejenis. Seharusnya cukup ada satu institusi (dalam undang-undang hanya ada LMK).”
“Satu institusi itu dengan kewenangan dan pengawasan yang jelas dari kementerian. Apalagi royalti adalah hak milik pencipta. Mengapa negara (LMKN) dapat menarik langsung eksploitasi ekonomi atas hak milik itu?,” ungkap Pengamat Hukum Dunia Hiburan, Kemala Atmojo dalam kolomnya di laman tempo.co, 14 Juni 2019.
Pertanyakan Transparansi
Eksistensi LMK dan LMKN terus dipertanyakan. Pertanyaan itu bukan melulu hadir dari pelaku usaha, tapi dari kalangan musisi sendiri. Mereka kerap bingung terkait dualisme peran LMK dan LMKN. Mereka juga terganggu dengan cara kedua lembaga itu mengumpulkan royalti.
Ahmad Dhani, misalnya. Pentolan grup band Dewa 19 itu menganggap LMK Wahana Musik Indonesia (WAMI) tak transparan urusan mengumpulkan royalti dari lagu dan musik ciptaannya. Dhani mengaku ia memang rutin mendapatkan royalti dari WAMI.
Masalahnya Dhani tak mendapatkan rincian laporan dari royalti yang dikumpulkan WAMI. Rincian penggunaan musik-musiknya pun tidak ada. Puncaknya Dhani memilih mundur dari WAMI pada 18 Maret 2022.
Ia menarik seluruh kuasa atas karyanya di WAMI karena ada potensi penyimpangan royalti. Dhani lebih memiliki urus royalti secara mandiri. Kritik lain juga muncul dari musisi, Erdian Aji Prihartanto atau yang lebih dikenal sebagai Anji Drive. Anji mencoba menyandarkan kritiknya dari laporan pelaku usaha -- kafe, restoran, hingga karaoke.
Anji menganggap pelaku usaha sering kurang sreg bayar royalti musik. Keengganan itu bermuara kepada pelaku usaha tak yakin uang yang diberi bisa sampai ke musisi. Anji pun menduga bahwa dalam LMK dan LMKN sangat mungkin terjadi penyimpangan dana. Apalagi, dari pencipta lagu yang tak pernah mengambil royaltinya.
Anji pun heran. Zaman sudah jauh modern. Urusan transparansi tetap tak bisa dilakukan kedua lembaga. Anji pun tak mau disalahkan jika pikirannya menganggap LMK dan LMKN serupa dengan lembaga pengumpul dana masyarakat lainnya. Ketuanya untung duluan, bukan musisi.
“Faktor itulah yang membuat mereka jadi malas atau kurang sreg membayar. Karena tidak jelas apakah dibagikan dengan benar atau tidak. Apakah Pencipta atau LMK-nya yang dapat uang. Apalagi banyak terjadi organisasi pengumpul dana sosial untuk masyarakat.”
“Justru anggota organisasinya yang kaya. Baru saja terjadi, mereka dipenjara. Jadi, kembali pada persoalan dan pertanyaan klasik. Bisakah pembagian royalti detail dan transparan? Musisi dan pelaku industri makin pintar. Sistem informasi sudah sangat berkembang. Saatnya bekerja lebih rapi dengan informasi yang bisa diakses oleh pelaku industri,” ujar Anji sebagaimana ditulis lewat akun Instagramnya @duniamanji, 6 Agustus 2022.
VOI




superman313 dan brucebanner23 memberi reputasi
2
362
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan