Kaskus

Entertainment

AlioedinkkAvatar border
TS
Alioedinkk
Jatuh bangun itu biasa, yang repot sudah loyo enggak bangun-bangun,
Adagium populer yang menyatakan "jatuh bangun itu biasa, yang repot sudah loyo enggak bangun-bangun" sejatinya bukan sekadar ujaran motivasi rendahan, melainkan sebuah epigram yang kaya akan nuansa filosofis.Kalimat ini dapat menjadi dua proposisi utama yang saling beririsan.
Jatuh bangun itu biasa, yang repot sudah loyo enggak bangun-bangun,


Normalitas Siklus Dinamis Kehidupan
Frasa "jatuh bangun itu biasa" adalah pengakuan terhadap normalitas siklus dinamis dalam eksistensi manusia. Hidup, dalam pandangan ini, bukanlah lintasan linear yang mulus, melainkan serangkaian fluktuasi yang tak terhindarkan—semacam kurva sinusoidal yang naik dan turun. Kejatuhan (fall) dan kebangkitan (rise) adalah dua fase yang inheren, integral, dan tak terpisahkan dari proses aktualisasi diri. Menganggap kegagalan sebagai anomali adalah kesalahan epistemologis yang fatal, sebab justru melalui gesekan dan tekananlah kapasitas resilensi (daya lentur) dan adaptasi seseorang diuji dan diperkuat.

Stagnasi Pascakejatuhan
yang membangkitkan Sarkasme halus. Kalimat "yang repot sudah jatuh enggak bangun-bangun" secara ironis menggambarkan kondisi di mana seseorang, alih-alih memanfaatkan momen kejatuhan sebagai titik balik (sebuah "turning point"), malah memilih untuk menetap dalam posisi tersebut. Ini bukan lagi soal kegagalan, melainkan kegagalan untuk bereaksi terhadap kegagalan.

Fenomena stasis atau stagnasi yang patut dianalisis. Muncul dari absurditas situasi tersebut. Bayangkan, alam semesta telah menyediakan panggung untuk drama kebangkitan yang heroik, tetapi sang aktor justru memilih untuk berbaring, seolah-olah menganggap gravitasi sebagai kenikmatan baru. Tindakan ini bisa kita tafsirkan sebagai wujud kekalahan mental yang lebih parah dari sekadar kekalahan fisik. Seolah-olah, ia telah menemukan "kenyamanan" dalam ketidakberdayaan, sebuah paradoks yang menggelitik nalar.

Kegagalan itu bukanlah akhir, melainkan sebuah transisi. Yang membedakan antara yang bijak dan yang tidak bujug bukanlah seberapa sering mereka jatuh, melainkan seberapa cepat mereka memutuskan untuk bangun. Filosofinya terletak pada keengganan untuk bangun, seolah-olah kejatuhan itu adalah sebuah "panggilan untuk rebahan" yang tak tertolak.
0
34
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan