Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Prestasi dan Kontroversi Soeharto Ditulis Seimbang dalam Buku Sejarah Baru
Prestasi dan Kontroversi Soeharto Ditulis Seimbang dalam Buku Sejarah Baru
Sejumlah peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM selama masa orde baru, termasuk temuan TGPF, tetap ditulis dalam buku sejarah Indonesia versi terbaru.



JAKARTA, KOMPAS - Tim Proyek Penulisan Ulang Sejarah Indonesia akan memasukkan prestasi dan kontroversi selama era kepemimpinan Presiden Kedua RI, Soeharto secara berimbang. Sejumlah peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM selama masa orde baru tetap masuk ke dalam buku sejarah Indonesia versi terbaru.

Pembahasan ini akan masuk ke dalam Jilid 9 dengan tajuk Pembangunan dan Stabilitas Nasional Era Orde Baru 1967-1998. Jilid ini ditulis oleh 11 akademisi; Abdurakhman, Didik Pradjoko, Erniwati, Wildan Insan Fauzi, Hary Efendi, La Ode Rabani, Muhammad Yuanda Zara, Arif Pradono, Yelda Syafrina, Zul Asri, dan Zulfa Saumia.

Editor Jilid 9, Didik Pradjoko menjelaskan, jilid ini membahas periode perjalanan sejarah bangsa Indonesia pada masa orde baru. Mulai sejak terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 11 Maret 1966 hingga lengsernya Presiden Suharto pada 21 Mei 1998.

"Kita tidak membahas peristiwa G30S/PKI lagi (di jilid 8), kita membahas periode selanjutnya terutama setelah demonstrasi yang muncul pada Januari 1966 dan itu yang menjadi bagian awal dari cikal bakal Orde Baru," kata Didik dalam uji publik buku sejarah baru Indonesia di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, dikutip Sabtu (26/7/2025).
Prestasi dan Kontroversi Soeharto Ditulis Seimbang dalam Buku Sejarah Baru

Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Susanto Zuhdi memaparkan bagian pendahuluan dari buku sejarah baru Indonesia yang nantinya akan berjudul Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global dalam uji publik proyek penulisan ulang sejarah Indonesia di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (25/7/2025).
Meski sudah pernah tertulis dalam dua buku sebelumnya, yaitu ”Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI” (1984) dengan edisi pemutakhiran cetakan kelima, tahun 2011 dan ”Indonesia Dalam Arus Sejarah” (2012), buku sejarah baru yang nantinya berjudul ”Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” ini akan memberikan sejumlah kebaruan.

Kalau ada yang merasa lebih hebat, lebih pintar lagi, ya, maju dong.

Didik mengungkapkan, tulisan dalam jilid ini akan menampilkan kerangka konsep yang baru, tetapi akan tetap ditekankan tentang bagaimana menguatnya peran negara di bawah kepemimpinan Soeharto hampir di setiap lini kehidupan: politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, serta pertahanan dan keamanan hingga berbagai dampak yang dihasilkan, terutama dalam persoalan dan penegakan HAM pada periode tersebut.

Menguatnya peran negara itu dilakukan Soeharto dengan menjadikan militer terutama Angkatan Darat sebagai penopang utama. Sistem ini menciptakan stabilitas politik dengan menciptakan ideologi baru, yakni “ideologi pembangunan”.

Pembangunan itu dilakukan dengan terobosan modernisasi yang signifikan, atas dukungan bantuan Barat, pengelolaan sumber pendanaan dalam dan luar negeri. Kebijakan ekonomi itu membentuk konglomerat industri yang mengarah pada konsentrasi industri dan keuangan hanya ada di tangan kerabat presiden, militer, dan pejabat pemerintahan.
Prestasi dan Kontroversi Soeharto Ditulis Seimbang dalam Buku Sejarah Baru
Infografik Perjalanan Presiden Soeharto
Ini membuat pendapatan riil pemerintah antara tahun 1966-1978 rata rata meningkat setiap tahunnya yakni sebesar 27 persen. Lalu belanja negara pada 1977-1978 mencapai 22,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), meningkat signifikan dibandingkan tahun 1966 yang hanya mencapai 9,3 persen.

Selain itu, Program Keluarga Berencana berhasil menekan pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi hingga 1,97 persen pada 1980-an. Swasembada pangan berhasil dicapai dari produksi beras 12,2 juta ton pada 1969 meningkat menjadi 25,8 juta ton pada 1984. Hingga angka melek huruf yang semakin meningkat yakni 80,4 persen bagi laki-laki dan 63,6 persen bagi perempuan pada 1980.

Diiringi beragam tragedi
Namun, Didik menegaskan, capaian ini harus dibayar dengan intervensi tinggi negara pada kehidupan masyarakat Indonesia masa Orde Baru. Sentralisasi pemerintahan semakin kuat dengan adanya kebijakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) maupun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), Dwifungsi ABRI (kini TNI), dan mobilisasi aparatur terkecil yakni desa. Sementara, fungsi pers Indonesia kala itu juga tertekan.

"Hingga Soeharto mendapat gelar sebagai 'Bapak Pembangunan' dalam Sidang Umum MPR tahun 1983. Namun, sejumlah keberhasilan atau pencapaiannya dibayang-bayangi berbagai peristiwa yang mencederai demokrasi, melanggar kebebasan berekspresi, berpendapat, dan Hak Asasi Manusia," ucap Didik.

Reaksi masyarakat terhadap kebijakan politik dan ekonomi Orde Baru akan ditulis pada bab ke delapan dalam jilid ini. Mulai dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sudah muncul sejak 1960-an, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 1976-1999, peristiwa Malari 1974, Petisi 50, peristiwa Tanjung Priok 1984, konflik agraria seperti Kedung Ombo 1985-1991, Talangsari 1989, kasus Marsinah 1993, dan kasus pelanggaran HAM lain.

Kemudian penculikan aktivis dan perjuangan buruh, yang menonjol adanya peristiwa terbunuhnya aktivis buruh perempuan Marsinah (1993), serta pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya.

Spanduk penolakan penghilangan fakta beberapa tragedi dalam peristiwa 1998 yang menjadi bagian rencana revisi sejarah oleh pemerintah disuarakan dalam Aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (3/7/2025). Dalam Aksi Kamisan ke-867 ini mengangkat tema 27 Tahun Tragedi Biak. Tragedi Biak yang terjadi pada 6 Juli 1998 ini merupakan peristiwa penyerangan aparat kepada warga sipil dengan korban ratusan orang, baik tewas, hilang, maupun luka-luka. Hingga kini tragedi yang merupakan pelanggaran HAM berat belum juga tertuntaskan. Selain Tragedi Biak, Aksi Kamisan tetap menyuarakan tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang masih sering terjadi, termasuk kriminalisasi peserta aksi Hari Buruh oleh Polda Metrojaya. Aksi Kamisan juga ini juga menyuarakan penolakan revisi sejarah oleh pemerintah yang menghilangkan fakta pemerkosaan massal pada 1998.
Prestasi dan Kontroversi Soeharto Ditulis Seimbang dalam Buku Sejarah Baru
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Spanduk penolakan penghilangan fakta beberapa tragedi dalam peristiwa 1998 yang menjadi bagian rencana revisi sejarah oleh pemerintah disuarakan dalam Aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Selain itu, tim juga akan memasukkan sederet peristiwa menjelang berakhirnya orde baru atau awal masa reformasi dalam Jilid 10. Mulai dari tertembaknya mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998, hingga beberapa poin terkait kerusuhan massal dan munculnya tindak kekerasan terhadap kaum perempuan, terutama dari kalangan Tionghoa, akan menjadi pokok bahasan dalam bab 10 ini.

Didik menegaskan, temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan 13-15 Mei 1998, untuk menyelidiki peristiwa adanya kekerasan terhadap perempuan termasuk tindakan rudapaksaan akan dimasukkan di dalam bab 10.

"Di sini kita hanya menulis berita-berita tanggal 13-15 Mei berdasarkan sumber-sumber surat kabar, laporan Tempo, dan terakhir tentu dari TGPF yang itu (terbit) di tahun 1999," kata Didik.

Jilid 9 ini akan ditutup dengan peristiwa 21 Mei 1998 saat ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru memuncak, mengaungkan suara tuntutan reformasi, hingga Suharto mengundurkan diri sebagai presiden.

Soeharto menyatakan dalam konferensi pers untuk bersedia mundur dan membentuk Komite Reformasi. Namun, tidak jelas kapan. Sementara itu, puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung DPR. Dua hari kemudian, Soeharto resmi mundur dari jabatan Presiden, mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru.
Prestasi dan Kontroversi Soeharto Ditulis Seimbang dalam Buku Sejarah Baru
Berita utama harian Kompas, 20 Mei 1998, berjudul Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden.
Persoalan ini menjadi perdebatan publik sejak proyek ini digelar, ditambah pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang kontroversial. Sejumlah aktivis perempuan, masyarakat sipil, akademisi, hingga anggota DPR RI menyampaikan keberatannya kepada Fadli Zon dan mendesak proyek ini ditunda.

Namun, Fadli Zon kembali menegaskan, para penulis yang terlibat dalam proyek ini tetap menjunjung tinggi integritas akademik dan bebas dari intervensi pihak mana pun. Untuk itu, dia meminta semua masyarakat, terutama generasi muda, untuk terlibat dalam serangkaian forum uji publik ini.

”Kalau dulu ada namanya (sejarawan) Sartono Kartodirdjo dan Taufik Abdullah. Kalau ini ya ditulis sejarawan generasi sekarang. Kalau ada yang merasa lebih hebat, lebih pintar lagi, ya, maju dong. Siapa dia?, di mana dia?, mana karyanya?. Kan begitu. Sederhana saja,” ujar Fadli Zon.

Uji publik pertama digelar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Setelah itu, uji publik akan digelar di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada Senin (28/7/2025); Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, pada Kamis (31/7/2025); dan terakhir di Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, pada Senin (4/7/2025). Diskusi digelar secara daring dan luring.

https://www.kompas.id/artikel/presta...u-sejarah-baru

semoga lancar


ojol.jayaAvatar border
ojol.jaya memberi reputasi
1
166
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan