- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
LUCKY B4STARD


TS
avsel
LUCKY B4STARD
Aku tak pernah menganggap masa SMA sebagai kenangan indah.
Bukan karena pelajaran yang sulit. Bukan juga karena pacar yang tiba-tiba mutusin aku di tengah semester—meskipun itu cukup menyakitkan.

Alasannya sederhana: tiga nama sialan.
Jhang. Ahn. Dan Dhong.
Media lokal bahkan pernah menjuluki mereka Trio Neraka. Kreatif, sih. Tapi rasanya seperti memberi nama keren ke monster sungguhan yang bebas berkeliaran di sekolah.
Mereka tidak cuma membully.
Mereka membakar harga diriku hidup-hidup, menginjaknya sampai rata, lalu tertawa puas di depan kelas.
Salah satu insiden bahkan membuatku masuk rumah sakit. Gegar otak. Trauma berat. Aku masih ingat lampu ruang UGD yang silau itu. Kepala berdenyut. Napas pendek. Dunia bergoyang seperti kapal pecah.
Dan entah bagaimana... aku tetap bisa lulus.
Tertinggal setahun, memang. Tapi lulus.
Setelah insiden itu viral, sekolah kami mendadak masuk berita. Trio Neraka langsung dikirim ke barak militer. Katanya sih “hukuman sosial.”
Aku sendiri menyebutnya: liburan keras buat tiga psikopat remaja.
Hari kelulusan tanpa mereka?
Ah... rasanya seperti menyeduh mi instan tengah malam—tenang, hangat, tanpa ancaman mental.
Aku pikir semuanya selesai. Aku kira hidupku akan normal. Aman.
Ternyata tidak.
---
Semester pertama kuliah.
Hari setelah acara penerimaan mahasiswa baru, Bullmar University.
Boom.
Mereka juga ada di sana.
Masih utuh. Masih hidup.
Masih... mereka hanya fisiknya saja yang kelihatan berubah (beberapa)
Jhang, yang dulu membenturkan kepalaku ke dinding pembatas rooftop sekolah, berdiri tegak dengan jaket kampus yang sama denganku.
Ahn, si kutu buku, kini terlihat lebih kalem—bahkan membawa novel tebal.
Dan Dhong... ya, dia masih jadi Dhong. Konyol. Cuek. Bikin bingung.
Mereka menatapku.
Dan—dengan wajah yang sama sekali belum pernah kulihat selama tiga tahun SMA—mereka tersenyum.
Lalu berjalan ke arahku.
Tubuhku otomatis menegang.
Insting bertahan hidup menyala: siap pukulan, siap tendangan, siap mental.
Tapi... tidak ada serangan.
“Hae,” kata Jhang, mengulurkan tangan.
“Mulai sekarang, kita berteman, ya?”
Aku menatapnya.
Mataku nyalang.
Pikiran berteriak:
Tapi yang keluar dari mulutku cuma,
“Aku nggak mau berurusan dengan kalian.”
Jhang hanya mengangguk pelan.
Ahn tidak berkata apa-apa.
Dan Dhong...
“Baik. Kami paham,” katanya, sambil sedikit membungkuk.
Aku terdiam.
Dhong? Nunduk? Ke aku?
Aneh.
Tapi aku terlalu syok untuk menganalisis lebih jauh.
Mereka bertiga kemudian pergi.
Aku menarik napas panjang.
Hening.
---
Dua hari berlalu.
Aku tak melihat mereka. Tak ada kabar. Tak ada gangguan. Aku sempat berpikir... mungkin mereka berubah. Mungkin mereka sadar.
Mungkin... aku aman.
Sampai akhirnya—suatu sore, saat aku baru pulang kuliah dan memegang plastik berisi ramen diskonan—aku membuka pintu kos dan...
Jhang sedang pull-up di palang balkon, menyelesaikan set terakhirnya, lalu menjawab santai:
“Kami dobrak dong,” sambil mengacungkan jempol.
Aku ingin teriak, tapi suaraku lenyap.
Di dalam, Ahn duduk tenang, membaca novel sambil menyeruput teh seolah-olah ini villa pribadi miliknya.
“Selamat datang,” katanya, tanpa menoleh.
Sementara Dhong?
Tentu saja... dia sedang merebus sayur di kompor portable. Kosanku berubah jadi dapur.
“Pas banget, Dhong lagi masak. Belum makan, kan?” tambahnya, seolah ini hal paling normal di dunia.
Aku masih memegang plastik ramen yang hampir lepas dari tangan ku.
“Dasar mahasiswa menyedihkan—makan ramen diskonan,” ujar Dhong, geleng-geleng kepala.
“Pantas kurus, kering, kayak kurang gizi,” tambah Ahn.
Aku ingin teriak.
Tapi tubuhku hanya bisa diam, membeku, dan menatap tiga alien di dalam ruang pribadiku.
Dan anehnya...
Kami malah makan bareng malam itu.
---
Malamnya, Jhang nginep.
Besok paginya, Ahn dan Dhong datang... dengan mobil pickup milik keluarga Dhong, kami berangkat naik itu.
“Siap?” tanya Dhong dari balik kemudi.
“Berangkat,” jawab Ahn dari kursi depan.
Sementara aku...
duduk di bak terbuka, bersebelahan dengan Jhang yang menutup mata dan senyum-senyum kena angin.
“Ahhh... kayak berdiri di depan kipas. Ademmm,” gumamnya.
Aku menghela napas panjang.
“Kenapa hidupku jadi kayak drama absurd begini?”
---
Dulu aku berharap hidupku akan kembali normal setelah SMA.
Tapi sepertinya, Tuhan sedang iseng.
Dan ironisnya...
aku nggak bisa kabur dari mereka.
Bersumbang...
Bukan karena pelajaran yang sulit. Bukan juga karena pacar yang tiba-tiba mutusin aku di tengah semester—meskipun itu cukup menyakitkan.

Alasannya sederhana: tiga nama sialan.
Jhang. Ahn. Dan Dhong.
Media lokal bahkan pernah menjuluki mereka Trio Neraka. Kreatif, sih. Tapi rasanya seperti memberi nama keren ke monster sungguhan yang bebas berkeliaran di sekolah.
Mereka tidak cuma membully.
Mereka membakar harga diriku hidup-hidup, menginjaknya sampai rata, lalu tertawa puas di depan kelas.
Salah satu insiden bahkan membuatku masuk rumah sakit. Gegar otak. Trauma berat. Aku masih ingat lampu ruang UGD yang silau itu. Kepala berdenyut. Napas pendek. Dunia bergoyang seperti kapal pecah.
Dan entah bagaimana... aku tetap bisa lulus.
Tertinggal setahun, memang. Tapi lulus.
Setelah insiden itu viral, sekolah kami mendadak masuk berita. Trio Neraka langsung dikirim ke barak militer. Katanya sih “hukuman sosial.”
Aku sendiri menyebutnya: liburan keras buat tiga psikopat remaja.
Hari kelulusan tanpa mereka?
Ah... rasanya seperti menyeduh mi instan tengah malam—tenang, hangat, tanpa ancaman mental.
Aku pikir semuanya selesai. Aku kira hidupku akan normal. Aman.
Ternyata tidak.
---
Semester pertama kuliah.
Hari setelah acara penerimaan mahasiswa baru, Bullmar University.
Boom.
Mereka juga ada di sana.
Masih utuh. Masih hidup.
Masih... mereka hanya fisiknya saja yang kelihatan berubah (beberapa)
Jhang, yang dulu membenturkan kepalaku ke dinding pembatas rooftop sekolah, berdiri tegak dengan jaket kampus yang sama denganku.
Ahn, si kutu buku, kini terlihat lebih kalem—bahkan membawa novel tebal.
Dan Dhong... ya, dia masih jadi Dhong. Konyol. Cuek. Bikin bingung.
Mereka menatapku.
Dan—dengan wajah yang sama sekali belum pernah kulihat selama tiga tahun SMA—mereka tersenyum.
Lalu berjalan ke arahku.
Tubuhku otomatis menegang.
Insting bertahan hidup menyala: siap pukulan, siap tendangan, siap mental.
Tapi... tidak ada serangan.
“Hae,” kata Jhang, mengulurkan tangan.
“Mulai sekarang, kita berteman, ya?”
Aku menatapnya.
Mataku nyalang.
Pikiran berteriak:
Quote:
Tapi yang keluar dari mulutku cuma,
“Aku nggak mau berurusan dengan kalian.”
Jhang hanya mengangguk pelan.
Ahn tidak berkata apa-apa.
Dan Dhong...
“Baik. Kami paham,” katanya, sambil sedikit membungkuk.
Aku terdiam.
Dhong? Nunduk? Ke aku?
Aneh.
Tapi aku terlalu syok untuk menganalisis lebih jauh.
Mereka bertiga kemudian pergi.
Aku menarik napas panjang.
Hening.
---
Dua hari berlalu.
Aku tak melihat mereka. Tak ada kabar. Tak ada gangguan. Aku sempat berpikir... mungkin mereka berubah. Mungkin mereka sadar.
Mungkin... aku aman.
Sampai akhirnya—suatu sore, saat aku baru pulang kuliah dan memegang plastik berisi ramen diskonan—aku membuka pintu kos dan...
Quote:
Jhang sedang pull-up di palang balkon, menyelesaikan set terakhirnya, lalu menjawab santai:
“Kami dobrak dong,” sambil mengacungkan jempol.
Aku ingin teriak, tapi suaraku lenyap.
Di dalam, Ahn duduk tenang, membaca novel sambil menyeruput teh seolah-olah ini villa pribadi miliknya.
“Selamat datang,” katanya, tanpa menoleh.
Sementara Dhong?
Tentu saja... dia sedang merebus sayur di kompor portable. Kosanku berubah jadi dapur.
“Pas banget, Dhong lagi masak. Belum makan, kan?” tambahnya, seolah ini hal paling normal di dunia.
Aku masih memegang plastik ramen yang hampir lepas dari tangan ku.
“Dasar mahasiswa menyedihkan—makan ramen diskonan,” ujar Dhong, geleng-geleng kepala.
“Pantas kurus, kering, kayak kurang gizi,” tambah Ahn.
Aku ingin teriak.
Tapi tubuhku hanya bisa diam, membeku, dan menatap tiga alien di dalam ruang pribadiku.
Dan anehnya...
Kami malah makan bareng malam itu.
---
Malamnya, Jhang nginep.
Besok paginya, Ahn dan Dhong datang... dengan mobil pickup milik keluarga Dhong, kami berangkat naik itu.
“Siap?” tanya Dhong dari balik kemudi.
“Berangkat,” jawab Ahn dari kursi depan.
Sementara aku...
duduk di bak terbuka, bersebelahan dengan Jhang yang menutup mata dan senyum-senyum kena angin.
“Ahhh... kayak berdiri di depan kipas. Ademmm,” gumamnya.
Aku menghela napas panjang.
“Kenapa hidupku jadi kayak drama absurd begini?”
---
Dulu aku berharap hidupku akan kembali normal setelah SMA.
Tapi sepertinya, Tuhan sedang iseng.
Dan ironisnya...
aku nggak bisa kabur dari mereka.
Bersumbang...
Diubah oleh avsel 14-07-2025 23:03




bang.toyip dan tiokyapcing memberi reputasi
2
277
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan