- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ekonomi RI Lesu Sudah Terbaca Sejak Lama, Tapi Diabaikan!


TS
jaguarxj220
Ekonomi RI Lesu Sudah Terbaca Sejak Lama, Tapi Diabaikan!
Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota Dewan Ekonomi Nasional, yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Arief Anshory Yusuf menunjukkan tanda-tanda ekonomi Indonesia memasuki fase lesu atau pelemahan sudah terjadi sejak lama.
Bahkan, kondisi ini terjadi sebelum akhirnya pertumbuhan ekonomi Indonesia keluar jalur tren tahunannya yang di kisaran 5%. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya tumbuh sebesar 4,87%, jauh lebih lambat ketimbang kondisi kuartal I-2024 yang masih mampu tumbuh 5,11%.
"Kelesuan ekonomi ini atau perlambatan pertumbuhan ekonomi ini sebenarnya sudah terbaca sejak lama," kata Arief dalam program Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, Kamis (10/7/2025).
Sayangnya, ia tegaskan, tak semua pembuat kebijakan tak percaya perekonomian Indonesia tengah mengalami kelesuan, sebelum akhirnya keluar kebijakan paket stimulus ekonomi pada kuartal I-2025 yang senilai Rp 33 triliun dan berlanjut hingga kuartal II-2025 dengan nilai paket stimulus Rp 24,4 triliun.
"Itu hampir semua policynya come up dari analisis kita tentang kelesuan ekonomi, karena pada saat itu tidak semua percaya ada kelesuan ekonomi. Banyak yang enggak percaya, dan kami haqqul yakin waktu itu ada," tegas Arief.
Arief pun menunjukkan sejumlah indikator ekonomi Indonesia telah mengalami tanda-tanda perlambatan sebelum akhirnya pertumbuhannya melemah mulai kuartal I-2025. Data pertama yang ia katakan sulit dibantah ialah meningkatnya porsi belanja masyarakat untuk kebutuhan bahan pokok di perbankan.
Ia menjelaskan, berdasarkan Hukum Engel, ketika proporsi belanja kebutuhan barang pokok meningkat, otomatis menandakan peningkatan jumlah masyarakat dengan pendapatan pas-pasan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, kemampuan daya belinya hanya mampu diserap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
"Hukum Engel itu kalau semakin miskin seseorang, semakin meningkat proporsi barang pokoknya, sedangkan kalau semakin kaya seseorang, semakin sedikit proporsi untuk barang pokoknya. Dan kemarin data itu jelas sekali menunjukkan bahwa ada peningkatan proporsi pengeluaran untuk barang-barang pokok," ungkap Arief.
Fakta kedua, Arief melanjutkan, ialah upah riil masyarakat yang terus mengalami penurunan. Upah riil tercermin dari total pendapatannya dikurangi angka inflasi. Upah riil di Indonesia stagnan sejak 2016 di kisaran Rp 1.500.000 per bulan, meskipun upah nominal terus bergerak naik dari kisaran Rp 1.500.000 per bulan hingga hampir ke level Rp 3.000.000 pada 2024.
Kondisi ini diperburuk dengan tren lemahnya belanja pemerintah setiap memasuki masa konsolidasi seusai Pemilihan Umum (Pemilu) ataupun Pilpres. Hingga akhirnya tercermin dari data konsumsi pemerintah yang minus 1,38% pada kuartal I-2025, padahal ekonomi masyarakat tengah mengalami pelemahan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,89%.
"Sehingga konsumsinya lesu masyarakat, pemerintahnya agak terlambat, itu beresiko menjadi, kalau dalam ekonomi makro, ekonomi melesu dari segi permintaan masyarakat, agregat pemerintah itu lesu juga, itu prosiklikal namanya. Jadi prosiklikal itu dia malah memperparah," tutur Arief.
Baca artikel CNBC Indonesia "Ekonomi RI Lesu Sudah Terbaca Sejak Lama, Tapi Diabaikan!" selengkapnya di sini: https://www.cnbcindonesia.com/news/2...tapi-diabaikan
Sejak tahun 2016..???
Era siapa tuhh...
Btw, ini yang ngomong anggota DEN ya.. Anak buahnya Luhut?
Kok berani bilang gini..
Bahkan, kondisi ini terjadi sebelum akhirnya pertumbuhan ekonomi Indonesia keluar jalur tren tahunannya yang di kisaran 5%. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya tumbuh sebesar 4,87%, jauh lebih lambat ketimbang kondisi kuartal I-2024 yang masih mampu tumbuh 5,11%.
"Kelesuan ekonomi ini atau perlambatan pertumbuhan ekonomi ini sebenarnya sudah terbaca sejak lama," kata Arief dalam program Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, Kamis (10/7/2025).
Sayangnya, ia tegaskan, tak semua pembuat kebijakan tak percaya perekonomian Indonesia tengah mengalami kelesuan, sebelum akhirnya keluar kebijakan paket stimulus ekonomi pada kuartal I-2025 yang senilai Rp 33 triliun dan berlanjut hingga kuartal II-2025 dengan nilai paket stimulus Rp 24,4 triliun.
"Itu hampir semua policynya come up dari analisis kita tentang kelesuan ekonomi, karena pada saat itu tidak semua percaya ada kelesuan ekonomi. Banyak yang enggak percaya, dan kami haqqul yakin waktu itu ada," tegas Arief.
Arief pun menunjukkan sejumlah indikator ekonomi Indonesia telah mengalami tanda-tanda perlambatan sebelum akhirnya pertumbuhannya melemah mulai kuartal I-2025. Data pertama yang ia katakan sulit dibantah ialah meningkatnya porsi belanja masyarakat untuk kebutuhan bahan pokok di perbankan.
Ia menjelaskan, berdasarkan Hukum Engel, ketika proporsi belanja kebutuhan barang pokok meningkat, otomatis menandakan peningkatan jumlah masyarakat dengan pendapatan pas-pasan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, kemampuan daya belinya hanya mampu diserap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
"Hukum Engel itu kalau semakin miskin seseorang, semakin meningkat proporsi barang pokoknya, sedangkan kalau semakin kaya seseorang, semakin sedikit proporsi untuk barang pokoknya. Dan kemarin data itu jelas sekali menunjukkan bahwa ada peningkatan proporsi pengeluaran untuk barang-barang pokok," ungkap Arief.
Fakta kedua, Arief melanjutkan, ialah upah riil masyarakat yang terus mengalami penurunan. Upah riil tercermin dari total pendapatannya dikurangi angka inflasi. Upah riil di Indonesia stagnan sejak 2016 di kisaran Rp 1.500.000 per bulan, meskipun upah nominal terus bergerak naik dari kisaran Rp 1.500.000 per bulan hingga hampir ke level Rp 3.000.000 pada 2024.
Kondisi ini diperburuk dengan tren lemahnya belanja pemerintah setiap memasuki masa konsolidasi seusai Pemilihan Umum (Pemilu) ataupun Pilpres. Hingga akhirnya tercermin dari data konsumsi pemerintah yang minus 1,38% pada kuartal I-2025, padahal ekonomi masyarakat tengah mengalami pelemahan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,89%.
"Sehingga konsumsinya lesu masyarakat, pemerintahnya agak terlambat, itu beresiko menjadi, kalau dalam ekonomi makro, ekonomi melesu dari segi permintaan masyarakat, agregat pemerintah itu lesu juga, itu prosiklikal namanya. Jadi prosiklikal itu dia malah memperparah," tutur Arief.
Baca artikel CNBC Indonesia "Ekonomi RI Lesu Sudah Terbaca Sejak Lama, Tapi Diabaikan!" selengkapnya di sini: https://www.cnbcindonesia.com/news/2...tapi-diabaikan
Sejak tahun 2016..???
Era siapa tuhh...

Btw, ini yang ngomong anggota DEN ya.. Anak buahnya Luhut?
Kok berani bilang gini..







soelojo4503 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
490
51


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan