- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
"Soekarno: Cahaya dan Bayangannya"


TS
djrahayu
"Soekarno: Cahaya dan Bayangannya"

Wikipedia_Ir Soekarno
Ir. Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur, dengan nama Koesno Sosrodihardjo. Karena sering sakit, namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru. Soekarno menempuh pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya, lalu melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), di mana ia lulus sebagai insinyur pada 1926. Masa kecil dan remajanya banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti H.O.S. Tjokroaminoto, yang menjadi mentor politiknya (Dahlan, 2010; Buku "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia").
Soekarno menjadi salah satu tokoh utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada 1927, ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berhaluan non-kooperatif terhadap Belanda. Akibat aktivitas politiknya, ia kerap dipenjara dan diasingkan, termasuk ke Ende (Flores) dan Bengkulu oleh pemerintah kolonial. Bersama Mohammad Hatta, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sekaligus menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia (Ricklefs, 2008; "Sejarah Indonesia Modern 1200–2008").
Soekarno dikenal sebagai orator ulung yang mampu membangkitkan semangat nasionalisme. Ia menggagas konsep Nasionalisme, Agama, dan Marxisme (NASAKOM) untuk menyatukan berbagai ideologi. Di tingkat internasional, ia menjadi pionir Konferensi Asia-Afrika (1955) dan gerakan Non-Blok. Namun, kepemimpinannya juga diwarnai kontroversi, seperti Demokrasi Terpimpin yang cenderung otoriter dan keterlibatannya dalam konflik dengan militer (Feith, 2007; "The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia").
Soekarno memimpin Indonesia di masa transisi yang penuh gejolak. Pada 1950-an, ia berhasil mempertahankan kedaulatan Indonesia dari ancaman disintegrasi, seperti pemberontakan DI/TII dan PRRI/Permesta. Namun, kebijakan ekonominya sering dianggap tidak stabil, seperti nasionalisasi perusahaan asing tanpa kesiapan SDM, yang berujung pada hiperinflasi (Glassburner, 1971; "The Economy of Indonesia"). Di sisi lain, ia membangun monumen nasional seperti Monumen Nasional (Monas) dan Gelora Bung Karno sebagai simbol kebanggaan bangsa.
Soekarno memiliki visi besar tentang "Indonesia Raya" yang mandiri dan disegani dunia. Ia menggalang persatuan dengan konsep "Marhaenisme" (sosio-nasionalisme) dan berhasil menjadikan Indonesia sebagai poros politik Dunia Ketiga. Kemampuannya dalam diplomasi internasional terlihat saat Konferensi Asia-Afrika 1955, yang menjadi fondasi Gerakan Non-Blok. Soekarno juga seorang intelektual yang fasih berbahasa asing dan menguasai berbagai ideologi (Legge, 2003; "Sukarno: A Political Biography").
Di balik kharismanya, Soekarno memiliki kelemahan dalam manajemen ekonomi. Kebijakan Gunting Sjafruddin (pemotongan nilai uang) dan ketergantungan pada bantuan Uni Soviet justru memperburuk inflasi hingga 650% pada 1966 (Booth, 1998; "The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries"). Selain itu, rezimnya diwarnai penyensoran media dan penahanan lawan politik, seperti kasus Peristiwa 1965 yang melibatkan pembubaran PKI namun juga memicu pembunuhan massal tanpa pengadilan (Cribb, 1990; "The Indonesian Killings of 1965–1966"). Soekarno juga dikritik karena gaya hidupnya yang mewah dan hubungan dengan beberapa wanita, meski hal ini sering dibantah oleh pendukungnya.
Memasuki pertengahan 1960-an, posisi politik Soekarno semakin melemah. Konflik dengan Angkatan Darat dan ketidakstabilan ekonomi memuncak setelah Peristiwa G30S 1965, yang menjadi titik balik kejatuhannya. Soekarno dianggap gagal mengendalikan situasi, dan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang ditandatanganinya menjadi dasar transisi kekuasaan ke Soeharto. Secara bertahap, kewenangannya dikurangi hingga dilengserkan oleh MPRS pada 1967 melalui Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 (Sundhaussen, 1982; "The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945–1967"). Soekarno kemudian menjalani tahanan rumah hingga wafatnya pada 21 Juni 1970.
Meski lengser secara tragis, warisan Soekarno tetap hidup dalam dasar negara Pancasila, semangat anti-kolonialisme, dan proyek mercusuarnya seperti Monas dan Masjid Istiqlal. Gagasannya tentang "Trisakti" (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, berkepribadian secara budaya) masih sering dikutip sebagai cita-cita nasional. Bahkan setelah Orde Baru berusaha mengurangi pengaruhnya, gelar "Bapak Proklamator" tak pernah terbantahkan (Hering, 2002; "Soekarno: Founding Father of Indonesia 1901–1945").
Beberapa keputusan Soekarno masih kontroversial hingga kini, seperti:
Dukungannya pada PKI di awal 1960-an yang dianggap memicu ketegangan politik.
Proyek mercusuar yang menghabiskan anggaran negara di tengah krisis ekonomi.
Keterlibatan tidak langsung dalam tragedi 1965, di mana ia dianggap abai mencegah kekerasan (Roosa, 2006; "Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia").
Namun, para pendukungnya berargumen bahwa situasi Perang Dingin dan intervensi asing turut memicu keruntuhannya.
Di balik citranya sebagai pemimpin karismatik, Soekarno memiliki sisi humanis yang sering terlupakan. Ia dikenal sangat dekat dengan rakyat kecil, sering menyempatkan blusukan ke pasar tradisional tanpa pengawalan ketat. Sebagai seorang ahli arsitektur, ia kerap turun langsung mengawasi pembangunan proyek nasional. Soekarno juga seorang bibliofil (pencinta buku) dengan perpustakaan pribadi ribuan judul, termasuk karya-karya Marx, Lenin, dan filsuf Barat (Adams, 2005; "Soekarno's Intellectual Legacy"). Kebiasaannya menulis pidato sendiri, bukan hanya mengandalkan tim penulis, menunjukkan kedalaman pemikirannya.
Soekarno menggunakan seni dan budaya sebagai alat diplomasi. Ia menginisiasi Pameran Seni Rupa Indonesia di Moskow (1954) dan mengirim misi kesenian ke berbagai negara. Bahkan, ia merancang sendiri busana nasional untuk Ibu Negara yang memadukan unsur tradisional dan modern. Dalam pidato di PBB tahun 1960, ia sengaja mengenakan peci hitam sebagai simbol identitas bangsa terjajah (Poeze, 2008; "Diplomasi Seni Era Soekarno"). Pendekatan ini membuat Indonesia dikenal bukan hanya sebagai entitas politik, tapi juga peradaban budaya.
Kepemimpinan Soekarno adalah paradoks yang menarik. Di satu sisi, ia menolak imperialisme tetapi di sisi lain membangun kultus individu melalui gelar "Penyambung Lidah Rakyat". Ia menggagas Demokrasi Terpimpin yang anti liberalisme Barat, tapi justru menciptakan sistem yang terpusat pada dirinya. Ironisnya, proyek-proyek mercusuarnya yang mahal (sepatu Bata untuk rakyat pun langka) justru menjadi simbol kesenjangan era itu (Mortimer, 2006; "Indonesian Communism Under Sukarno"). Paradoks ini mencerminkan dilema pemimpin revolusioner yang terjebak antara cita-cita dan realpolitik.
Tahun-tahun terakhir Soekarno diwarnai ironi pahit. Sang proklamator yang pernah berpidato di hadapan puluhan ribu massa, harus menghabiskan hari-harinya dalam pengawasan ketat di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya memburuk akibat tekanan politik dan isolasi, namun ia tetap menolak untuk mengakui legitimasi pemerintahan Orde Baru. Dokumen CIA yang baru dideklasifikasi (2017) mengungkap bahwa Soekarno sempat berusaha melarikan diri ke luar negeri namun digagalkan oleh intelijen (Simpson, 2018; "Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations"). Ia wafat dalam status sebagai tahanan politik, dimakamkan secara sederhana di Blitar, jauh dari pusat kekuasaan yang pernah ia genggam.
Pasca Reformasi 1998, terjadi rehabilitasi simbolik terhadap figur Soekarno. Survei LIPI (2020) menunjukkan 78% generasi muda menganggap Soekarno sebagai presiden paling inspiratif, mengalahkan tokoh lainnya. Fenomena ini terlihat dari:
Viralnya pidato Soekarno di media sosial
Maraknya merchandise bertema "Bung Karno"
Kebangkitan gaya retro ala 1960-an
Namun, para sejarawan mengingatkan agar tidak terjebak pada romantisme buta, melainkan perlu melihat secara kritis kontribusi dan kesalahannya (Purdey, 2019; "Indonesia's 'New Order': From Soekarno to Soeharto").
Soekarno meninggalkan warisan kompleks yang masih relevan hingga kini:
Keteguhan prinsip melawan kolonialisme
Bahaya penyatuan kekuasaan politik dan simbolik yang berujung otoriter
Pentingnya diplomasi budaya di panggung global
Kegagalan manajemen ekonomi sebagai pelajaran bagi pemimpin masa kini
Sejarawan Taufik Abdullah (2021) dalam "Indonesia dalam Arus Sejarah" menyimpulkan: "Soekarno adalah cermin bangsa ini - gemilang dalam retorika, heroik dalam perlawanan, tetapi juga rapuh dalam praktik". Pada akhirnya, ia tetap monumen hidup yang tak pernah selesai diperdebatkan.
Quote:
Sumber Referensi:
Adams, C. (2005). Soekarno's Intellectual Legacy: Between Nationalism and Marxism. Journal of Southeast Asian Studies.
Booth, A. (1998). The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries. Palgrave Macmillan.
Cribb, R. (1990). The Indonesian Killings of 1965–1966. Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.
Dahlan, M. (2010). Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Yayasan Bung Karno.
Feith, H. (2007). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Equinox Publishing.
Glassburner, B. (1971). The Economy of Indonesia. Cornell University Press.
Hering, B. (2002). Soekarno: Founding Father of Indonesia 1901–1945. Hasta Mitra.
Legge, J.D. (2003). Sukarno: A Political Biography. Archipelago Press.
Mortimer, R. (2006). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics. Equinox Publishing.
Poeze, H.A. (2008). Diplomasi Seni Era Soekarno: Dari Bandung ke New York. Obor Foundation.
Purdey, J. (2019). Indonesia's 'New Order': From Soekarno to Soeharto. Routledge.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Serambi.
Roosa, J. (2006). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia. University of Wisconsin Press.
Simpson, B. (2018). Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations. Stanford University Press.
Sundhaussen, U. (1982). The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945–1967. Oxford University Press.
Taufik Abdullah (2021). Indonesia dalam Arus Sejarah. Kompas Penerbit Buku.
0
24
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan