Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Lemon Tea
Lemon Tea

Sinopsis:


Zoya (27 tahun), seorang barista super sarkastik yang hobby menyindir pelanggan pakai tulisan di cup kopi, sudah kehilangan semangat hidup: mantannya menikah minggu depan setelah sebelumnya ia disuruh menanti selama empat tahun, ibunya menyalahkannya dan mulai menjodohkan Zoya dengan anak teman arisan. Mirisnya lagi, tabungan Zoya yang tidak seberapa, habis dalam hitungan jam gara-gara perawatan klinik yang sama sekali tidak membawa perubahan. Hari-harinya jadi seambyar cappucino yang gagal dibikin foam art. Ia memilih tak pulang ke rumah. Memohon pada Om Hans, bos-nya, untuk bisa tidur dan bergelandangan manja di kafe seumur hidup.

Suatu hari, ia kedatangan Arion (25 tahun), pelanggan aneh yang setiap hari datang ke kafe dan minum lemon tea. Pesanannya selalu sama: lemon tea, tanpa es, tanpa gula. Zoya sangat penasaran dengan sosok satu ini. Siapa sih, yang ke kafe lucu-lucu cuma buat minum lemon tea yang lebih cocok untuk orang demam?

Hidupnya yang sudah cukup drama berubah makin absurd ketika tahu bahwa pria itu adalah seorang konsultan manajemen, yang datang untuk “merapikan sistem kerja kafe.” Sikap dingin dan perfeksionisnya, membuat gadis itu merasa tertantang sekaligus ingin melempar gelas. Arion benci ketidakteraturan. Sementara Zoya adalah definisi dari kekacauan yang hidup. Dua kutub yang seharusnya tak bertemu… tapi terus bertabrakan di balik mesin espresso.

Di antara kejadian-kejadian menyebalkan, masa lalu Zoya yang ia kubur dengan whipped cream, malah ikut naik ke permukaan, membawa kabar barunya jika ia tak jadi menikah.

Apakah Zoya bisa benar-benar melupakan masa lalunya? Atau kah dia bisa membuka hati yang baru? Atau ia lebih memilih menjalani hidup sendiri?

----

Lemon Tea
Bab 1


Kopi Kawan, tempatku mengabdikan hidup, hati, dan kadang-kadang rasa frustasi, adalah kafe kecil bergaya vintage yang berada di sudut jalan Kota Mojokerto. Dulunya ramai. Dulunya hangat. Dulunya punya lima karyawan yang kompak dan sering karaoke di dapur pakai sendok. Sekarang? Tinggal aku dan Vina. Dan satu kipas angin yang bunyinya kayak suara hewan mitologi kehausan.

Semenjak pandemi dan datangnya tren kopi-kopi viral yang disajikan pakai mangkuk keramik Korea dan background neon pink, Kopi Kawan mulai ditinggal. Pelanggan setianya sekarang hanya beberapa: mas-mas ojek online yang pesan untuk dirinya sendiri, penjual angkringan sebelah yang mungkin terpaksa beli karena sering minta air se-timba, dan... baru-baru ini ada satu pria misterius.

Dia sudah tiga kali datang. Dan setiap kali itu juga, pesanannya selalu sama: lemon tea panas, tanpa gula, tanpa es, dan tanpa ekspresi di wajahnya.

Namaku Zoya. Umur 27 tahun. Barista di kafe kecil ini sejak tiga tahun lalu, setelah gagal total jadi editor buku karena terlalu sering ngoreksi isi hati sendiri. Motto hidupku sederhana: kalau bisa disindir, kenapa harus dipendam?

Dan pagi ini, seperti biasa, aku siap meladeni para pelanggan dengan kopi dan—kalau sempat—komentar nyinyir penuh kasih sayang.

Di balik meja bar, aku berdiri tengah menyusun gelas sambil menggumam lagu, yang bahkan aku sendiri nggak tahu liriknya. Seragam barista warna moca agak kusut—bukan karena lupa disetrika, tapi karena aku percaya "kerutan adalah bukti perjuangan." Atau karena aku bangun kesiangan. Dua hal itu kadang tak bisa dibedakan.

Tiba-tiba, pintu kaca kafe berbunyi. Masuklah pelanggan pertama kami.

Seorang perempuan muda, sepertinya belum pernah ke sini. Ia pakai tote bag bertuliskan “I Need Coffee More Than Therapy”, dengan riasan mata yang seolah menjerit, “aku belum move on tapi pura-pura bahagia.” Ah, parah!

"Selamat pagi, Mbak. Mau diseduh atau dipeluk hari ini?" tanyaku sambil tersenyum ramah-ramah sarkas.

“Ehm…" Gadis itu diam sejenak, memandang buku menu yang ada di hadapan. "...aku latte oat milk, ya. Tapi gulanya setengah. Tapi foamy-nya banyak, dan kopinya jangan terlalu pahit," lanjutnya. Sementara aku tersendat menulis karena pendengaran nggak fokus.

“Baik, Mbak. Jadi... kita pesan satu latte… dengan ekspektasi rumit?”

Dia ketawa. “Iya, sorry-sorry. Lagi kacau banget nih hari ini.”

“Tenang, Mbak. Di sini, kita nggak hanya seduh kopi. Kita juga seduh perasaan.”
Aku mulai menuliskan pesan di cup-nya:

> “Semoga harimu lebih manis dari cowok yang nggak jadi milikmu.”

Dia senyum malu-malu. “Aduh, itu dalem banget.”

“Dari lubuk hati barista yang lelah hidup, Mbak," sahutku datar.

---

Baru saja si latte rumit keluar dengan hati ringan, pintu kafe berbunyi lagi.

Ternyata pria itu lagi!

Dengan style yang sama. Rapi. Tegas. Jelas bukan tipe yang nyasar ke kafe kecil penuh quote nyinyir seperti Kopi Kawan. Kemejanya kali ini warna cerah, dengan celananya hitam pekat, dan jam tangan yang seperti bisa mengatur waktu hidup orang lain. Wajahnya masih sama, kaku. Seperti lemari file kantor pajak. Dia berjalan ke arahku. Tanpa senyum. Tanpa sapaan.

Kutatap jam yang menempel di dinding bagian tengah kafe. Selalu tepat jam 09.00 WIB. Langkahnya konsisten, dengan sepatu yang selalu bersih.

Di balik mesin kopi, kusaksikan langkahnya seperti robot terprogram. Mata kami bertemu sebentar. Tatapannya biasa saja. Sangat membosankan.

“Pelanggan lemon tea datang lagi." Lirih aku berkata pada Vina yang baru saja lewat. Vina yang hendak mengisi kopi bubuk, langsung berbinar. “Zoy, sumpah deh, aku nggak ngerti kenapa kamu bisa sesantai itu ngeliat dia. Dia itu kayak... kayak arsitek dari web drama Korea. Cool banget nggak,sih.”

Aku mendesah. “Vin, kalau kamu jatuh cinta sama pelanggan yang sukanya cuma pesan lemon tea, hidup kamu akan berakhir dengan vitamin C dan kekecewaan.”

Dia mencubit lenganku. “Kamu tuh nggak peka. Bisa aja itu gayanya pendekatan dia ke kita.”

Aku tersenyum setengah hati. “Oke, pendekatan pakai air jeruk. Romantis banget.”

"Sudahlah, jangan dipikirkan lagi si Keenan! Buktinya, tuh, langsung dikasih pengganti sama Tuhan yang lebih bening!" Vina tersenyum lebar menatap pria itu. Aku mendengkus masa bodoh. "Nggak ada hubungannya sama Keenan. Sudah, jangan sebut nama itu lagi!"

Laki-laki itu tampaknya menunggu di meja bar. Kutarik napas lebih dulu. Kemudian melangkah ke luar dan menyambutnya dengan senyum profesional. "Selamat pagi!" Mencoba seramah mungkin meskipun malas sekali berhadapan dengan laki-laki.

“Satu lemon tea. No sugar, no ice, no soul,” serunya. Kalimat yang sama. Nada yang sama. Seperti direkam dan diulang.

“Mengerti, Pak. Tapi, kami hanya jual minuman, bukan racikan untuk patah hati,” balasku sambil menekan tombol pemanas air. Masih dengan senyum terpasang semanis mungkin.

Dia mengangkat alis. “Saya serius.”

“Saya juga. Tapi kalau anda senyum sedikit seperti saya, itu akan terasa lebih manis,” ujarku, terus memaksakan senyum padanya.

Dia menatap datar dan mencebik, “saya alergi senyum palsu.”

Ah, sudahlah! Apapun perkataannya, aku berusaha memberi senyum pasti- khas ramah seorang barista. Biar hati asalnya remuk, yang penting dipandang pelanggan baik-baik saja.

Asli, pria yang sangat membosankan. Mungkin diciptakan dari sari lemon murni. Asem kecutnya terasa sekali.

Sejenak kutatap name tag yang terkalung di dadanya, sebelum akhirnya ia sadar, lalu melepaskan name tag-nya. Aneh sekali. Kenapa seperti takut ketahuan?
Baru kali ini aku membaca namanya setelah berhari-hari dia gentayangan di Kopi Kawan. Sambil menyiapkan tehnya, aku menulis di kertas, lalu menyelipkannya di cup: “Cocok diminum sambil evaluasi keputusan hidup, Pak Airon Man.”

Dia membaca. Sejenak diam. Lalu menyeruput tehnya. Dan... sudut bibirnya naik. Sedikit. Hampir tidak terlihat. Tapi aku menangkapnya.

Vina menyenggolku dari belakang. “Dia senyum, Zoy. Demi kopi sachet, dia senyum!”

“Cuma refleks otot wajah. Bukan buat aku,” jawabku sok tenang.

---

Saat kafe mulai lengang, aku dan Vina saling bersandar di kursi malas dekat kasir.

"Perut aku masih kek orang hamil gak, sih?" Pelan aku mengajak Vina ngobrol.

"Tenang aja. Masih berupa benjolan dikit. Daripada perut aku, malah kayak orang brojol." Vina cekikikan sembari menatap layar gawainya.

"Tapi, ada perubahan gak sih, sedot lemaknya?"

"Nggak kelihatan, sih. Atau emang belum keliatan, ya?"

"Yaaahh... sia-sia, dong, ATM-ku jadi kinclong." Aku mendengkus. Entah mengapa, ingatanku kembali menjurus pada Keenan, mantan pacar yang dengan sadarnya mengirim surat undangan di grup WhatsApp SMA. Ada notes khusus pula: 'Buat mantanku, Fatrisa Zoya, datanglah saat akad sebagai saksi ya. Aku bakal terima kasih banget'... yang akhirnya notes itu jadi pasar kaget. Teman-teman saling ramai berbalas chat di grup menyoraki.

Ada yang ngasih dukungan aku.
Ada yang ngasih emot ngeledek, ngetawain.
Definisi jagain jodoh orang yang sesungguhnya.

Aku sedih bukan karena patah hatinya, tapi lebih ke 'Awas loe, ya, Keenan'

Calonnya, aku kenal. Kita bertiga dulu satu kelas saat SMA. Sudah dari dulu Aurel naksir Keenan. Tapi bagi Keenan, dia kayak buntelan kentut. Dulu badannya jumbo, dan bisa lah kalian bayangin kenapa bisa Keenan ngatain seperti itu.

Ternyata, lain dulu lain sekarang. Foto di undangan beda banget. Aurel sudah langsing, kulitnya putih, bahkan wajahnya jauh berbeda dengan jaman kita saat SMA. Iseng-iseng kupelototin dia di Instagram. Uang memang bisa merubah buntelan kentut jadi bidadari surga.

Gara-gara itu lah, tabunganku di ATM kinclong hitungan jam untuk sedot lemak dan perawatan wajah. Niat hati pengen balas dendam ke mantan dengan upgrade diri, tapi berubahnya enggak, miskin seketika-iya.

Oh My God, kejadian ini bikin ibu banyak nyalahin aku. Terbayang lagi, deh, ucapan ibu yang memaksaku berkenalan dengan anak teman arisannya. Melihat laki-laki saja sudah mati rasa, apalagi disuruh kenalan. Untung Om Hans mau menerimaku pulang di Kopi Kawan. Kalau tak, mungkin aku sebaiknya mati ketimpuk mesin espresso.

Sedang lelah-lelahnya meratapi nasib, tiba-tiba saja pria paruh baya itu muncul dari balik pintu gudang. Seperti biasa, penampilannya nyentrik: kaos bekas konser tahun 1998, celana pendek army, dan topi fedora yang terlalu percaya diri.

“Halo, guys!” Om Hans menyapa berat seperti efek suara radio rusak. “Aku mau ngomong sama kalian.”

Aku dan Vina menoleh bersamaan. Sementara Om Hans sudah berdiri tepat di depan kita.

“Kalian tahu, kan, gimana keadaan kafe sekarang? Sebenernya Om sudah kehabisan cara untuk mempertahankan. Sudah mencoba merombak gaya kafe, yang kata kalian, harus instagramable. Tapi, tetap saja tidak menarik para konsumen untuk singgah balik. Kalian tahu sendiri. Hanya beberapa saja yang penasaran, tapi gak pernah datang lagi."

"Trus, Om... apa kali ini Om Hans bakal nutup Kopi Kawan? Apa nggak sayang, Om, merintis sekian tahun lamanya harus tutup. Ini 'kan bisnis kenangan dengan almarhumah Tante Hera, Om. Tante di surga pasti sedih kalau ditutup, Om." Vina mulai mengeluarkan gaya melasnya, seperti ayam susah napas. Kata-kata yang selalu sama dilontarkan saat Om Hans mengajak diskusi terkait perkembangan kafe yang tak ada kembang-kembangnya. Kecuali kembang-kempis.

"Tentu saja tidak." Om Hans menimpali. "Tapi, aku sedang minta bantuan temanku yang sekarang kerja di manajemen bisnis. Dia ngirim seorang konsultan buat bantu naikin performa kafe.”

Aku mengernyit. “Konsultan?” Lalu saling pandang bersama Vina.

"Iya. Dalam beberapa bulan, ia akan ada di Kopi Kawan. Membantu kita merombak semuanya."

Kami hanya terdiam, sama-sama mengingat tentang name tag yang terkalung di dada pria itu, yang bertuliskan 'Management Consultant'

Vina spontan mengucap takbir sambil menajamkan mata. “Om... jangan bilang... orangnya itu,” serunya kemudian. Aku mulai menarik napas dalam-dalam.

Om Hans langsung mengalihkan pandangannya ke sosok yang ditunjuk Vina. Matanya mengernyit, seakan-akan juga tak tahu siapa sosok yang duduk di seberang. "Om kurang paham, sih... tapi, masa iya, teman Om tidak bilang dulu kalau mengirim konsultannya sekarang," ujarnya.

"Lah, dia ke sini udah sering, Om. Dia juga seorang konsultan managemen. Sepanjang hari dia duduk di situ. Seperti seorang detektif yang suka mengamati suasana kafe dari ujung ke ujung." Vina mencoba menjelaskan.

"Astaga, kok bisa-bisanya teman Om nggak ngenalin dulu konsultan yang akan dikirimnya," protesku.

"Iya, dia memang ngomong kalau konsultannya bakal ke sini sewaktu-waktu. Yang pasti katanya, dia suka lemon tea."

Aku dan Vina kompak menyahut, “naaahhh!”

Tanpa ba-bi-bu, Om Hans melangkah ke luar menuju pria dingin itu seraya berseru, "Halo, selamat siang. Pak Arion, ya?"
Keduanya lalu berjabat tangan.

Vina mendadak berdiri dari kursinya seperti habis disetrum kopi sachet tiga lapis. Wajahnya merah, matanya membesar, dan mulai menggoyangkan badan, seperti orang yang kaget dapat doorprize. Ia mulai menari menggila. Campuran antara K-Pop, poco-poco, dan ketindihan jin bahagia.

“Zoy! Zoy! Ini takdir!” serunya, memutar badan dan hampir menjatuhkan toples kue kering.

“Vin, jangan deket-deket grinder! Ntar nyangkut.” Aku mulai mengamankan teko susu dari goyangan Vina yang membabi buta. Bisa-bisanya Vina begitu girang, sementara hari-hari kita selanjutnya bakal jadi musibah nasional.

Di saat aku mulai kesal dengan tingkah gadis berbadan bontot itu, tiba-tiba Om Hans memanggil kami. Vina menghentikan atraksinya, bergegas ke luar. Sementara aku menyusul gontai di belakang.

"Ayo, kenalkan... ini rekan kerja kita sementara untuk beberapa bulan ke depan." Om Hans berseru, kemudian dilanjutkan dengan uluran tangan dari Vina. "Selamat bergabung di Kopi Kawan, Pak. Nama saya Lovina Anastasya. Biasa dipanggil Vina, atau lebih enaknya Love juga boleh." Mulut Vina mulai cekikikan di akhir.

Aku diam saja. Membuang pandang. Sepertinya ia menangkap wajah cuekku.

"Saya Arion Keandra Neal." Seusai melepas jabatan tangan Vina. Ia menyodorkan secarik kertas padaku. Kertas kecil yang tadinya kuselipkan di balik lemon tea-nya. "Panggil saya Arion. Bukan Airon, apalagi di tambah 'Man'. Saya bisa saja somasi, jika ini suatu penghinaan," lanjutnya datar.

Aku terhenyak. Sekilas kami beradu pandang. Kali ini ia tersenyum, namun sinis.

Siapa suruh punya nama susah dibaca. Apalagi baca tulisan sekecil itu di name tag-nya. Bukan menghina, tapi memang gak fokus baca. Umpatan demi umpatan terus bermunculan dalam hati.

Oke, jika robot lemon ini menantangku, akan kusiapkan tantangan balik. Kukira dia hanya orang yang membosankan. Namun ternyata, jauh lebih menyebalkan dari kelakuan mantan.

(Bersambung)
0
24
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan