Kaskus

Entertainment

djrahayuAvatar border
TS
djrahayu
Ketika Sekolah dan Rumah Mengajarkan Nilai Berbeda, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Ketika Sekolah dan Rumah Mengajarkan Nilai Berbeda, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Meta AI_Ilustrasi Ketika Sekolah dan Rumah Mengajarkan Nilai Berbeda, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama antara sekolah dan keluarga. Namun, seringkali terjadi ketidakselarasan antara apa yang diajarkan guru di sekolah dengan nilai yang diterapkan di rumah. Misalnya, guru mengajarkan kedisiplinan dan sopan santun, sementara anak melihat orang tua atau anggota keluarga lain bersikap tidak konsisten dengan nilai tersebut. Ketika anak kemudian melakukan kesalahan, pihak sekolah—khususnya guru—sering menjadi sasaran tuduhan tidak kompeten, tanpa mempertimbangkan pengaruh lingkungan rumah (Bronfenbrenner, 1979).

Menurut penelitian Hoover-Dempsey & Sandler (1995), peran orang tua dalam pendidikan anak jauh lebih besar daripada yang disadari. Anak cenderung meniru perilaku figur di rumah karena mereka menghabiskan sebagian besar waktu di lingkungan keluarga. Jika orang tua mengajarkan nilai yang bertentangan dengan sekolah, anak akan mengalami kebingungan dan mungkin memilih contoh yang paling sering mereka lihat. Dalam kasus seperti ini, menyalahkan guru semata merupakan tindakan tidak adil, karena guru hanya memiliki waktu terbatas untuk membentuk kebiasaan anak dibandingkan dengan pengaruh harian dari keluarga (Epstein, 2018).

Studi dari Grolnick & Slowiaczek (1994) juga menunjukkan bahwa kolaborasi antara orang tua dan guru sangat penting untuk konsistensi pendidikan. Ketika terjadi disharmoni, anak bisa mengalami disonansi kognitif, yaitu kebingungan akibat menerima pesan yang bertolak belakang. Oleh karena itu, alih-alih saling menyalahkan, orang tua dan guru perlu berkomunikasi secara terbuka untuk menciptakan keselarasan dalam mendidik anak. Tanpa kerja sama ini, upaya pendidikan menjadi tidak optimal, dan anak yang akhirnya menjadi korban dari ketidakkonsistenan tersebut.

Ketidakselarasan antara nilai yang diajarkan di sekolah dan di rumah dapat menimbulkan dampak psikologis yang serius pada anak. Menurut penelitian Bandura (1977) dalam Social Learning Theory, anak belajar melalui observasi dan imitasi terhadap figur otoritas di sekitarnya. Jika orang tua dan guru memberikan pesan yang bertentangan, anak akan mengalami kebingungan nilai (value confusion), yang pada akhirnya dapat memengaruhi pembentukan identitas mereka. Sebuah studi oleh Eccles & Harold (1996) menemukan bahwa anak-anak yang mengalami ketidakkonsistenan dalam pengasuhan cenderung menunjukkan gejala kecemasan dan penurunan motivasi belajar, karena mereka tidak memiliki patokan perilaku yang jelas.

Selain itu, konflik nilai antara sekolah dan rumah juga berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan diri pada anak. Mereka mungkin merasa terjebak dalam situasi yang mengharuskan mereka "memilih pihak," apakah mengikuti aturan guru atau mengadopsi kebiasaan keluarga. Penelitian dari Baumrind (1991) tentang pola asuh menunjukkan bahwa ketidakkonsistenan dalam pengajaran nilai dapat menyebabkan anak mengembangkan sikap apatis atau bahkan memberontak terhadap kedua otoritas tersebut. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat perkembangan sosial-emosional anak dan mengurangi kemampuan mereka dalam mengambil keputusan yang baik.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolaboratif antara guru dan orang tua. Menurut Epstein (2011), sekolah yang sukses dalam mendidik anak adalah yang melibatkan orang tua secara aktif melalui program parent-teacher partnerships. Komunikasi rutin antara guru dan wali murid—seperti melalui pertemuan berkala, laporan perkembangan anak, atau diskusi informal—dapat membantu menyelaraskan nilai-nilai yang diajarkan. Selain itu, program parenting workshop yang diadakan sekolah juga dapat menjadi sarana untuk menyamakan persepsi tentang pendidikan karakter (Henderson & Mapp, 2002).

Beberapa sekolah telah menerapkan model kolaborasi yang efektif untuk menjembatani kesenjangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Misalnya, program "Kelas Orang Tua" yang diadakan oleh sekolah-sekolah di Finlandia—negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia—mempertemukan guru dan orang tua secara rutin untuk mendiskusikan nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada anak (Sahlberg, 2015). Hasilnya, anak-anak menerima pesan yang konsisten, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih efektif. Di Indonesia, sekolah-sekolah yang tergabung dalam program Sekolah Ramah Anak (Kemdikbud, 2020) juga mengadakan pelatihan bagi orang tua untuk menyelaraskan pola asuh dengan visi pendidikan sekolah.

Selain itu, teknologi dapat dimanfaatkan untuk memperkuat komunikasi antara guru dan orang tua. Aplikasi seperti ClassDojo atau Sekolah.mu memungkinkan guru membagikan perkembangan anak secara real-time, sementara orang tua dapat memberikan masukan atau klarifikasi tentang kebiasaan anak di rumah (Patrikakou, 2016). Dengan demikian, miskomunikasi dapat diminimalisir, dan kedua pihak bisa bekerja sama untuk mengarahkan anak secara lebih terpadu.

Lingkungan masyarakat juga turut berperan dalam menciptakan keselarasan nilai bagi anak. Penelitian dari Lareau (2003) menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dalam komunitas dengan nilai-nilai kolektif yang kuat—seperti gotong royong dan penghargaan terhadap pengetahuan—cenderung lebih mudah beradaptasi dengan aturan sekolah. Program seperti "Kampung Pendidikan" di Yogyakarta (Fahrudin, 2018) membuktikan bahwa ketika masyarakat, sekolah, dan keluarga bersinergi menyosialisasikan nilai-nilai positif, anak-anak lebih konsisten dalam menerapkannya.

Meskipun kolaborasi antara sekolah dan keluarga terbukti efektif, dalam praktiknya tetap ada tantangan yang menghambat. Penelitian dari Hornby & Lafaele (2011) mengidentifikasi beberapa kendala, seperti: (1) kesenjangan pemahaman antara orang tua dan guru tentang peran masing-masing, (2) keterbatasan waktu orang tua akibat tuntutan pekerjaan, serta (3) resistensi dari pihak yang merasa "digurui". Di Indonesia, studi yang dilakukan oleh Suradijono (2019) menemukan bahwa sebagian orang tua dari latar belakang sosioekonomi rendah cenderung pasif dalam keterlibatan pendidikan anak karena merasa tidak memiliki kapasitas atau akses yang memadai.

Selain itu, perbedaan budaya dan keyakinan antara keluarga dan institusi sekolah juga dapat memicu ketegangan. Misalnya, guru mungkin mengajarkan nilai-nilai kesetaraan gender, sementara di rumah anak dibesarkan dengan pola asuh yang lebih tradisional. Penelitian dari Kim & Hill (2015) menunjukkan bahwa konflik semacam ini sering diselesaikan dengan cara "menghindar"—anak belajar untuk bersikap berbeda di sekolah dan di rumah, yang justru berpotensi menimbulkan kepribadian ganda (split behavior).

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan intervensi dari berbagai pemangku kepentingan:

- Pemerintah: Perlu mendorong program pelatihan guru dan orang tua secara terpadu melalui dinas pendidikan setempat, sekaligus menyediakan anggaran khusus untuk kegiatan kolaboratif (OECD, 2018).

- Sekolah: Membuat mekanisme komunikasi yang inklusif, seperti menerjemahkan informasi sekolah untuk orang tua yang buta huruf atau menggunakan media visual (video) sebagai alternatif (Jeynes, 2018).

- Komunitas: LSM dan tokoh masyarakat dapat menjadi mediator melalui program seperti "Rumah Belajar Keluarga" yang mempertemukan orang tua dan guru dalam setting non-formal (Weiss et al., 2014).

Konflik antara nilai yang diajarkan sekolah dan keluarga bukanlah persoalan sederhana yang dapat diselesaikan dengan menyalahkan satu pihak. Sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai penelitian, pendidikan anak adalah ekosistem yang melibatkan guru, orang tua, masyarakat, dan kebijakan pemerintah (Bronfenbrenner, 2005). Kasus ketika anak mencontoh lingkungan rumah tetapi guru yang disalahkan justru mencerminkan kegagalan sistemik dalam memandang pendidikan sebagai tanggung jawab kolektif. Data dari UNESCO (2021) mengungkapkan bahwa negara-negara dengan indeks pendidikan tinggi, seperti Jepang dan Denmark, memiliki budaya kolaborasi yang kuat antara sekolah dan keluarga, di mana kesalahan tidak dilihat sebagai "milik" satu pihak, tetapi sebagai bahan evaluasi bersama.

Pendidikan yang efektif memerlukan redefinisi peran semua pemangku kepentingan. Guru perlu diberi ruang untuk memahami konteks keluarga murid, sementara orang tua harus diberikan literasi tentang metode pendidikan modern tanpa merasa terancam otoritasnya. Studi terkini dari Sheridan et al. (2022) tentang Family-School Partnership membuktikan bahwa model hubungan setara—bukan hierarkis—antara guru dan orang tua meningkatkan hasil belajar anak hingga 40%. Di tingkat makro, kebijakan pendidikan nasional harus memasukkan kerangka kerja kolaboratif ini ke dalam kurikulum pelatihan guru dan program penguatan keluarga (Kemdikbudristek, 2023).

Mari kita tinggalkan paradigma "yang salah adalah guru" atau "yang salah adalah orang tua". Sebaliknya, fokus pada pembangunan keselarasan nilai melalui:

- Dialog rutin antara sekolah dan keluarga dengan fasilitasi pemerintah daerah.

- Edukasi publik tentang pentingnya konsistensi pendidikan melalui media dan komunitas.

- Riset berkelanjutan untuk memetakan tantangan spesifik di berbagai konteks sosio-kultural.


Quote:

Sumber Referensi :

- Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Prentice Hall.

- Baumrind, D. (1991). "The Influence of Parenting Style on Adolescent Competence and Substance Use". Journal of Early Adolescence, 11(1), 56–95.

- Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human Development. Harvard University Press.

- Bronfenbrenner, U. (2005). Making Human Beings Human: Bioecological Perspectives on Human Development. Sage.

- Eccles, J. S., & Harold, R. D. (1996). "Family Involvement in Children’s and Adolescents’ Schooling". In A. Booth & J. F. Dunn (Eds.), Family-School Links (pp. 3–34). Erlbaum.

- Epstein, J. L. (2011). School, Family, and Community Partnerships: Preparing Educators and Improving Schools. Westview Press.

- Epstein, J. L. (2018). School, Family, and Community Partnerships. Routledge.

- Fahrudin, A. (2018). "Model Pendidikan Karakter Berbasis Komunitas: Studi Kasus Kampung Pendidikan Yogyakarta". Jurnal Pendidikan Sosial, 5(2), 45–60.

- Grolnick, W. S., & Slowiaczek, M. L. (1994). "Parents’ Involvement in Children’s Schooling". Journal of Educational Psychology, 86(1), 6–23.

- Henderson, A. T., & Mapp, K. L. (2002). A New Wave of Evidence: The Impact of School, Family, and Community Connections on Student Achievement. National Center for Family & Community Connections with Schools.

- Hornby, G., & Lafaele, R. (2011). "Barriers to Parental Involvement in Education: An Explanatory Model". Educational Review, 63(1), 37–52.

- Hoover-Dempsey, K. V., & Sandler, H. M. (1995). "Parental Involvement in Children’s Education". Educational Psychologist, 30(1), 1–12.

- Jeynes, W. H. (2018). Parental Involvement and Academic Success. Routledge.

- Kemdikbud. (2020). Panduan Sekolah Ramah Anak. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

- Kemdikbudristek. (2023). *Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2023-2035*. Jakarta: Kementerian Pendidikan.

- Kim, S. W., & Hill, N. E. (2015). "Including Fathers in the Picture: A Meta-Analysis of Parental Involvement and Students’ Academic Achievement". Journal of Educational Psychology, 107(4), 919–934.

- Lareau, A. (2003). Unequal Childhoods: Class, Race, and Family Life. University of California Press.

- OECD. (2018). Parental Involvement in Schooling: A Close Look at Practices. OECD Publishing.

- Patrikakou, E. N. (2016). "Parent Involvement, Technology, and Media: Now What?". School Community Journal, 26(2), 9–24.

- Sahlberg, P. (2015). Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? Teachers College Press.

- Sheridan, S. M., et al. (2022). "The Impact of Family-School Partnership Interventions on Academic and Social-Emotional Outcomes". Educational Research Review, 35, 100402.

- Suradijono, S. R. (2019). "Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Anak: Studi pada Keluarga Urban Marginal di Jakarta". Jurnal Ilmu Pendidikan, 25(1), 12–21.

- UNESCO. (2021). Global Education Monitoring Report: The Role of Non-State Actors. UNESCO Publishing.

- Weiss, H. B., et al. (2014). Beyond the Classroom: Partnerships for Student Success. Harvard Family Research Project.


Diubah oleh djrahayu Kemarin 11:56
0
26
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan