- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kang Dedi Mulyadi Kagumi Toleransi di Dusun Susuru


TS
kutarominami69
Kang Dedi Mulyadi Kagumi Toleransi di Dusun Susuru
Kang Dedi Mulyadi Kagumi Toleransi di Dusun Susuru

Gubernur Jawa Barat kagum banget dengan toleransi yang ada di dusun Susuru, Kertajaya, Panawangan, Ciamis. Di dusun itu, semua penganut agama dihormati, termasuk agama lokal Sunda Wiwitan. Ini dia sampaikan dalam kanal youtube Kang Dedi Mulyadi Channel. Dia cerita, sebelumnya dia habis mengundang para siswa dan pihak sekolah SMP Negeri 1 Panawangan.
Dari percakapannya dengan anak-anak sekolah itu, dia dapetin fakta ternyata kalau agama siswa di SMP itu berbeda-beda. Yang luar biasa, mereka tetap bisa hidup berdampingan, termasuk dengan para penganut Sunda Wiwitan. ”Hidup berdampingan kan, nggak ada problem kan?” tanya Dedi kepada salah satu siswa bernama Adit, yang menganut Sunda Wiwitan. “Iya enggak ada,” jawab Adit.
Kang Dedi kemudian cerita kalau di kampung Susuru selain ada masjid, juga gereja, dan penganut Sunda Wiwitan. “Cuma emang penganut Sunda Wiwitan gak punya tempat ibadah, karena kan mereka tempat ibadahnya semesta,” kata Dedi. Kang Dedi juga berbicara soal hak penganut Sunda Wiwitan di podcast Akbar Faisal pada 28 November 2024 lalu. Menurut Kang Dedi sendiri, Sunda Wiwitan sebenarnya bukan agama, tapi kalau sebagian menjadikannya agama itu sih sah-sah saja. Menurutnya itu hak warga yang sama-sama harus kita hormati.
FYI, Sunda Wiwitan adalah agama lokal yang dianut masyarakat Sunda, yang hidup di Jawa Barat. Itu adalah sistem spiritual asli masyarakat Sunda yang udah ada jauh sebelum masuknya Hindu-Buddha dan Islam. Sunda Wiwitan ini agama leluhur yang nggak lahir dari tokoh kenabian atau wahyu kitab. Melainkan dari sikap kejiwaan intuitif dari batin terhadap alam, leluhur, dan kehidupan. Dewi Kanti, pendamping komunitas Sunda Wiwitan bilang Tuhannya orang Sunda itu disebut Sang Hyang Tunggal.
Dalam konsep ketuhanan Sunda Wiwitan, Tuhan tidak bisa diwujudkan dengan apapun tapi menyatu dengan ciptaan-Nya. “Kalau di dalam bahasa Sunda ada istilah Bukan migusti atau menuhankan tetapi menghormati. Jadi ketika kita melakukan penghormatan terhadap semesta, kita bukan menuhankan batu atau gunung atau semesta, tapi kita percaya di tiap ciptaan Yang Maha Kuasa itu ada tunggal agung,” kata Dewi.
Masalah dimulai ketika Indonesia berupaya membentuk identitas nasional. Ada paham agama harus sistematis, punya kitab suci, nabi, tempat ibadah, dan struktur hierarki formal. Maka lahirlah keputusan hanya 6 agama yang diakui negara yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu. Konsekuensinya? Sunda Wiwitan dan penghayat kepercayaan lain “tidak diakui” sebagai agama.
Para penganut Sunda Wiwitan dan kepercayaan lain harus memilih antara “berbohong demi sistem” atau “jujur tapi nggak punya hak”. Bagi mereka yang tetap teguh memegang identitas agama lokal, mereka akan mengalami diskriminasi. Mulai dari nggak bisa mengakses pernikahan yang dicatat negara, nggak bisa ngisi kolom agama pas sekolah dan banyak lainnya. Diskriminasi juga dilakukan oleh masyarakat. Anak-anak penganut Sunda Wiwitan sering dipinggirkan, baik oleh sesama temen bahkan gurunya sendiri.
Baru belakangan hak-hak penganut Sunda Wiwitan dan agama lokal lainnya mulai diakui. Semoga ke depan gak ada lagi kelompok agama yang didiskriminasi. Yukk gaungkan terus toleransi!
https://gerakanpis.id/kang-dedi-muly...-dusun-susuru/
0
36
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan