- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[Cerpen] Ketika Pujian Lebih Hebat dari Oppa BTS-mu Hanya Dusta


TS
djrahayu
[Cerpen] Ketika Pujian Lebih Hebat dari Oppa BTS-mu Hanya Dusta
![[Cerpen] Ketika Pujian 'Lebih Hebat dari Oppa BTS'-mu Hanya Dusta](https://s.kaskus.id/images/2025/07/06/10679139_3821_20250706051722.png)
GPT AI_ Ilustrasi Cerpen : "Ketika Pujian 'Lebih Hebat dari Oppa BTS'-mu Hanya Dusta"
Aaron menatap wajah istrinya yang sedang tersenyum manis padanya. Seperti biasa, pujian meluncur dari bibirnya, "Kamu lebih hebat dari Joongkook BTS, lebih tampan dari D.O EXO, bahkan lebih berwibawa daripada Siwon Suju!"
Tapi kali ini, senyum itu terasa pahit. Karena untuk pertama kalinya, Aaron bisa mendengar isi hati sang istri—dan yang terngiang justru suara penuh kebencian, "Dasar lelaki tak berguna. Kau bahkan tak layak membersihkan sepatu mereka!"
Hatinya terasa ditusuk ribuan jarum. Selama ini, semua pujian itu ternyata sandiwara. Istri yang dulu memandangnya dengan mata berbinar kini hanya melihatnya sebagai mesin ATM. Padahal, mereka tumbuh bersama sejak kecil. Rumah mereka bersebelahan di gang kumuh, dan kedua keluarga mereka berjuang bersama hingga sukses. Dulu, mereka saling mencintai. Kapan semuanya berubah?
Saat membersihkan kamar tidur, Aaron menemukan buku harian istri terselip di balik lemari. Dengan gemetar, ia membukanya. Catatan demi catatan penuh luka: bentakannya, janji yang tak ditepati, dan tangisan istri yang tak pernah ia dengar. Di halaman terakhir, terselip kalimat yang membuat dadanya sesak, "Aku akan buat kau muak, Aaron. Ceraikan aku. Biar kau yang jadi monster di mata keluarga kita."
Tangan Aaron gemetar memegang buku harian itu. Ia menelusuri setiap kata yang tertulis, seolah ingin memastikan ini bukan mimpi buruk.
Hatinya terasa ditusuk ribuan jarum. Selama ini, semua pujian itu ternyata sandiwara. Istri yang dulu memandangnya dengan mata berbinar kini hanya melihatnya sebagai mesin ATM. Padahal, mereka tumbuh bersama sejak kecil. Rumah mereka bersebelahan di gang kumuh, dan kedua keluarga mereka berjuang bersama hingga sukses. Dulu, mereka saling mencintai. Kapan semuanya berubah?
Saat membersihkan kamar tidur, Aaron menemukan buku harian istri terselip di balik lemari. Dengan gemetar, ia membukanya. Catatan demi catatan penuh luka: bentakannya, janji yang tak ditepati, dan tangisan istri yang tak pernah ia dengar. Di halaman terakhir, terselip kalimat yang membuat dadanya sesak, "Aku akan buat kau muak, Aaron. Ceraikan aku. Biar kau yang jadi monster di mata keluarga kita."
Tangan Aaron gemetar memegang buku harian itu. Ia menelusuri setiap kata yang tertulis, seolah ingin memastikan ini bukan mimpi buruk.
"16 Maret: Aaron berjanji pulang jam 8, tapi sampai tengah malam tak ada kabar. Aku menangis sendirian sementara anak-anak terus bertanya di mana ayah mereka."
"30 Mei: Dia membentakku di depan tamu. Aku ingin menjerit, tapi hanya bisa tersenyum palsu."
Hatinya hancur. Ini bukan sekadar kemarahan—ini pengkhianatan yang dipendam bertahun-tahun.
Dia teringat masa lalu, saat mereka masih remaja. Aaron selalu menunggu di depan pagar rumahnya setiap pagi, mengantar sang kekasih kecil ke sekolah dengan sepeda bututnya. Saat hujan, mereka berbagi payung reot, tertawa meski basah kuyup.
Dia teringat masa lalu, saat mereka masih remaja. Aaron selalu menunggu di depan pagar rumahnya setiap pagi, mengantar sang kekasih kecil ke sekolah dengan sepeda bututnya. Saat hujan, mereka berbagi payung reot, tertawa meski basah kuyup.
"Aku janji, kalau nanti kita sudah kaya, aku akan belikan kamu rumah besar dan kita tak akan pernah bertengkar," bisik Aaron dulu.
Kini, rumah megah itu justru terasa lebih dingin dari gubuk mereka dahulu.
Aaron menatap istrinya yang sedang asyik memainkan ponsel di sofa.
Aaron menatap istrinya yang sedang asyik memainkan ponsel di sofa.
Wajahnya tenang, tapi dari dalam, suara perempuan itu mendesis, "Aku lelah berpura-pura mencintaimu. Lebih baik kau temukan wanita lain dan tinggalkan aku."
Napasnya tersendat. Tiba-tiba, ia berjalan mendekat, lalu berlutut di depan sang istri. "Aku tahu aku sudah menyakitimu," ujarnya, suaranya serak. "Tapi tolong, beri aku kesempatan terakhir."
Istri Aaron mengerutkan kening, matanya menyipit penuh kecurigaan.
"Apa yang dia rencanakan sekarang?" batinnya tajam, menusuk seperti pisau. Tapi Aaron tetap berlutut, tangannya menggenggam erat jemari sang istri yang kaku.
"Aku menemukan buku harianmu," bisiknya pelan, "Dan aku... mengerti." Suara itu pecah, diikuti oleh tetes air mata yang jatuh ke lantai.
Wajah sang istri memucat. Dadanya naik turun tak beraturan, seolah seluruh rahasianya yang tersimpan rapi tiba-tiba diobrak-abrik.
"Dia membaca semuanya?"
Pikirannya kacau, tapi sebelum bisa menarik tangan atau berpura-pura marah, Aaron sudah melanjutkan, "Aku tak akan minta maaf hanya dengan kata-kata. Izinkan aku membuktikan, bahwa lelaki bodoh ini masih mencintaimu."
---
Diam. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Sang istri menatapnya lama, matanya berkaca-kaca namun penuh pertahanan.
"Aku sudah terluka terlalu sering. Apa gunanya percaya lagi?"
Tapi di balik keraguan itu, ada sesuatu yang tersentuh—kenangan akan anak lelaki nakal yang dulu rela berkelahi demi melindunginya dari preman kampung. Perlahan, ia menarik napas dalam.
"Kau punya tiga bulan," ujarnya dingin. "Tapi bukan untukku. Untuk anak-anak."
Anak-anak mereka, Lila dan Arka, tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar dengan mata penuh tanya.
"Ibu, kenapa menangis?" tanya Lila polos, tangannya menggamit ujung rok sang istri. Aaron melihat bagaimana istrinya cepat-cepat menyeka pipi dan memaksakan senyum.
"Tidak boleh. Mereka tidak boleh melihatku lemah," batin sang istri bergetar. Tapi Aaron tahu—itu adalah suara seorang ibu yang tak ingin anak-anaknya terluka seperti dirinya.
----
Malam itu, setelah membaringkan anak-anak, Aaron duduk di tepi tempat tidur mereka, menatap wajah polos yang sedang terlelap.
Malam itu, setelah membaringkan anak-anak, Aaron duduk di tepi tempat tidur mereka, menatap wajah polos yang sedang terlelap.
"Aku hampir merusak ini semua," gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba, ia mendengar langkah pelan dari belakang. Sang istri berdiri di ambang pintu, lengan terlipat.
"Mereka bertanya apakah kita bertengkar," bisiknya datar.
Aaron menunduk, "Aku akan jelaskan besok. Aku... janji tidak akan berbohong lagi."
Sang istri memandangnya lama, lalu tanpa kata, ia berbalik. Tapi kali ini, Aaron tidak mendengar bentakan dalam pikirannya—hanya desahan lelah, "Mengapa sekarang? Setelah semua yang kau lakukan?"
Sang istri memandangnya lama, lalu tanpa kata, ia berbalik. Tapi kali ini, Aaron tidak mendengar bentakan dalam pikirannya—hanya desahan lelah, "Mengapa sekarang? Setelah semua yang kau lakukan?"
Udara terasa berat, tapi ada sesuatu yang berbeda. Seperti kabut tipis yang mulai tersibak. Aaron menggigit bibir. Ia tahu ini akan panjang, tapi untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa mereka masih punya harapan.
---
Minggu-minggu berikutnya, Aaron berusaha keras menepati janjinya. Ia pulang sebelum matahari terbenam, membawa oleh-oleh kue kesukaan istri, bahkan menggantikan asisten rumah tangga yang sedang cuti. Tapi setiap kali ia menatap mata sang istri, yang terlihat hanya dinding es yang belum mencair.
Minggu-minggu berikutnya, Aaron berusaha keras menepati janjinya. Ia pulang sebelum matahari terbenam, membawa oleh-oleh kue kesukaan istri, bahkan menggantikan asisten rumah tangga yang sedang cuti. Tapi setiap kali ia menatap mata sang istri, yang terlihat hanya dinding es yang belum mencair.
"Dia hanya berpura-pura. Ini tidak akan lama," batin sang istri suatu sore saat Aaron dengan ceroboh menumpahkan kopi di karpet baru.
Aaron menghela napas, membersihkan noda itu dengan tangan sendiri—sesuatu yang tak pernah dilakukannya dulu.
---
Suatu malam, saat Aaron sedang duduk di teras, Lila menghampirinya dengan buku gambar.
Suatu malam, saat Aaron sedang duduk di teras, Lila menghampirinya dengan buku gambar.
"Ayah, lihat! Ini gambar kita sekeluarga," ujarnya riang. Aaron tersenyak—di gambar itu, dirinya dan sang istri berdiri berjauhan, terpisah oleh sungai yang digambar dengan krayon merah menyala.
"Kenapa Ibu di seberang sungai, Nak?" tanyanya pelan. Lila mengangkat bahu.
"Ibu bilang, cinta itu seperti jembatan. Kalau salah satu tidak mau membangun, ya tenggelam." Kata-kata polos itu membuat dadanya sesak.
---
Keesokan harinya, Aaron menemukan istrinya sedang menangis di dapur. Tanpa pikir panjang, ia menarik perempuan itu ke pelukannya.
Sang istri berusaha melepaskan diri, tapi Aaron berbisik, "Aku tahu jembatan itu rusak. Tapi izinkan aku memperbaikinya, satu papan demi satu papan."
Untuk pertama kalinya, ia tidak mendengar penolakan dalam pikiran sang istri—hanya keheningan yang dalam, seperti tanah gersang yang akhirnya merasakan tetesan hujan.
Pelukan itu terasa seperti abadi. Perlahan, tubuh sang istri yang semula kaku mulai meleleh dalam dekapan Aaron.
"Aku lelah," batinnya yang selama ini keras tiba-tiba terdengar rapuh seperti kaca. "Lelah marah, lelah menyimpan dendam..."
Aaron menahan napas, tak ingin melewatkan setiap kata dalam hati itu.
"Kita berdua lelah," bisiknya pelan dengan tangan menelusuri punggung istri yang masih bergetar. Di sudut dapur, foto pernikahan mereka tersenyum diam—seolah mengingatkan betapa jauh mereka tersesat.
---
Sejak hari itu, sesuatu mulai berubah. Sang istri masih jarang bicara, tapi pikiran-pikirannya tak lagi penuh amarah. Suatu pagi, Aaron terbangun oleh suara desahan lega dalam pikiran istrinya: "Dia ingat... Akhirnya ingat kopi kesukaanku tanpa gula."
Sejak hari itu, sesuatu mulai berubah. Sang istri masih jarang bicara, tapi pikiran-pikirannya tak lagi penuh amarah. Suatu pagi, Aaron terbangun oleh suara desahan lega dalam pikiran istrinya: "Dia ingat... Akhirnya ingat kopi kesukaanku tanpa gula."
Aaron tersenyum kecil melihat gelas di meja samping tempat tidur—istrinya sengaja meletakkannya di sana sebelum berangkat mengantar anak-anak. Sebuah isyarat kecil, tapi terasa seperti kemenangan pertama setelah perang panjang.
Tapi jalan mereka tak semudah itu. Malam berikutnya, saat Aaron membuka album foto lama, sang istri tiba-tiba berhenti di depan lemari.
"Jangan tunjukkan itu. Aku tidak kuat melihat wajah bahagia kita dulu," pikirannya berdesir ketakutan.
Aaron mengerti. Dengan hati-hati ia menutup album, lalu menggenggam tangan istrinya yang dingin.
"Aku tidak meminta kau melupakan sakitnya. Tapi izinkan aku menciptakan kenangan baru... Yang tidak akan kau catat dalam buku harian sebagai luka."
---
Ujian terbesar datang di hari ulang tahun pernikahan mereka. Sang istri memasak makan malam spesial—hal yang tidak dilakukannya selama lima tahun terakhir. Saat Aaron hendak menyuapkannya sepotong steak, tiba-tiba pikirannya menangkap gelombang keraguan: "Bagaimana jika ini semua hanya ilusi? Bagaimana jika dia kembali menjadi pria yang sama?"
Tapi kali itu, Aaron tidak panik. Dengan tenang ia meletakkan garpu, memandang langsung ke mata istrinya.
"Aku tahu kau takut. Aku juga takut. Tapi maukah kau percaya sekali saja? Seperti dulu saat kita berdua nekat pinjam uang lintah darat untuk modal usaha pertama?"
Mata sang istri berkaca-kaca. Tiba-tiba, ia tertawa kecil—suara yang sudah lama tidak terdengar di rumah itu.
"Kau masih menyimpan karcis bioskop pertama kita di dompet, ya?" tanyanya sambil menyeka sudut mata.
Aaron terkejut. "Dia memperhatikan hal itu?"
Kali ini, dialah yang terdiam tak percaya. Dalam keheningan itu, istrinya menarik napas panjang.
"Aku... akan coba lagi. Tapi janji satu hal—jika kau kembali melukaiiku, aku akan pergi untuk selamanya. Dan kali ini, aku bawa anak-anak."
---
Tahun berikutnya, di teras rumah yang sama, Aaron menemukan buku harian baru milik istrinya. Dengan hati berdebar, ia membuka halaman terakhir.
"Hari ini Aaron pulang membawa bunga liar—jenis yang sama seperti yang dipetiknya saat kita pacaran dulu. Mungkin, cinta kami seperti tanaman kaktus. Sempat kupikir sudah mati, tapi ternyata hanya butuh kesabaran untuk melihatnya berbunga lagi."
Di luar, suara tawa anak-anak dan derai istri yang sedang menyiram tanaman menyatu dengan sempurna. Aaron tersenyum. Kemampuan mendengar pikiran itu telah hilang seiring waktu, tapi kini, ia tak lagi membutuhkannya untuk mengerti isi hati sang istri.
0
17
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan