- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Peninggalan Sewindu yang Lalu


TS
mobi.karsa
Peninggalan Sewindu yang Lalu
Konten Sensitif

Saya lihat cuaca sore hari ini lumayan berawan.
Riuh obrolan khas kantin kampus memenuhi pendengaran.
Kursi dari semen yang saya duduki masih menyisakan panas dari terik siang barusan.
Posisi saya hari ini berjarak 3 meter dari tempat duduk kita, 8 tahun silam.
Saya bisa bayangkan, sedikit samar tapi selalu bikin rindu.
Obrolan kita yang kaku ditemani sekotak makan siang yang ibumu siapkan–dan aku beli.
Kotak makan siang dari plastik berwarna merah.
Nasi putih yang sudah tidak hangat, mereka bilang tekstur begini ampyar.
Cocok untuk nasi goreng.
Secuil sambal yang bikin saya hah-huh-hah-huhsepanjang mendengar kisahmu siang itu.
Plus, bandeng goreng yang sebenarnya saya ngga suka-suka amat.
Saya tidak pernah berpikir pesan paket makanan seperti ini kalau bukan ibumu yang jual.
Ah, bikin seret!
Kemudian, saya menengok ke arah barat daya dari tubuh saya: ruangan himpunan mahasiswamu.
Ruangan itu sudah berbeda. Tidak seramai dahulu. Bahkan, isinya kosong.
Beneran, sekosong itu, hari ini terlihat ada bekas keramik diangkat oleh mamang tukang.
Hari ini ruangan itu sepi.
Kontras dengan 8 tahun yang lalu. Tempat aku mengambil kotak makan yang aku beli.
Begitu kawan-kawanmu melihatku, mereka akan berteriak,
“Ayaa, Ayaa, calon suami lu dateng tuh,”
Kalau sudah begini, saya hanya tersenyum kagok, mungkin kecut.
Kalau sudah begini, kamu yang sedang ngobrol dengan kawanmu akan menoleh sambil tersenyum.
Kemudian, kamu menghampiri saya dengan tanganmu menggamit kotak bekal dari plastik warna merah.
Kita mau transaksi, walaupun kamu selalu sulit sekali menerima uang pembelian saya.
Lalu, kita berdua menuju pojok itu, tempat duduk kita.
Kemudian, kamu akan sibuk bercerita sambil sesekali geli melihat saya kepedesan.
“Ngga usah dimakan sambelnya, Kak Har,”
“Sayang, ah. Mubadzir,”
Padahal, sambal bukan lawan saya waktu itu. Saban malam perut saya usap-usap menikmati reaksi pedih pedas di perut.
Tapi tidak apa-apa, asal ada senyum itu.
Senyum yang bikin saya ketagihan beli nasi kotak jualan ibumu, waktu itu.
Senyum yang Rizki dapatkan hari ini–dan mungkin selamanya.
Saya kehilangan senyum itu. Mungkin, selamanya.
Waktu terus berjalan, bukan?
Dua bulan masa itu begitu berkesan–setidaknya bagi saya, walaupun sudah lewat 8 tahun yang lalu.
Kamu sudah menikah, Aya, dengan Rizki, lelaki pilihanmu.
Saya juga sudah menikah, ketika menulis ini, malah sedang menunggu kelahiran anak ke-3.
Kamu curang, Aya, kamu begitu jauh dari tempat duduk ini.
Sedangkan saya terkait beberapa kewajiban atas tempat ini.
Dan tidak bisa tidak, dua bulan masa itu begitu berkesan.
Sehingga tidak bisa tidak, saya terlilit kenangan.
Saya seperti melihat cuplikan film, di mana saya dan kamu di masa lalu jadi pemeran.
Benar, kita.
Kita pada versi sebelum senyum dengan rona pipi kemerahanmu itu, saya tambahkan air mata (tapi kamu tetap tersenyum!)
Maka…
Saya sudah putuskan.
Rangkaian tulisan ini adalah yang terakhir.
Saya akan tanam semua cuplikan film 2 bulan masa itu 8 tahun yang lalu di sini.
Sekaligus dengan kesannya.
Setelah ini, saya ingin hidup pada masa sekarang.
Tanpa berpoles dengan kenangan 2 bulan masa itu.
Walaupun saya harus bolak-balik melewati tempat duduk kita 8 tahun yang lalu.
Semoga saya bisa.
Diubah oleh mobi.karsa 03-07-2025 14:08


tiokyapcing memberi reputasi
1
228
18


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan