Kaskus

Story

andri.kurnia928Avatar border
TS
andri.kurnia928
Baca Cerita Fiksi Terbaruku Sampai Akhir!
Hari di Mana Semua Jam Berhenti


11:11, Waktu Mati Tapi Hidup Terus Jalan

Baca Cerita Fiksi Terbaruku Sampai Akhir!

“Gue inget banget, itu hari Selasa. Tapi anehnya, dari hari itu sampai sekarang, kalender di dinding nggak pernah berubah. Dan jam di bengkel? Masih stuck di 11:11. Udah dua minggu.”

Gue bukan orang yang terlalu peka sama hal-hal aneh. Apalagi yang nyerempet ke mistis. Hidup di kota kecil kayak gini, masalah paling berat tuh Cuma dua: kucing ilang atau warteg tutup. Sisanya? Ya gitu-gitu aja. Rutinitas.Tapi sejak dua minggu lalu, semuanya mulai ngegeser ke arah yang susah dijelasin.Gue, Naufal. Tukang benerin jam. Dari jam dinding, jam weker, sampe jam tangan Swiss KW super yang bunyinya “tik” doang tiap 3 detik. Udah dari kecil gue suka jam. Nggak tau kenapa, mungkin karena jam satu-satunya benda yang kerja keras tapi nggak pernah ngomel.Tapi waktu itu, jam-jam di bengkel gue semua mati di waktu yang sama: 11:11.Bukan Cuma satu dua. SEMUA.Dan nggak ada satupun yang bisa dibenerin.Gue ganti baterai? Nggak ngaruh.Gue kocok mesin jam otomatis? Diam aja.Gue colokin arloji digital ke listrik? Layar malah item semua, kayak kena blackout internal.Gue coba ngecek HP. Signal? Hilang.Jam di TV? Macet.Berita? Muter video yang sama dari hari itu terus, kayak kaset nyangkut: “Selamat pagi. Hari ini cuaca mendung ringan, suhu 26 derajat,” Terus ngulang lagi.Kota juga mulai berasa aneh.Kabut tipis kayak nggak mau pergi-pergi.Langit warnanya antara pagi sama sore, nggak pernah bener-bener biru atau gelap.Dan yang paling nyeleneh: matahari nggak pernah tenggelam. Kayak lagi stuck di jam emas Instagram.
Gue mulai denger keluhan dari pelanggan bengkel:
●“Fal, gue mimpi ketemu lo semalem.”
“Isinya?”
“Kayak kita ngobrol, tapi ini percis banget sama percakapan kita sekarang.”
Jreng.Deja vu di mana-mana.Ada yang ngomong dia udah ngalamin hal ini 4 kali. Ada yang bilang mimpi dia nyambung kayak serial Netflix. Bahkan anak kecil di warung depan nyebut, “Bu, mimpi aku kemarin masih lanjut, lho!”
Otak gue mulai panas.Hari itu, gue jalan-jalan ke taman kota, nyari angin, atau setidaknya sinyal.Dan di bangku paling pojok, duduk seseorang yang udah lama nggak gue lihat: Tasya.
Tasya, mantan gue.Cewek yang dulu sering ngajak ngobrol soal mimpi, tentang dunia paralel, tentang feeling yang nggak bisa dijelasin pake logika.Dan waktu gue lihat dia, ekspresinya tenang. Terlalu tenang. Kayak dia justru udah ngerti sesuatu yang belum gue ngerti.
●“Jam kamu juga mati?”
“Semuanya, Fal.”
“Lo takut?”
Dia senyum tipis.
“Nggak. Mungkin ini dunia yang lebih jujur.”
Dia cerita tentang sleep paralysis yang makin sering. Tiap tidur, dia kayak ketarik ke ruang di mana semua suara redup. Tapi anehnya, dia nyaman.
●“Dan tiap mimpi itu, Fal,”
“Gue ketemu lo. Tapi selalu di tempat yang sama. Halte tua yang dulu pernah kita singgahi. Yang sekarang udah jadi minimarket.”
“Lo Cuma duduk, sambil pegang jam tangan rusak.”
“Tapi di mimpi itu, gue ngerasa kita belum selesai.”
Gue bengong. Itu halte tempat terakhir kali kita ngobrol panjang, sebelum semua berakhir lima tahun lalu.Besoknya, obsesi gue makin menjadi.Gue datangi semua tempat yang ada hubungan sama waktu.Menara jam kota.Masih ada, tapi udah lama nggak bunyi. Jarumnya diam di 11:11. Sama kayak yang lain.Pusat listrik.Operatornya bilang semua sistem normal, tapi dia juga ngaku udah dua minggu nggak bisa baca email karena waktu di komputer stuck.Museum jam antik.Petugasnya diem aja. Waktu gue tanya, dia malah jawab begini:
●“Mungkin ini bukan kerusakan, Bang. Tapi peringatan.”
Puncaknya, gue datangi rumah seorang dosen filsafat yang dulu terkenal suka ngomong aneh di radio lokal. Dulu gue anggap dia ngaco. Tapi sekarang? Gue mulai mikir ulang.Dia udah tua, rambut putih, duduk sambil nonton TV yang layarnya nyala tapi gambarnya kosong. Suara gemericik air dari aquarium jadi satu-satunya yang hidup.
●“Waktu bukan Cuma angka, Fal,” katanya.
“Kota ini, mungkin udah masuk ke celah waktu.
Transisi.”
Sebelum kita jalan ke ‘berikutnya’.”
Gue melongo. “Maksudnya?”
“Apa lo nggak ngerasa kayak semuanya looping?
Kayak kita disuruh ngulang satu hari yang nggak pernah selesai?”
“Terus, kita harus ngapain?”
“Ngelihat ulang. Diri lo. Hidup lo. Dan tanya: lo siap ninggalin hari ini?”
Gue pulang malam itu.Langit masih abu-abu. Jam masih 11:11.
Tasya kirim pesan (aneh, tiba-tiba sinyal muncul):
●“Ketemu aku di halte tua. Jam berapa pun kamu bisa datang. Waktu udah nggak penting di sini.”
Dan gue, ngerasa untuk pertama kalinya, waktu bukan Cuma macet. Tapi, ngasih kesempatan.


Mimpi yang Nggak Pernah Bangun

Baca Cerita Fiksi Terbaruku Sampai Akhir!

“Gue bangun pagi, liat kaca, muka gue sama persis kayak kemarin. Bahkan brewok yang gue cukur dua hari lalu? Masih tipis. Tapi Tasya bilang, dia udah ngalamin 47 versi hari yang sama.”

Gue mulai kehilangan hitungan hari.
Rasa-rasanya udah lebih dari dua minggu, tapi gue nggak bisa bedain mana Selasa, mana Sabtu. Baju di gantungan nggak pernah kotor. Toko depan rumah masih jual roti rasa pandan yang sama tiap pagi. Bahkan si Mas-Mas Indomaret kayak NPC, ucapannya template:
●“Selamat datang, ada yang bisa dibantu, Bang?”
Padahal gue baru mau buka pintu.
TV di bengkel? Masih nyala, tapi isi beritanya itu-itu aja:
●“Kondisi cuaca hari ini: mendung ringan sepanjang hari, dengan suhu konstan 26°C.”
Sumpah ya, gue bener-bener kayak hidup di kaset yang looping. Tapi bukan lagu. Lebih kayak, penyesalan yang diputer ulang terus.Gue mulai nyadar, orang-orang di kota ini bukan Cuma stuck secara waktu, tapi juga secara emosi.Ada yang tiap hari duduk di halte, nunggu seseorang yang nggak pernah datang.Ada yang nangis sambil nulis surat yang nggak pernah dikirim.Ada juga yang terus latihan ngelamar kerja, tapi nggak pernah ngirim lamaran.Mereka kayak nge-replay fragmen hidup yang paling mereka sesali.Dan semua seolah-olah nunggu sesuatu. Tapi entah apa.
Tasya nelpon. Suaranya tenang, tapi nadanya berat.Dia bilang dia udah ngalamin 47 versi hari yang sama.
●“Kadang kamu dateng. Kadang nggak.
Kadang kita Cuma diem di halte.Kadang kamu cium kening aku.
Tapi nggak pernah ada yang lanjut ke ‘besok’.”
Gue nggak bisa ngomong. Tapi kemudian dia bisik:
●“Fal, aku nggak mau waktu jalan lagi.”
“Kenapa?”
Hening sebentar.
“Karena di hari berikutnya, aku harus bilang iya ke lamaran cowok lain.”
“Dan itu berarti ninggalin semua yang nggak selesai sama kamu.”
Gue meledak.Gue pikir selama ini kita nyangkut di waktu karena dunia error, karena sistem rusak. Tapi ternyata, ada sebagian dari diri kita yang emang nggak mau waktu jalan lagi.Gue ketemu dia di tengah kota. Tempat yang dulunya rame, sekarang kayak panggung kosong. Nggak ada suara burung, nggak ada klakson, bahkan angin pun kayak berhenti napas.
Gue bilang ke dia, “Lo egois.”
Tasya jawab, “Gue Cuma takut.”
Gue: “Gue juga! Tapi lo pikir ini hidup? Lo pikir ini nyata? Kita stuck! Dan lo, lo lebih milih hidup dalam bayangan masa lalu ketimbang ngadepin kenyataan.”
Tasya nangis. Tapi gue juga.
Karena di satu sisi, gue ngerti. Kadang yang paling susah bukan ngelanjutin hidup, tapi melepaskan hari terakhir yang kita rasa paling berarti.
Malamnya gue ke balai kota.Di sana ada lonceng raksasa, sisa zaman kolonial. Dulu katanya, jam kota ini ngatur semua aktivitas.
Tapi sekarang, jamnya udah mati. Jarumnya diam di 11:11. Lagi-lagi.Gue nekad. Gue bongkar mesinnya. Kabel-kabel tua, roda gigi karatan, semuanya gue utak-atik. Gue colokin ke sumber daya dari genset bengkel.Tangan gue gemetar.Gue tarik tuas lonceng.
GONG.Lonceng bunyi.Suaranya berat, dalam, kayak, ngebangunin sesuatu yang udah lama tidur.Di waktu yang sama, Tasya lagi tidur di rumahnya.Tapi bukan tidur biasa. Dia keseret ke sleep paralysis paling gelap yang pernah dia rasain.Di mimpi itu, dia berdiri di tengah jalan raya basah.Hujan turun.Di depannya, ada mobil yang terbalik.Ada tubuh yang tergeletak di samping kemudi.Itu gue.Muka gue berdarah. Napas megap-megap.Tasya teriak minta tolong, tapi suara dia kayak diredam kaca tebal.Orang-orang lewat, tapi nggak ada yang noleh.
Dunia diem.
●“Fal, jangan tinggalin aku,”
“Fal, bangun,”
Tapi gue nggak bangun.
Karena kenyataannya, kita berdua nggak pernah bangun dari kecelakaan itu.
Di tengah mimpi itu, sosok yang familiar muncul.
Dosen Filsafat. Duduk di halte tua. Senyumannya miring, kayak tahu semua jawaban, tapi milih buat nunggu kita nemuin sendiri.
●“Kalian ini masih di antara,” katanya pelan.
“Tapi bukan waktu yang rusak, Naufal.
Kalian yang belum sadar, kalau waktu kalian sudah habis.”
Tasya dan gue saling pandang.Semua mulai masuk akal.Deja vu, kota yang looping, jam mati, mimpi yang sambung terus.Karena ini bukan dunia nyata.Ini ruang transisi.Sebuah limbo sebelum kita nerima kenyataan paling pahit:Bahwa hidup kita udah selesai.


Kota yang Hanya Punya Satu Hari

Baca Cerita Fiksi Terbaruku Sampai Akhir!

●“Jam kota bunyi 12 kali. Padahal udah dua minggu diem. Tapi yang aneh, bukan itu. Waktu lonceng itu berbunyi, langit gelap. Akhirnya, matahari tenggelam.”

Gue berdiri di depan balai kota.Masih megang tuas lonceng yang tadi gue tarik.Gema dentangnya masih ngambang di langit. Tapi yang lebih gila lagi, matahari akhirnya tenggelam.
Langit yang selama ini stuck di sore keemasan berubah gelap pelan-pelan. Bukan gelap biasa. Ini gelap yang berasa kayak, penutup panggung. Kayak alarm terakhir.
Dan kota?,Sepi. Banget.Nggak ada suara motor. Nggak ada anak kecil lari-larian. Bahkan udara pun nggak gerak. Kayak semua NPC udah logout dari server.
Gue nyari Tasya.Dia nunggu di halte tua , yang anehnya sekarang ada lagi. Padahal bertahun-tahun lalu udah digusur jadi minimarket. Tapi malam ini, bangkunya ada. Plat nomornya bahkan masih ada coretan “T+N 4ever”.
●“Fal, ini hari berikutnya.”
“Tapi kenapa semua orang hilang?”
“Karena hari ini, Cuma buat kita.”
Kita jalan berdua. Tanpa tujuan, tapi semua tempat yang kita lewatin kayak udah nungguin.Rumah orang tua gue , kosong. Tapi pintunya kebuka.Di dalam, ada foto lama: gue dan bokap gue pas SD. Padahal itu foto udah hilang sejak rumah kebakaran.Kita lanjut ke rumah Tasya.Cuma ada ibunya, duduk di kursi goyang. Tapi waktu kita panggil, dia nggak denger.Dia diem aja, liatin langit-langit, sambil pegang dompet kulit robek , yang dulu Tasya kasih waktu ulang tahun terakhirnya.Terakhir, kita sampe di jalan raya basah.Gue langsung ngerasa dingin.Tasya juga diem.Di sana, ada garis polisi samar. Mobil derek kosong. Dan, bekas darah di aspal yang udah kering. Tapi mata gue bisa lihat semua seakan-akan baru kejadian.
●“Fal, ini tempatnya.”
“Iya,”
“Waktu itu, kita lagi perjalanan pulang, kan?”
“Dari luar kota. Mau cari jam antik.”
“Terus hujan turun. Kamu tetap ngebut.”
Gue nutup mata.
“Gue marah, dan kamu nggak denger.”
Satu detik hening.
“Truk dari arah kanan,”
Brak.Semuanya mulai klik.Hari yang berulang itu, bukan hari hidup. Tapi hari terakhir.Kota ini bukan kota nyata. Tapi simulasi waktu terakhir , tempat antara kesadaran dan kematian.Loop yang kita alami, bukan error. Tapi penyangkalan.Dan akhirnya, Dosen Filsafat muncul lagi. Tapi kali ini, dia duduk di kursi taman, tanpa kopi, tanpa catatan. Cuma senyum.
●“Kalian akhirnya ingat semuanya.”
“Lalu sekarang gimana?”
“Kalian bisa tetap di sini selamanya,
Atau jalan ke cahaya yang kalian hindari.”
Tasya berdiri duluan.Wajahnya udah nggak takut. Dia ngelirik ke arah ujung jalan , di sana ada cahaya putih lembut, kayak fajar. Tapi hangat. Nggak menyilaukan.
●“Aku mau pergi, Fal.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Aku udah nggak mau stuck di masa lalu lagi.”
Dia genggam tangan gue.
“Terima kasih, buat hari terakhir yang paling damai.”
Dia jalan pelan.Langkahnya ringan.Dan gue,? Gue masih diam.Gue kembali ke bengkel gue. Duduk sendiri.Liat jam-jam di dinding. Masih stuck di 11:11. Tapi sekarang gue ngerti.Waktu bukan soal jarum atau angka.Waktu itu soal mau lo jalanin, atau lo tolak.Dan malam itu, sebelum semuanya lenyap,Gue berdiri. Ngelihat ke arah cahaya.
Gue cabut jam tangan yang selalu gue pakai , jam terakhir yang rusak karena kecelakaan itu.Gue taruh di meja.Gue jalan.Dan saat langkah gue masuk ke cahaya,Semua jam di kota berhenti total.
●Bukan karena rusak.Tapi karena udah nggak dibutuhin lagi.

🧩 Epilog (Tersirat)
Sebuah toko loak kecil di pinggiran kota.Pemiliknya, kakek tua dengan tangan keriput, lagi nyusun jam-jam antik.Di rak pojok, ada satu arloji tua.Casingnya penyok. Kacanya retak. Tapi elegan.Jarumnya, berhenti di 11:11.Seorang cowok muda masuk toko.
 “Ini jam dari mana, Kek?”
“Dari kecelakaan.
Jam ini, nggak pernah bisa diperbaiki.”
“Oh ya?”
Cowok itu senyum.
“Tapi kadang, yang rusak justru yang paling jujur.”
Dia beli jam itu.Dan saat dia keluar dari toko, jam itu berdetik sekali Klik.

Tamat.

🌟 Suka ceritanya? Dukung terus biar cerita ini lanjut!

Nulis cerita eksistensial begini butuh kopi, energi, dan sedikit keberanian buat ngubek-ubek pikiran absurd 😂
Kalau Agan & Sista merasa cerita ini ngena, atau bikin mikir, bisa banget traktir gue kopi di:copas https://trakteer.id/andri0897 atau

☕Scan Kode Qr nya ya
Baca Cerita Fiksi Terbaruku Sampai Akhir!

Dukungan kalian jadi semangat buat nulis cerita baru selanjutnya! 🙏

✍️ bagi yang mau donatur beri tahu namanya ya akan ku buat dan kupakai di cerita baru selanjutnya

Terima kasih udah nemenin di kota jam 11:11 ini. 😌






senjaperenunganAvatar border
bang.toyipAvatar border
tiokyapcingAvatar border
tiokyapcing dan 2 lainnya memberi reputasi
3
174
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan