- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kartini dan Rumor Freemasonry yang Mengelilinginya


TS
KangPri
Kartini dan Rumor Freemasonry yang Mengelilinginya
Quote:
tirto.id - Pada 17 September 1904, Kartini meninggal dunia dalam pelukan suaminya, Bupati Rembang Djojo Adiningrat.

Persis empat hari setelah melahirkan anak semata wayangnya, Soesalit, perempuan tersebut mengembuskan napas terakhir.
“Lima menit sebelum hilangnya, pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya ia adalah Lambang Cinta, dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya sehingga tak ada di antara saudara-saudaranya perempuan yang dapat menyamainya.”

Begitu isi surat Bupati Djojo saat mengabarkan kematian sang istri kepada J.H Abendanon, dikutip dari Kartini: Sebuah Biografi (1977) karya Sitisoemandari Soeroto.
Kematian Kartini begitu mendadak. Dokter Belanda dr. van Ravesteyn yang dipanggil untuk membantu persalinan bersaksi perempuan bangsawan itu terlihat baik-baik saja sebelum 17 September.
Lebih dari satu abad kemudian, kematian Kartini masih memunculkan berbagai rumor.
Buku Kartini Mati Dibunuh: Membongkar Hubungan Kartini dengan Freemasonry (2010) yang ditulis oleh Efrianto Febriana mempersoalkan kematian mendadak yang dihubungkan dengan keterlibatan Kartini di dalam Freemasonry (Tarekat Mason Bebas).
Betulkah begitu?
Freemasonry dan Teosofi adalah dua organisasi progresif yang terlibat aktif dalam upaya perbaikan di bidang sosial, kebudayaan, hingga pendidikan di Hindia Belanda.
Keduanya tidak terpisahkan karena sejarah aktivitas Freemasonry dan Teosofi saling terkait.
Freemasonry muncul pertama kali di Hindia Belanda sekitar tahun 1762, ditandai dengan pendirian La Choisie, loji masonik pertama terletak di Batavia.
Pendirinya adalah J.C.M Radermacher, anggota East India Company, seperti dicatat Paul W. van der Veur dalam Freemasonry in Indonesia from Radermacher to Soekanto 1762-1961 (1976).
Namun, pertalian antara Freemasonry dan Teosofi baru terjadi sekitar tahun 1875.
Kala itu,Kolonel Olcott, anggota Freemansory yang tengah mempelajari bab spiritualisme, bertemu dengan Madam Blavatsky yang mempelajari ilmu mistik di Kairo, Mesir. Mereka berdua kemudian mendirikan Theosophical Society pada 17 November 1875 di New York.
Madam Blavatsky diketahui beberapa kali melakukan kunjungan ke Hindia Belanda, terutama di Candi Borobudur dan Mendut antara tahun 1852 dan 1862.
Seiring itu, seperti disampaikan dalam penelitian oleh Iskandar P. Nugraha, sejarawan yang mengkaji teosofi, sejak akhir abad-19 semakin banyak masyarakat Jawa yang tertarik dengan ajaran teosofi.
Lalu, bagaimana ceritanya Kartini dikait-kaitkan dengan organisasi Freemasonry dan Teosofi?
Sampai hari ini, tidak ditemukan bukti yang mendukung rumor bahwa Kartini meninggal dunia karena dibunuh.
Melansir tulisan Andi Achdian di IndoPROGRESS, ada sumber yang justru menyebut bahwa Ravesteyn bukanlah dokter yang cakap. Dalam artikel itu, Ikatan Dokter Indonesia menduga kematian Kartini disebabkan oleh preeklamasia, kondisi medis serius yang terjadi pada perempuan dengan kehamilan di atas usia 20 minggu.
Kematian Kartini bahkan tidak bisa dihubungkan dengan Freemasonry karena ia memang tidak terlibat dalam organisasi tersebut.
Freemasonry juga merupakan organisasi yang didominasi laki-laki, sehingga kecil kemungkinan Kartini tergabung di dalamnya.
Meski begitu, Kartini memang dekat dengan ajaran teosofi. Ajaran ini dikembangkan di dalam gerakan organisasi yang keanggotaannya tumpang tindih dengan Freemasonry.
Hal ini dapat dibaca dalam suratnya kepada Mijnheer van Kol tertanggal 30 April 1902, yang termaktub dalam Kartini: Surat-surat Lengkap dan Berbagai Catatan 1898-1904 (2022) susunan Joost Cote.
“Dari dialah kami belajar sesuatu tentang ajaran teosofi dan Spiritualisme yang sangat dia dukung,” tulis Kartini.
Sosok "dia" yang dimaksud dalam surat tersebut adalah perempuan bernama Josephine Harsteen. Sayang, tidak ada keterangan lebih lanjut tentang sosok ini.
Menurut T. H. Sumartana di buku Tuhan dan Agama: Dalam Pergulatan Batin Kartini (2013) spiritualisme Kartini terlacak melalui surat yang berisi diskusi seputar persoalan agama dan Tuhan, yang mulai dilakukannya sejak rutin berkorespondensi dengan orang-orang Belanda.
Minat Kartini terhadap agama bukan semata-mata untuk mencari penjelasan mengenai eksistensi diri dan jalan keluar dari persoalan pribadi saja, melainkan sebagai caranya memahami persoalan masyarakat.
Beberapa orang penting di hidup Kartini diketahui menjadi bagian dari organisasi Freemansory maupun Teosofi. Salah satunya adalah Sosrokartono, kakak Kartini, dan juga Abendanon.
“Orang-orang Belanda yang dekat dengan Kartini, Abendanon terkait dengan Freemasonry. Abendanon itu ada di list keanggotaan,” tutur Iskandar P. Nugraha, sejarawan sekaligus penulis buku Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia (2011) saat dihubungi oleh Diajeng Tirto.
"Penelitian saya menunjukkan bahwa menjadi anggota mereka [Freemason dan Teosofi] itu suatu kesempatan menjadi elite dekat dengan [lingkaran] tokoh Eropa yang bersimpati terhadap budaya Jawa," terang Iskandar yang mengulik tema Teosofi dan Freemason untuk penelitian skripsi dan tesis.
Tidaklah mengherankan apabila Sosrokartono, seorang lulusan kampus top Belanda, Universiteit Leiden, sekaligus poliglot yang menguasai 35 bahasa, secara otomatis terhubung dengan Teosofi.
Paparan terhadap gagasan Teosofi maupun Freemasonry pada era kolonial, terutama di kalangan elite intelektual, jamak terjadi.
Mohammad Hatta, misalnya, mendapatkan beasiswa sekolah di Belanda dari dua tokoh Teosofi bernama Ir. Fournier dan Ir. van Leeuwen, saat menempuh Sekolah Tinggi Dagang di Rotterdam pada tahun 1913.
Kedekatan dengan Teosofi terlacak di antara kalangan tokoh Budi Utomo (1908) dan Indische Partij (1912). Presiden pertama RI Soekarno turut mengakui bahwa sang ayah terpengaruh oleh ajaran Teosofi.
Organisasi Teosofi percaya bahwa kepedulian di bidang pendidikan yang terwujud dalam pendirian sekolah dan pemberian beasiswa upaya ampuh untuk menyebarkan ajaran mereka.
“Di kumpulan Freemason dan Teosofi, orang Jawa, pribumi, Belanda, dan Tionghoa bisa duduk bersama. Bicara ide-ide yang sama. Mereka dapat kesempatan belajar bahasa Belanda [dan] Jawa... tidak ada kelas kalau membicarakan soal-soal spiritual bersama,” Iskandar kembali menambahkan.
Dengan ketertarikan Teosofi dan Freemasonry terhadap ide-ide gagasan kemajuan di tanah Hindia Belanda, tentu sosok Kartini yang menulis dalam bahasa kolonial menarik perhatian kelompok ini.
Pemikiran visioner Kartini sedikit banyak menyumbang bahan bakar dalam upaya mendorong gerakan perempuan di Hindia Belanda.
Surat-suratnya diterbitkan pada 1911 berjudul Door Duisternis tot Licht: Gedachten over en voor het Javaansche Volk, meski melalui kurasi oleh J.H Abendanon, mendapat perhatian dunia.
Delapan tahun setelah kematian Kartini, berdiri Yayasan Kartini yang salah satunya diupayakan oleh Van Deventer, tokoh penting dalam kebijakan Politik Etis (1901).
Yayasan inilah yang kemudian mendirikan sekolah khusus anak perempuan, Sekolah Kartini.
Iskandar menuturkan lebih lanjut, orang-orang Teosofi ada di balik pendirian Sekolah Kartini.
Pertama didirikan pada 1913 di Jombang, Semarang, Sekolah Kartini awalnya menerima anak-anak perempuan dari keluarga priyayi dengan pengajar-pengajarnya khusus didatangkan dari Belanda. Seiring kalangan menengah ingin menyekolahkan anak perempuannya, mereka yang bukan darah biru dapat diterima di Sekolah Kartini.
tirto.id - Diajeng
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih|
https://tirto.id/kartini-dan-rumor-f...oogle_vignette
Persis empat hari setelah melahirkan anak semata wayangnya, Soesalit, perempuan tersebut mengembuskan napas terakhir.
“Lima menit sebelum hilangnya, pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya ia adalah Lambang Cinta, dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya sehingga tak ada di antara saudara-saudaranya perempuan yang dapat menyamainya.”
Begitu isi surat Bupati Djojo saat mengabarkan kematian sang istri kepada J.H Abendanon, dikutip dari Kartini: Sebuah Biografi (1977) karya Sitisoemandari Soeroto.
Kematian Kartini begitu mendadak. Dokter Belanda dr. van Ravesteyn yang dipanggil untuk membantu persalinan bersaksi perempuan bangsawan itu terlihat baik-baik saja sebelum 17 September.
Lebih dari satu abad kemudian, kematian Kartini masih memunculkan berbagai rumor.
Buku Kartini Mati Dibunuh: Membongkar Hubungan Kartini dengan Freemasonry (2010) yang ditulis oleh Efrianto Febriana mempersoalkan kematian mendadak yang dihubungkan dengan keterlibatan Kartini di dalam Freemasonry (Tarekat Mason Bebas).
Betulkah begitu?
Freemasonry dan Teosofi adalah dua organisasi progresif yang terlibat aktif dalam upaya perbaikan di bidang sosial, kebudayaan, hingga pendidikan di Hindia Belanda.
Keduanya tidak terpisahkan karena sejarah aktivitas Freemasonry dan Teosofi saling terkait.
Freemasonry muncul pertama kali di Hindia Belanda sekitar tahun 1762, ditandai dengan pendirian La Choisie, loji masonik pertama terletak di Batavia.
Pendirinya adalah J.C.M Radermacher, anggota East India Company, seperti dicatat Paul W. van der Veur dalam Freemasonry in Indonesia from Radermacher to Soekanto 1762-1961 (1976).
Namun, pertalian antara Freemasonry dan Teosofi baru terjadi sekitar tahun 1875.
Kala itu,Kolonel Olcott, anggota Freemansory yang tengah mempelajari bab spiritualisme, bertemu dengan Madam Blavatsky yang mempelajari ilmu mistik di Kairo, Mesir. Mereka berdua kemudian mendirikan Theosophical Society pada 17 November 1875 di New York.
Madam Blavatsky diketahui beberapa kali melakukan kunjungan ke Hindia Belanda, terutama di Candi Borobudur dan Mendut antara tahun 1852 dan 1862.
Seiring itu, seperti disampaikan dalam penelitian oleh Iskandar P. Nugraha, sejarawan yang mengkaji teosofi, sejak akhir abad-19 semakin banyak masyarakat Jawa yang tertarik dengan ajaran teosofi.
Lalu, bagaimana ceritanya Kartini dikait-kaitkan dengan organisasi Freemasonry dan Teosofi?
Sampai hari ini, tidak ditemukan bukti yang mendukung rumor bahwa Kartini meninggal dunia karena dibunuh.
Melansir tulisan Andi Achdian di IndoPROGRESS, ada sumber yang justru menyebut bahwa Ravesteyn bukanlah dokter yang cakap. Dalam artikel itu, Ikatan Dokter Indonesia menduga kematian Kartini disebabkan oleh preeklamasia, kondisi medis serius yang terjadi pada perempuan dengan kehamilan di atas usia 20 minggu.
Kematian Kartini bahkan tidak bisa dihubungkan dengan Freemasonry karena ia memang tidak terlibat dalam organisasi tersebut.
Freemasonry juga merupakan organisasi yang didominasi laki-laki, sehingga kecil kemungkinan Kartini tergabung di dalamnya.
Meski begitu, Kartini memang dekat dengan ajaran teosofi. Ajaran ini dikembangkan di dalam gerakan organisasi yang keanggotaannya tumpang tindih dengan Freemasonry.
Hal ini dapat dibaca dalam suratnya kepada Mijnheer van Kol tertanggal 30 April 1902, yang termaktub dalam Kartini: Surat-surat Lengkap dan Berbagai Catatan 1898-1904 (2022) susunan Joost Cote.
“Dari dialah kami belajar sesuatu tentang ajaran teosofi dan Spiritualisme yang sangat dia dukung,” tulis Kartini.
Sosok "dia" yang dimaksud dalam surat tersebut adalah perempuan bernama Josephine Harsteen. Sayang, tidak ada keterangan lebih lanjut tentang sosok ini.
Menurut T. H. Sumartana di buku Tuhan dan Agama: Dalam Pergulatan Batin Kartini (2013) spiritualisme Kartini terlacak melalui surat yang berisi diskusi seputar persoalan agama dan Tuhan, yang mulai dilakukannya sejak rutin berkorespondensi dengan orang-orang Belanda.
Minat Kartini terhadap agama bukan semata-mata untuk mencari penjelasan mengenai eksistensi diri dan jalan keluar dari persoalan pribadi saja, melainkan sebagai caranya memahami persoalan masyarakat.
Beberapa orang penting di hidup Kartini diketahui menjadi bagian dari organisasi Freemansory maupun Teosofi. Salah satunya adalah Sosrokartono, kakak Kartini, dan juga Abendanon.
“Orang-orang Belanda yang dekat dengan Kartini, Abendanon terkait dengan Freemasonry. Abendanon itu ada di list keanggotaan,” tutur Iskandar P. Nugraha, sejarawan sekaligus penulis buku Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia (2011) saat dihubungi oleh Diajeng Tirto.
"Penelitian saya menunjukkan bahwa menjadi anggota mereka [Freemason dan Teosofi] itu suatu kesempatan menjadi elite dekat dengan [lingkaran] tokoh Eropa yang bersimpati terhadap budaya Jawa," terang Iskandar yang mengulik tema Teosofi dan Freemason untuk penelitian skripsi dan tesis.
Tidaklah mengherankan apabila Sosrokartono, seorang lulusan kampus top Belanda, Universiteit Leiden, sekaligus poliglot yang menguasai 35 bahasa, secara otomatis terhubung dengan Teosofi.
Paparan terhadap gagasan Teosofi maupun Freemasonry pada era kolonial, terutama di kalangan elite intelektual, jamak terjadi.
Mohammad Hatta, misalnya, mendapatkan beasiswa sekolah di Belanda dari dua tokoh Teosofi bernama Ir. Fournier dan Ir. van Leeuwen, saat menempuh Sekolah Tinggi Dagang di Rotterdam pada tahun 1913.
Kedekatan dengan Teosofi terlacak di antara kalangan tokoh Budi Utomo (1908) dan Indische Partij (1912). Presiden pertama RI Soekarno turut mengakui bahwa sang ayah terpengaruh oleh ajaran Teosofi.
Organisasi Teosofi percaya bahwa kepedulian di bidang pendidikan yang terwujud dalam pendirian sekolah dan pemberian beasiswa upaya ampuh untuk menyebarkan ajaran mereka.
“Di kumpulan Freemason dan Teosofi, orang Jawa, pribumi, Belanda, dan Tionghoa bisa duduk bersama. Bicara ide-ide yang sama. Mereka dapat kesempatan belajar bahasa Belanda [dan] Jawa... tidak ada kelas kalau membicarakan soal-soal spiritual bersama,” Iskandar kembali menambahkan.
Dengan ketertarikan Teosofi dan Freemasonry terhadap ide-ide gagasan kemajuan di tanah Hindia Belanda, tentu sosok Kartini yang menulis dalam bahasa kolonial menarik perhatian kelompok ini.
Pemikiran visioner Kartini sedikit banyak menyumbang bahan bakar dalam upaya mendorong gerakan perempuan di Hindia Belanda.
Surat-suratnya diterbitkan pada 1911 berjudul Door Duisternis tot Licht: Gedachten over en voor het Javaansche Volk, meski melalui kurasi oleh J.H Abendanon, mendapat perhatian dunia.
Delapan tahun setelah kematian Kartini, berdiri Yayasan Kartini yang salah satunya diupayakan oleh Van Deventer, tokoh penting dalam kebijakan Politik Etis (1901).
Yayasan inilah yang kemudian mendirikan sekolah khusus anak perempuan, Sekolah Kartini.
Iskandar menuturkan lebih lanjut, orang-orang Teosofi ada di balik pendirian Sekolah Kartini.
Pertama didirikan pada 1913 di Jombang, Semarang, Sekolah Kartini awalnya menerima anak-anak perempuan dari keluarga priyayi dengan pengajar-pengajarnya khusus didatangkan dari Belanda. Seiring kalangan menengah ingin menyekolahkan anak perempuannya, mereka yang bukan darah biru dapat diterima di Sekolah Kartini.
tirto.id - Diajeng
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih|
https://tirto.id/kartini-dan-rumor-f...oogle_vignette
Masih tentang sejarah
Ane akhir akhir ini seneng emang baca Tirto
Meski yg diatas ini berbau "konspirasi", tapi ada fakta yang jadi edukasi buat kita pelajari bareng, apakah itu akurat.
Jadi pembahasan sejarah atau revisi itu perlu. Update berkala juga setelah ada bukti penyanggah semisal sejarah A itu harusnya B. Bukan di stop total, apalagi mandek pake versi revisi lama
"He who controls the present, controls the past, He who controls the past, controls the future"- Orwell 1982
Diubah oleh KangPri 24-06-2025 12:51






BALI999 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
432
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan