Kaskus

Story

djrahayuAvatar border
TS
djrahayu
[Cerpen] Guru Mengajar, Negara Lupa
Pak Arman menatap layar ponselnya untuk kesekian kalinya, berharap notifikasi transfer gaji akhirnya muncul. Tapi seperti hari-hari sebelumnya, yang ada hanya pesan dari pihak bank, 'Saldi Anda Tidak Mencukupi'. Napasnya menjadi berat. Sudah tiga bulan gajinya tertahan, padahal statusnya PNS -- bukan honorer yang dianggap "wajar" terlambat di bayar. Ia menghela nafas, memandang buku-buku pelajaran yang masih harus ia persiapkan untuk esok.
Di luar, langit sudah gelap, tapi pikiran tentang bagaimana membayar uang sekolah anaknya yang akan jatuh tempo minggu depan membuat matanya tak bisa terpejam.
---
Bu Siti memegang erat buku tabungan yang nyaris kosong, sambil berusaha menenangkan anak bungsunya yang merengek minta dibelikan seragam baru.
"Ibu janji, nanti kalau gajinya sudah masuk...," ujarnya lemah, meski ia sendiri tak yakin kapan "nanti" itu akan tiba.
Suaminya, seorang guru di sekolah lain, juga belum menerima gaji. Mereka terpaksa meminjam dari tetangga untuk membeli beras hari ini. Tapi tetangga pun mulai enggan meminjamkan lagi, karena utang mereka menumpuk.
Di kepala Bu Siti, bayangan pinjol online yang terus membengkak seperti hantu yang tak pernah pergi.
---
Pak Rudi menyalakan motornya dengan bensin sisa sedikit, yang mungkin akan cukup untuk pulang, jika ia berhemat. Tapi besok ia harus mengajar di sekolah yang jaraknya 25 kilometer dari rumah.
"Aku harus cari pinjaman lagi," gumamnya getir.
Sudah lima kali ia mengajukan komplain ke dinas, tapi jawabannya selalu sama.
"Dana daerah sedang kosong, mohon bersabar."
Bersabar? Sementara rentenir mengetuk pintu rumahnay setiap malam, sementara anaknya di kampus mengirim pesan.
"Pak, cicilan uang Semester belum dibayar, aku nggak bisa ikut ujian."
Tanggannya gemetar saat membuka aplikasi pinjol lain, meski tahu ini seperti menggali kuburnya sendiri.
---
Di ruang guru yang biasanya riuh dengan obrolan tentang materi ajar, kini hanya ada bisik-bisik penuh kecemasan. Beberapa rekan Pak Arman terpaksa menjual perhiasan istri atau peralatan rumah tangga hanya untuk bertahan hidup.
Seorang guru muda, Bu Wulan, bahkan terlihat semakin kurus karena mengurangi jatah makannya demi mengirit uangn.
"Kadang aku hanya makan sekali sehari," akunya lirih, sambil memandang bekal nasi dan tempe seadanya. Padahal, di papan pengumuman sekolah, foto-foto mereka masih terpajang dengan bangga di antara deretan prestasi siswa -- ironi yang terasa pedas.
---
Malam itu, Bu Siti menatap layar laptopnya dengan mata berkaca-kaca. Sebuah surat elektronik dari dinas pendidikan terbuka.
"Pencairan gaji ditunda hingga waktu yang belum ditentukan."
Jari-jemarinya mengetik pesan di grup WhatsApp sesama guru, berisi tautan berita tentang anggaran daerah yang dialihkan untuk proyek infrastruktur.
"Kita ini apa? Kertas bekas yang bisa diinjak-injak?" tulis seorang rekan dengan emosi.
Bu Siti ingin marah, tapi yang keluar hanya desahan panjang. Di kamar sebelah, anak sulungnya mengeluh karena laptopnya hang -- perangkat yang sama dipakai bergantian untuk sekolah online dan kerja sampingannya mengoreksi siswa.
---
Pak Rudi terjebak di persimpangan, melanjutkan ke sekolah dengan bensin yang mungkin tak cukup untuk pulang, atau membolos dan kehilangan sepotong gaji (yang sudah lama tak cair). Ia pun memilih berjalan kaki 5 kilometer ke SPBU terdekat, berharap bisa meminjam uang dari tukang ojek langganannya.
"Guru PNS kok seperti pengemis," gerutunya dalam hati.
Tiba-tiba, hujan turun deras. Ia tak membawa jas hujan -- yang lama sudah dijual -- dan tas berisi lembaran ujian basah sebelum sampai sekolah.
Saat ia masuk gerbang, seorang murid bertanya, "Pak kenapa wajahnya pucat?"
Pak Rudi hanya tersenyum getir. Jawaban yang sebenarnya tersangkut di tenggorokan, "Aku lapar, Nak. Dan gurumu ini, mungkin akan masuk berita karena bunuh diri akibat pinjol."
---
Di kantin sekolah yang sepi, Bu Wulan duduk sendiri sambil memandangi sebungkus nasi padang yang dibeli seorang rekan -- satu-satunya yang masih mampu berbagi. Ia mencoba menilak dengan halus, meski perutnya keroncongan.
"Aku sudah makan," bohongnya.
Matanya menerawang ke arah ruang kepala sekolah, di mana rapat darurat tengah berlangsung. Kabarnya, beberapa guru honorer sudah mengundurkan diri, mencari pekerjaan serabutan yang bayarannya lebih pasti, asal tak protes terlalu keras.
"Kita ini sudah seperti tahanan gaji," bisik seorang kolega, setengah bercandam setengah putus asa.
---

Pak Arman nekat mendatangi kantor dinas setelah jam mengajar. Ruang tunggu penuh sesak dengan guru-guru lain yang sama terlunta. Seorang petugas akhirnya keluar dengan muka masam: 

"Bapak-Ibu sabar saja. Ini kan masalah nasional, bukan cuma di sini." 

Seorang guru tua tiba-tiba jatuh pingsan--belakangan diketahui ia belum makan sejak pagi karena uangnya habis untuk membayar cicilan ambulance waktu istrinya sakit. Keributan pun terjadi. Pak Arman pulang dengan tangan hampa, tapi di perjalanan, ia menerima telepon dari rentenir.

"Besok terakhir, Pak. Atau kami datang ke sekolah." Ia menggigit bibir sampai berdarah.

Diubah oleh djrahayu 24-06-2025 10:17
riodgarpAvatar border
tiokyapcingAvatar border
haqualoversAvatar border
haqualovers dan 5 lainnya memberi reputasi
6
223
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan