Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Surat dari Makam Nomor 27
Surat dari Makam Nomor 27

Senin pagi itu, langit kelabu. Angin bergerak pelan di antara nisan-nisan yang tertanam rapi di pemakaman tua Desa Kembangarum. Daun-daun jati gugur perlahan, menutupi sebagian jalan setapak yang jarang dilalui.

Di sudut belakang pemakaman, tepat di bawah pohon beringin besar, berdiri makam nomor 27. Tak ada bunga, tak ada dupa, hanya batu nisan yang mulai retak dengan ukiran nama:
SUKMA AYU — 1989–2017

Warga desa mengenalnya sebagai gadis periang. Ia bekerja sebagai guru TK sebelum meninggal secara mendadak pada usia 28 tahun. Katanya, serangan jantung. Tapi bisik-bisik yang berkembang justru menyebutkan hal-hal yang lebih gelap: kutukan, santet, bahkan arwah penasaran.

Tiga tahun berlalu sejak pemakamannya, dan makam nomor 27 selalu sepi. Sampai pada suatu malam Jumat Kliwon, Pak Harjo, penjaga pemakaman, menemukan secarik kertas di atas nisan Sukma. Kertas itu basah, penuh bercak tanah, dan anehnya—ditulis dengan tulisan tangan Sukma sendiri.

“Untuk siapapun yang menemukan surat ini…

Aku tidak mati karena sakit.

Aku dibunuh.”

Pak Harjo gemetar membaca kalimat itu. Ia mengenali tulisan tangan itu, karena Sukma pernah mengajarinya menulis surat saat hendak mengurus bantuan desa. Tapi bagaimana mungkin? Siapa yang meletakkan surat ini?

Keesokan harinya, kabar tentang surat itu menyebar cepat. Warga desa gempar. Pak Kades, yang selama ini menganggap kematian Sukma biasa saja, memerintahkan untuk membuka kembali makam itu. Namun sebelum rencana pembongkaran dilakukan, sesuatu terjadi.

Pak Harjo ditemukan tewas di pondok penjaga. Mukanya membiru, matanya melotot, dan di atas dadanya terdapat surat lain—masih dengan tulisan yang sama.

“Kau menemukan rahasiaku. Sekarang rahasiamu aman bersamaku.”

Warga semakin takut. Mereka percaya arwah Sukma gentayangan, mencari keadilan yang tak pernah datang. Beberapa warga mengaku melihat penampakan perempuan berbaju putih di dekat beringin, duduk memeluk lutut sambil menangis.

Seorang pemuda bernama Tama, yang dulu dikenal dekat dengan Sukma, memberanikan diri menyelidiki lebih jauh. Ia mendatangi guru spiritual di luar desa dan membawa kain kafan Sukma yang dicuri diam-diam oleh temannya saat pemakaman dulu.

Lewat ritual sederhana, sang guru mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan:

“Sukma tidak mati karena penyakit. Ia dicekik—oleh orang yang sangat ia percaya.”

Tama terdiam. Orang yang paling dekat dengan Sukma… adalah dirinya sendiri. Tapi ia bersumpah tidak pernah menyentuh Sukma dengan kekerasan. Kecurigaannya langsung mengarah ke satu orang: Pak Lurah Darto, yang sejak lama menaruh hati pada Sukma, namun cintanya ditolak mentah-mentah.

Desas-desus hubungan gelap antara Darto dan beberapa perempuan desa sudah lama terdengar. Tapi tidak ada yang berani melawan. Sukma mungkin satu-satunya yang menolak dan mengancam membuka aib sang Lurah. Bisa jadi itulah penyebab kematiannya.

Malam itu, Tama mendatangi makam nomor 27. Ia menaburkan bunga, menyalakan lilin, dan berbisik:

“Maaf, aku terlalu lama diam. Aku akan ungkapkan semuanya.”

Namun sebelum ia pulang, sebuah suara lirih terdengar dari balik pohon beringin.

“Terlambat... dia sudah datang padamu...”

Tama menoleh. Tapi tak ada siapa-siapa. Ia berlari pulang, namun tubuhnya tiba-tiba lemas dan jatuh tepat di gerbang pemakaman. Ketika warga menemukannya pagi hari, di tangan Tama tergenggam surat lain:

“Kau terlalu lama membiarkanku sendiri. Kini biarkan aku membawamu bersamaku.”

Kini, makam nomor 27 tidak lagi sepi. Di sebelahnya, berdiri nisan baru dengan ukiran:

TAMA WIRATAMA — 1990–2020

Dan setiap malam Jumat, dua bayangan duduk di bawah pohon beringin—perempuan dan lelaki, memandangi bulan sambil berbisik…
Tentang cinta, kematian, dan rahasia yang akhirnya terkubur bersama mereka.
intanasaraAvatar border
intanasara memberi reputasi
1
76
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan