Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Warung Kopi di Bawah Pohon Sawo
Warung Kopi di Bawah Pohon Sawo

Di sebuah desa kecil bernama Cikalong Wetan, berdirilah sebuah warung kopi sederhana di bawah pohon sawo tua. Warung itu milik seorang pria paruh baya bernama Pak Darma, mantan sopir truk lintas pulau yang memutuskan pensiun dan membuka usaha kecil setelah istrinya meninggal dunia. Warungnya sederhana: meja kayu panjang, bangku plastik, termos air panas, dan toples-toples berisi kopi bubuk, teh tubruk, serta kue-kue kampung.

Meski kecil, warung Pak Darma tak pernah sepi. Setiap pagi, para petani mampir sebelum berangkat ke ladang. Siang hari, anak-anak sekolah membeli es teh dan gorengan. Sore menjelang, pemuda-pemuda desa nongkrong sambil bermain kartu atau diskusi tentang bola. Suasana hangat dan bersahabat selalu hadir di sana, karena Pak Darma punya satu kebiasaan: ia mendengarkan.

Entah berapa cerita yang sudah ia dengarkan setiap harinya. Tentang Pak Bowo yang sedang bingung cari dana untuk menyekolahkan anaknya ke kota. Tentang Ningsih yang diam-diam ingin kabur ke Jakarta karena lelah dijodohkan. Tentang Ujang yang sedang patah hati karena gebetannya lebih memilih laki-laki dari desa sebelah.

Pak Darma hanya menyimak, mengangguk, lalu berkata bijak dengan bahasa sederhana. Tak jarang ia menyelipkan sebaris dua pantun jenaka yang membuat lawan bicaranya tersenyum walau hatinya sedang kacau.

Suatu hari, seorang pria asing datang. Pakaiannya rapi, kulitnya lebih terang dari rata-rata penduduk desa, dan ia membawa kamera besar. Namanya Reza. Ia mengaku jurnalis dari Jakarta, sedang menulis buku tentang desa-desa unik di Indonesia. Reza tinggal selama beberapa hari, duduk di warung Pak Darma hampir setiap pagi dan sore, mengamati kehidupan desa dan mendengarkan cerita-cerita.

“Aneh ya, Pak,” kata Reza suatu sore, “saya sudah keliling ke tujuh desa, tapi cuma di sini saya merasa... tenang.”

Pak Darma hanya tersenyum sambil menyeduh kopi. “Tenang itu bukan datang dari tempat, tapi dari orang-orang di sekitarmu, Nak. Di sini, orang mau dengar cerita, bukan cuma bicara.”

Reza menatap Pak Darma lama. “Bapak kayaknya lebih cocok nulis buku daripada saya.”

Pak Darma terkekeh. “Saya nggak bisa nulis, cuma bisa ngaduk kopi.”

Namun, sejak kehadiran Reza, banyak perubahan terjadi. Ia mulai memotret suasana warung, mewawancarai pengunjung tetap, merekam percakapan, bahkan menulis ulang kisah-kisah kecil yang didengarnya di warung itu.

Beberapa bulan setelah Reza pulang ke Jakarta, desa itu menerima kabar mengejutkan: buku berjudul “Di Bawah Pohon Sawo” diterbitkan dan menjadi best-seller. Warung kopi Pak Darma menjadi sorotan media, dan beberapa stasiun TV datang meliput. Orang-orang dari luar kota mulai berdatangan, ingin melihat langsung warung sederhana yang menyimpan ribuan cerita.

Pak Darma tetap tenang. Ia menolak memperbesar warungnya, menolak menjual warung itu meski ditawar ratusan juta. Katanya, “Tempat ini bukan soal uang. Ini rumah bagi cerita orang-orang.”

Sayangnya, tak lama setelah popularitas itu datang, pohon sawo tua tiba-tiba tumbang karena angin ribut malam hari. Semua orang menangis. Bukan hanya karena pohonnya yang besar dan rindang, tapi karena mereka merasa seperti kehilangan jiwa dari tempat itu.

Tapi Pak Darma, seperti biasa, tersenyum dan berkata, “Pohon boleh tumbang, tapi akar kenangan tetap di sini.”

Kemudian, warga desa bersama-sama menanam pohon sawo baru di tempat yang sama. Anak-anak sekolah menggambar pohon sawo dan menempelnya di dinding warung. Para pemuda membuat plakat kayu bertuliskan:

“Warung Cerita – Di Bawah Pohon Sawo.”
“Karena semua orang berhak didengarkan.”

Pak Darma terus menyeduh kopi setiap hari. Warungnya tetap ramai, bukan karena ketenaran, tapi karena ia memberikan hal yang lebih mahal dari kopi: waktu untuk mendengarkan.
intanasaraAvatar border
B394LAvatar border
B394L dan intanasara memberi reputasi
2
89
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan