- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Asal-usul Penulisan Ulang Sejarah Indonesia


TS
mabdulkarim
Asal-usul Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Penulisan ulang sejarah nasional Indonesia dianggap menyalahi metodologi dan tidak transparan. Prosesnya juga terbilang amat singkat dan terlalu dipaksakan.
Ilustrasi : Edi Wahyono
Selasa, 17 Juni 2025
Sebulan setelah dilantik, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengumpulkan para sejarawan dan budayawan di Gedung A Kementerian Kebudayaan pada 21 November 2024. Dalam forum bertajuk ‘Ngopi Pagi: Menteri Kebudayaan Bersama Komunitas Budaya’ ini, Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Agus Mulyana mengusulkan adanya dokumentasi ulang sejarah nasional.
“Kemudian ada konsesi di Bandung dan pendalaman (penulisan ulang sejarah) itu ada di sana,” tutur sejarawan yang juga merupakan Ketua Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional Andi Achdian kepada detikX. Andi turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Konsesi di Bandung digelar pada 14 Desember 2024 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), tempat Agus Mulyana menjabat Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Ini merupakan seminar nasional dan rapat kerja nasional MSI.
Dalam pertemuan itu, Fadli Zon turut hadir dan menjadi pembicara utama. Dibahas pula dalam pertembungan ini soal penulisan sejarah ulang.
Dari situ, dibentuk tim penulisan ulang sejarah nasional. Tiga nama sejarawan senior ditunjuk sebagai perumus atau editor umum yakni Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin. Hadir pula Direktur Jenderal Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi Restu Gunawan. Restu sebelumnya menjadi redaksi pelaksana penulisan ‘Indonesia dalam Arus Sejarah’, yang terbit pada 2009-2012 dalam proyek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Para anggota MSI ini kemudian diminta mengumpulkan nama-nama sejarawan dan arkeolog yang akan masuk dalam tim. Ini untuk melibatkan mereka dalam pengkurasian naskah yang rencananya akan ditulis dalam 10 jilid ini. Tak lama setelah itu, Fadli Zon melantik Agus Mulyana sebagai Direktur Sejarah dan Permuseuman di Kementerian Kebudayaan.
Profesor riset di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Harry Truman Simanjuntak menjadi salah satu yang ditunjuk sebagai editor. Dia ditugaskan mengkurasi jilid pertama.

Sebagian Masyarakat Sejarawan Indonesia yaitu Agus Mulyana dan Restu Gunawan tengah berfoto bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Foto : msi.or.id
Harry bilang rapat awal tim penulisan ulang sejarah ini dimulai pada akhir Desember 2024 secara daring. Rapat itu langsung membahas pembagian tugas pengkurasian. Sedangkan saat itu, konsep dan isi buku penulisan ulang sejarah nasional Indonesia ini belum pernah dibahas sama sekali dengan para editor.
“Mestinya, dalam etika keilmuan, ketika kita mau menulis bersama, jangankan berjilid-jilid buku, satu jilid saja, kita perlu brainstorming, berdiskusi. Dan, kalau perlu, kita seminarkan karena itu sangat penting untuk mendapatkan masukan, sehingga kontennya itu menjadi lebih komprehensif,” terang Harry saat dihubungi detikX pekan lalu.
Namun, tanpa mendengarkan masukan dari Harry, Kementerian Kebudayaan langsung menggelar rapat tim inti penulisan ulang sejarah di Harris Suites fX Sudirman, Jakarta, pada pertengahan Januari 2025. Rapat yang dihadiri Fadli Zon, Agus Mulyana, Restu Gunawan, dan beberapa tim penulis inti ini berlangsung sampai nyaris tengah malam.
Ada beberapa perdebatan terkait konsep, metodologi, dan istilah dalam penulisan. Harry termasuk salah satu yang mendebat soal istilah ‘Sejarah Awal’ yang digunakan untuk menggantikan konsep prasejarah pada jilid pertama. Secara metodologi, kata Harry, hal tersebut sudah menyalahi konsensus internasional, yang menyebut sejarah adalah masa setelah tulisan ditemukan.
Apalagi, dalam pembacaan draf awal penulisan ulang sejarah ini, Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Susanto Zuhdi berulang kali bertanya kepada Fadli Zon terkait frasa judul dalam penulisan jilid pertama tersebut. Bagi Harry, hal ini sudah mengangkangi disiplin keilmuan dengan adanya pemaksaan kehendak dari penguasa untuk mengubah konsensus yang sudah disepakati secara internasional.
“Ada pemaksaan dari mungkin tanda petik penguasa, kemudian melalui satu disiplin yang kebetulan orang-orang sejarawan terhadap disiplin lain. Ini sesuatu yang salah,” ujarnya.
Beberapa bulan setelah diskusi itu, draf awal penulisan ulang sejarah ini bocor ke publik. Dalam draf tersebut, beberapa peristiwa penting sejarah, khususnya terkait sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu, luput dari penulisan. Pembantaian jutaan orang yang dituduh terkait dengan Partai Komunis Indonesia, penembakan misterius, hingga penculikan para aktivis 1998 tidak masuk dalam draf tersebut. Ditambah lagi, Fadli Zon juga mengeluarkan pernyataan kontroversial dengan menyebut tidak ada pemerkosaan kepada perempuan pada 1998.

Bocornya draf ini pun ramai menjadi perbincangan para sejarawan nasional. Dalam grup WhatsApp ‘Forum Sejarawan Indonesia’, draf tersebut dikecam oleh sejumlah sejarawan. Sejarawan Erwin Kusuma menyebut draf awal penulisan ulang sejarah ini amat rancu. Pemerintah seolah ingin memaksakan kehendak sendiri dengan memasukkan beberapa peristiwa yang secara rentang waktu tidak sesuai dengan metodologi sejarah. Salah satunya terkait dengan penulisan di jilid 10 yang memasukkan era Presiden Joko Widodo sebagai bagian penutup buku.
“Itu bagi saya, sejarawan yang belajar metodologi, agak rancu ya, karena ada konsensus internasional kan bahwa data sejarah atau arsip sejarah itu bisa dinyatakan sudah tidak lagi dinamis, sudah nggak lagi terkait dengan dinamika di luar arsip itu, setelah 25 tahun,” ungkap Erwin kepada detikX.
Sejarawan sekaligus anggota Komisi X DPR Bonnie Triyana juga mengkritisi proses penulisan ulang sejarah yang dianggap terlalu terburu-buru ini—yang kata Fadli Zon akan segera diterbitkan pada 17 Agustus 2025. Menurut Bonnie, jika benar penulisan ulang sejarah nasional ini adalah sebagai hadiah ulang tahun untuk negara, seharusnya penulisannya dibuat lebih komprehensif dan dengan metodologi yang sesuai dengan kaidah.
Bonnie juga mengkritisi soal nada positif yang akan digunakan dalam penulisan ulang sejarah ini. Padahal, dalam ilmu sejarah, tidak dikenal istilah tersebut.
“History is history. Kita harus belajar dari metodologi,” kata Bonnie kepada detikX.
Salah satu Ketua Tim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Jajat Burhanudin menampik jika dikatakan ada pemaksaan dari penguasa terkait beberapa penulisan peristiwa atau frasa dalam penulisan ulang sejarah ini. Dia menjamin setiap tim penulis diberi kebebasan penuh untuk menentukan substansi dan narasi yang akan ditulis.
Dalam hal metodologi, Jajat mengatakan penulisan ulang sejarah ini sudah mematuhi metodologi karena akan ditulis oleh para ahli. Ada ratusan sejarawan dan arkeolog yang sudah teruji keilmuannya ikut dalam penulisan ulang sejarah tersebut.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon didampingi Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Restu Gunawan saat meresmikan perubahan nama Pusat Informasi Majapahit (PIM) menjadi Museum Majapahit, Selasa (10/6/2025).
Foto : Enggran Eko Budianto/detikJatim
Sementara itu, terkait dengan nada positif dalam konteks penulisan ulang sejarah, Jajat mengatakan bukan bertujuan untuk mengaburkan fakta sejarah atau menghapuskan peristiwa penting. Penulisan dengan nada positif ini bertujuan untuk membuat fakta sejarah menjadi lebih berimbang.
Beberapa peristiwa penting masa lalu, termasuk soal pelanggaran HAM berat, yang masuk dalam draf, kini masih belum final. Sebab, dokumen draf yang beredar saat ini masih mencakup 40 persen naskah yang akan ditulis. Sebagian besar penulisan naskah nantinya akan mengacu pada buku-buku sejarah versi pemerintah sebelumnya, termasuk Sejarah Nasional Indonesia dan Indonesia dalam Arus Sejarah.
Meski begitu, Jajat mengakui penulisan ulang sejarah ini masih butuh proses yang lebih panjang. Jajat tidak yakin betul seluruh isi dalam buku ini bisa diterbitkan pada 17 Agustus 2025 sesuai dengan keinginan Menteri Kebudayaan.
“Kita nggak begitu optimistis bisa di-launching resmi pada 17 Agustus. Saya dengar memang kementerian penginnya begitu, tapi saya kira nggak bisa dipaksakan kalau belum selesai,” kata Jajat kepada detikX.
detikX telah menghubungi Fadli Zon untuk meminta konfirmasi atas semua kritik dari para sejarawan terkait penulisan ulang sejarah ini. Fadli sempat membalas pesan kami dan mengaku akan mencari waktu bertemu. Namun, sampai tenggat artikel ini diterbitkan, Fadli belum memberikan respons lagi. Sedangkan Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha Djumaryo meminta permintaan konfirmasi detikX kepada Fadli Zon. Kami juga telah menghubungi Agus Mulyana, tetapi belum ada respons.
https://news.detik.com/x/detail/spot...arah-Nasional/
semiga lancer...
0
85
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan