- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Apa Kata Riset Soal Sengketa 4 Pulau Antara Aceh dan Sumut?


TS
KangPri
Apa Kata Riset Soal Sengketa 4 Pulau Antara Aceh dan Sumut?
Quote:
tirto.id - Sambutan dingin Gubernur Aceh Muzakir Manaf terhadap kedatangan rombongan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution di Kota Banda Aceh pada Rabu (4/6/2025) lalu mencerminkan dinamika hubungan kedua provinsi saat ini. Pemicunya adalah keputusan Jakarta mengenai status empat pulau yang secara historis lekat dengan Aceh, namun secara geografis dekat ke Sumut.

Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Pulau-pulau ini tidak berpenghuni. Lokasinya berada di perbatasan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Masing-masing merupakan daerah di Aceh dan Sumut yang bersanding dengan Samudera Hindia di pesisir barat Pulau Sumatra.
Perselisihan ini sudah berlangsung lebih satu dekade, persisnya sejak 2008 silam. Kekeliruan dalam proses pendataan oleh pemerintah daerah terdahulu serta lambatnya penanganan pusat menciptakan bom waktu yang akhirnya meledak.

Protes demi protes sudah dilayangkan Aceh. Namun frekuensinya kali ini jauh lebih tinggi.

Melalui keputusan teranyar pada 25 April 2025, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memasukkan empat pulau yang sedang diperdebatkan ke dalam wilayah Sumut. Sikap dingin Mualem–sapaan populer Muzakir Manaf–pada pertemuan pagi itu mewakili perasaan Aceh terhadap keputusan Jakarta.
Dengan senyum tipis, Mualem pergi meninggalkan Bobby Nasution. Ia lebih memilih datang ke kegiatan lainnya ketimbang duduk semeja untuk membahas pulau, risalah yang jauh-jauh ditenteng sang tetangga ke Tanah Rencong. Potongan video pertemuan singkat ini disebar luas ke media sosial dan menyulut beragam respons publik.
“Sepatutnya saya sudah pergi, tapi tidak apa-apa. Saya terpaksa menunggu Pak Gubernur (Sumut) karena sudah capek-capek. Jadi untuk selanjutnya Pak Gubernur silakan dengan orang ini, saya minta pamit ke Aceh Barat Daya,” ujar Mualem.
Bobby, yang saat itu didampingi Masinton Pasaribu, politikus PDIP sekaligus eks Anggota DPR RI yang kini menjabat Bupati Tapanuli Tengah, datang ke Aceh dengan tujuan meredam polemik. Ia mengajak mereka menyepakati keputusan pusat serta bersama-sama melakukan pengelolaan bila terdapat potensi sumber daya alam di empat pulau perbatasan tersebut.
“Namun di luar itu, tadi kami bersepakat untuk kita kelola sama-sama. Kalaupun ada potensi sumber daya alam, ya, itu bisa kita kelola sama-sama. Termasuk ada migas juga bisa kita saling berbagi,” ujar Bobby dikutip dari Siaran Pers Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Sumut, Rabu (4/6/2025).
Upaya Bobby meredam polemik tidak sepenuhnya berhasil.
Faktanya, gelombang protes semakin tinggi. Sejumlah elemen masyarakat bergerak dan menyampaikan sikap, mulai dari nelayan, akademisi, politikus lokal hingga nasional. Meski demikian, tak sedikit pula yang mendukung langkah Bobby.
Bermacam opini akhirnya ikut berkembang. Bukan hanya mengungkit-ungkit luka lama Aceh, namun juga menyeret-nyeret nama besar keluarga Bobby. Belum lagi soal isu kandungan minyak dan gas yang terdapat pada empat pulau tersebut.
Setelah bola panas terus bergulir, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian buka mulut. Ia mempersilakan pihak yang tidak puas agar menggugat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138. Keputusan inilah yang memasukkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.
“Kami memahami kalau ada pihak yang tidak puas. Tapi kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke PTUN. Silakan saja,”ujar Tito seperti dikutip dari Antara, Selasa (10/6/2025).

Tito merupakan mantan Kapolri yang dilantik menjadi Menteri Dalam Negeri untuk pertama kalinya pada 2019 oleh Presiden RI Ke-7 Joko Widodo, mertua Bobby Nasution. Ia kembali menduduki jabatan yang sama setelah dilantik lagi oleh Presiden Prabowo Subianto pada 2024 lalu.
Tito menyangkal kepentingan pribadi dalam keputusan ini. Menurutnya, sengketa empat pulau di perbatasan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah sudah terjadi sejak 1928.
“Dari tahun 1928 persoalan ini sudah ada. Prosesnya sangat panjang, bahkan jauh sebelum saya menjabat. Sudah berkali-kali difasilitasi rapat oleh berbagai kementerian dan lembaga,” ujar Tito.
Pernyataan Tito sama sekali tidak membuat situasi membaik. Penyelesaian sengketa lewat jalur litigasi dicurigai sebagai jebakan. Aceh menempuh jalan alternatif: kekeluargaan, administratif, dan politis.
Di sisi lain, gejolak terus merambat. Bahkan seorang warga Aceh dilaporkan sekelompok relawan karena dianggap mencaci maki Bobby Nasution dan Joko Widodo melalui media sosial TikTok.
Seiring keadaan yang semakin memburuk, Istana bersikap. Bersama legislatif, Presiden Prabowo Subianto disebut akan mengambil alih penuh penuntasan masalah empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumut. Keputusannya ditargetkan rampung pekan depan.
“Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara,” kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad melalui keterangan tertulis, Sabtu (14/6/2025).
Strategi Hapus Sengketa 4 Pulau dari Sudut Pandang Ilmiah

Masalah empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumut pernah dikaji secara ilmiah oleh Ardi Eko Wijoyo, Neneng Sri Rahayu, dan Hamka dalam penelitian berjudul Strategi Penyelesaian Sengketa Pulau Antara Kabupaten Aceh Singkil Pemerintah Aceh dengan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini terbit pada 2024, setahun sebelum Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 diteken Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Dalam penelitian tersebut, Ardi dkk menemukan berbagai bukti yang masing-masing saling menguatkan dan melemahkan kedua pihak. Hasil penelitian turut menawarkan solusi untuk menuntaskan sengketa yang berlarut-larut.
Namun sebelum ke situ, peneliti menjelaskan duduk perkara permasalahan ini.

Semua berawal dari 2008. Kala itu, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi datang ke Sumut dan Aceh untuk melakukan verifikasi dan pembakuan pulau. Tim terdiri atas unsur Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut, dan Badan Informasi Geospasial.
Dalam prosesnya, Pemprov Aceh maupun Pemkab Aceh Singkil diduga kurang memperhatikan sejumlah data serta tidak memahami wilayah administrasinya. Pemerintah daerah disinyalir abai memasukkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang disertai koordinat yang tepat saat proses verifikasi berlangsung.
Pemprov Aceh beberapa kali melayangkan surat. Namun hasilnya tetap sama.
Pada 2022, pemerintah pusat menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau Tahun 2021. Keputusan itu kemudian direvisi menjadi Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022.
Keduanya merupakan cikal bakal Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 yang kini diprotes.
Isi penelitian Ardi dkk menjelaskan betapa penting sengketa empat pulau di perbatasan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah segera dituntaskan karena berpotensi memicu masalah baru hingga konflik horizontal. Misalnya, konfrontasi fisik antara nelayan.
Diukur dari tingkatnya, faktor yuridis dan historis merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam sengketa empat pulau tersebut. Disusul faktor pelayanan publik, sosial, ekonomi dan geografis. Meski dapat menjadi pertimbangan, faktor geografis bukan penentu utama wilayah daerah.
Dalam penelitian ini, dijabarkan sejumlah data yang menguatkan klaim Aceh. Bukti yang memperkuat klaim kepemilikan Aceh terhadap empat pulau itu, yakni Surat Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Tahun 1965, Kesepakatan Bersama antara Pemda Daerah Tingkat I Sumut dengan Pemda Daerah Istimewa Aceh pada 1988, Kesepakatan Bersama antara Pemda Tingkat I Sumut dengan Pemda Istimewa Aceh pada 1992, serta Berita Acara Rapat Pembahasan tanggal 31 Oktober 2002.
Di pihak tetangga, Sumut mengantongi Hasil Verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada 2008, Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 136/046/BAK tanggal 4 Januari 2018 serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022.
Melalui penelitian ini, Ardi dkk menemukan surat tanah yang ditandatangani Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh pada 1965. Surat itu menyatakan bahwa bahwa Teuku Daud bin Teuku Radja Udah merupakan pemilik tanah keempat pulau tersebut.
Keberadaan surat tanah di atas membuktikan bahwa Aceh telah melakukan pelayanan publik di keempat pulau sejak 1965. Hasil peninjauan lapangan juga membuktikan adanya kebun kelapa sebagaimana tertera pada surat. Menurut penggarap, ia menyewa lahan kebun tersebut dari warga Kabupaten Aceh Singkil.
Dari segi pelayanan publik, Pemkab Aceh Singkil telah membangun sejumlah fasilitas untuk para nelayan di Pulau Panjang, mulai dari dermaga, rumah singgah hingga musala. Mereka juga membuat tugu batas sebagai pengganti Pilar Batas Utama di Pulau Panjang yang telah disepakati pada 2007.

Sementara itu, tindakan ataupun pelayanan sejenis tidak dilakukan Pemkab Tapanuli Tengah di pulau-pulau yang dipersengketakan.
Berdasarkan hasil pengumpulan data, pelacakan batas dan validasi, peneliti menemukan beberapa fakta. Antara lain Sumut lebih diuntungkan secara yuridis berkat Keputusan Menteri Dalam Negeri meski secara de facto pengelolaan pulau-pulau ini dilakukan Pemkab Aceh Singkil.
Jika dilihat dari sisi historis, keempat pulau yang dipersengketakan masuk dalam wilayah Aceh.
Secara sosial, budaya yang berkembang di keempat pulau tak berpenghuni tersebut adalah adat Aceh. Hal ini dibuktikan dengan adanya larangan untuk mencari ikan pada Hari Jumat. Nelayan yang ketahuan melanggar akan dihukum sesuai Qanun Aceh.
Sedangkan dari segi geografis, baik Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang lebih dekat ke daratan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Guna menyelesaikan sengketa empat pulau yang sudah berkepanjangan ini, peneliti menawarkan beberapa strategi. Strategi yang ditawarkan yaitu menyusun standar operasional prosedur tentang penyelesaian sengketa pulau; menguatkan prosedur penyusunan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau; merevisi Keputusan Menteri Dalam Negeri terkait dengan memasukkan keempat pulau ke wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil; serta menguatkan pemahaman pimpinan terhadap penyelesaian sengketa pulau.
"Berdasarkan hasil kajian dan verifikasi lapangan, tim pusat perlu untuk melakukan revisi Kepmendagri Kode, Data Wilayah, dan Pulau dengan mengubah cakupan wilayah keempat pulau masuk ke wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil," tulis Ardi dkk dalam laporan penelitiannya.
Riset tersebut menyatakan bahwa secara data dan dokumen yang ada, cukup kuat menyatakan bahwa memang keempat pulau tersebut merupakan cakupan wilayah administrasi dari Kabupaten Aceh Singkil. Pelayanan publik yang telah dilakukan Pemprov Aceh pun jadi klaim kuat kelekatan keempat pulau dengan Aceh dibanding dengan Sumut.
https://tirto.id/apa-kata-riset-soal...dan-sumut-hc5F
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Pulau-pulau ini tidak berpenghuni. Lokasinya berada di perbatasan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Masing-masing merupakan daerah di Aceh dan Sumut yang bersanding dengan Samudera Hindia di pesisir barat Pulau Sumatra.
Perselisihan ini sudah berlangsung lebih satu dekade, persisnya sejak 2008 silam. Kekeliruan dalam proses pendataan oleh pemerintah daerah terdahulu serta lambatnya penanganan pusat menciptakan bom waktu yang akhirnya meledak.
Protes demi protes sudah dilayangkan Aceh. Namun frekuensinya kali ini jauh lebih tinggi.
Melalui keputusan teranyar pada 25 April 2025, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memasukkan empat pulau yang sedang diperdebatkan ke dalam wilayah Sumut. Sikap dingin Mualem–sapaan populer Muzakir Manaf–pada pertemuan pagi itu mewakili perasaan Aceh terhadap keputusan Jakarta.
Dengan senyum tipis, Mualem pergi meninggalkan Bobby Nasution. Ia lebih memilih datang ke kegiatan lainnya ketimbang duduk semeja untuk membahas pulau, risalah yang jauh-jauh ditenteng sang tetangga ke Tanah Rencong. Potongan video pertemuan singkat ini disebar luas ke media sosial dan menyulut beragam respons publik.
“Sepatutnya saya sudah pergi, tapi tidak apa-apa. Saya terpaksa menunggu Pak Gubernur (Sumut) karena sudah capek-capek. Jadi untuk selanjutnya Pak Gubernur silakan dengan orang ini, saya minta pamit ke Aceh Barat Daya,” ujar Mualem.
Bobby, yang saat itu didampingi Masinton Pasaribu, politikus PDIP sekaligus eks Anggota DPR RI yang kini menjabat Bupati Tapanuli Tengah, datang ke Aceh dengan tujuan meredam polemik. Ia mengajak mereka menyepakati keputusan pusat serta bersama-sama melakukan pengelolaan bila terdapat potensi sumber daya alam di empat pulau perbatasan tersebut.
“Namun di luar itu, tadi kami bersepakat untuk kita kelola sama-sama. Kalaupun ada potensi sumber daya alam, ya, itu bisa kita kelola sama-sama. Termasuk ada migas juga bisa kita saling berbagi,” ujar Bobby dikutip dari Siaran Pers Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Sumut, Rabu (4/6/2025).
Upaya Bobby meredam polemik tidak sepenuhnya berhasil.
Faktanya, gelombang protes semakin tinggi. Sejumlah elemen masyarakat bergerak dan menyampaikan sikap, mulai dari nelayan, akademisi, politikus lokal hingga nasional. Meski demikian, tak sedikit pula yang mendukung langkah Bobby.
Bermacam opini akhirnya ikut berkembang. Bukan hanya mengungkit-ungkit luka lama Aceh, namun juga menyeret-nyeret nama besar keluarga Bobby. Belum lagi soal isu kandungan minyak dan gas yang terdapat pada empat pulau tersebut.
Setelah bola panas terus bergulir, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian buka mulut. Ia mempersilakan pihak yang tidak puas agar menggugat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138. Keputusan inilah yang memasukkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.
“Kami memahami kalau ada pihak yang tidak puas. Tapi kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke PTUN. Silakan saja,”ujar Tito seperti dikutip dari Antara, Selasa (10/6/2025).

Tito merupakan mantan Kapolri yang dilantik menjadi Menteri Dalam Negeri untuk pertama kalinya pada 2019 oleh Presiden RI Ke-7 Joko Widodo, mertua Bobby Nasution. Ia kembali menduduki jabatan yang sama setelah dilantik lagi oleh Presiden Prabowo Subianto pada 2024 lalu.
Tito menyangkal kepentingan pribadi dalam keputusan ini. Menurutnya, sengketa empat pulau di perbatasan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah sudah terjadi sejak 1928.
“Dari tahun 1928 persoalan ini sudah ada. Prosesnya sangat panjang, bahkan jauh sebelum saya menjabat. Sudah berkali-kali difasilitasi rapat oleh berbagai kementerian dan lembaga,” ujar Tito.
Pernyataan Tito sama sekali tidak membuat situasi membaik. Penyelesaian sengketa lewat jalur litigasi dicurigai sebagai jebakan. Aceh menempuh jalan alternatif: kekeluargaan, administratif, dan politis.
Di sisi lain, gejolak terus merambat. Bahkan seorang warga Aceh dilaporkan sekelompok relawan karena dianggap mencaci maki Bobby Nasution dan Joko Widodo melalui media sosial TikTok.
Seiring keadaan yang semakin memburuk, Istana bersikap. Bersama legislatif, Presiden Prabowo Subianto disebut akan mengambil alih penuh penuntasan masalah empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumut. Keputusannya ditargetkan rampung pekan depan.
“Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara,” kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad melalui keterangan tertulis, Sabtu (14/6/2025).
Strategi Hapus Sengketa 4 Pulau dari Sudut Pandang Ilmiah

Peta Aceh. foto/https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/
Masalah empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumut pernah dikaji secara ilmiah oleh Ardi Eko Wijoyo, Neneng Sri Rahayu, dan Hamka dalam penelitian berjudul Strategi Penyelesaian Sengketa Pulau Antara Kabupaten Aceh Singkil Pemerintah Aceh dengan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini terbit pada 2024, setahun sebelum Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 diteken Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Dalam penelitian tersebut, Ardi dkk menemukan berbagai bukti yang masing-masing saling menguatkan dan melemahkan kedua pihak. Hasil penelitian turut menawarkan solusi untuk menuntaskan sengketa yang berlarut-larut.
Namun sebelum ke situ, peneliti menjelaskan duduk perkara permasalahan ini.

kunjungan Tim Kementerian Dalam Negeri saat melakukan survei lapangan di Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang yang menurut Kementerian Dalam Negeri masuk ke dalam administrasi Sumatera Utara. FOTO/Kementerian Dalam Negeri
Semua berawal dari 2008. Kala itu, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi datang ke Sumut dan Aceh untuk melakukan verifikasi dan pembakuan pulau. Tim terdiri atas unsur Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut, dan Badan Informasi Geospasial.
Dalam prosesnya, Pemprov Aceh maupun Pemkab Aceh Singkil diduga kurang memperhatikan sejumlah data serta tidak memahami wilayah administrasinya. Pemerintah daerah disinyalir abai memasukkan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang disertai koordinat yang tepat saat proses verifikasi berlangsung.
Pemprov Aceh beberapa kali melayangkan surat. Namun hasilnya tetap sama.
Pada 2022, pemerintah pusat menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau Tahun 2021. Keputusan itu kemudian direvisi menjadi Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022.
Keduanya merupakan cikal bakal Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 yang kini diprotes.
Isi penelitian Ardi dkk menjelaskan betapa penting sengketa empat pulau di perbatasan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah segera dituntaskan karena berpotensi memicu masalah baru hingga konflik horizontal. Misalnya, konfrontasi fisik antara nelayan.
Diukur dari tingkatnya, faktor yuridis dan historis merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam sengketa empat pulau tersebut. Disusul faktor pelayanan publik, sosial, ekonomi dan geografis. Meski dapat menjadi pertimbangan, faktor geografis bukan penentu utama wilayah daerah.
Dalam penelitian ini, dijabarkan sejumlah data yang menguatkan klaim Aceh. Bukti yang memperkuat klaim kepemilikan Aceh terhadap empat pulau itu, yakni Surat Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh Tahun 1965, Kesepakatan Bersama antara Pemda Daerah Tingkat I Sumut dengan Pemda Daerah Istimewa Aceh pada 1988, Kesepakatan Bersama antara Pemda Tingkat I Sumut dengan Pemda Istimewa Aceh pada 1992, serta Berita Acara Rapat Pembahasan tanggal 31 Oktober 2002.
Di pihak tetangga, Sumut mengantongi Hasil Verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi pada 2008, Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 136/046/BAK tanggal 4 Januari 2018 serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022.
Melalui penelitian ini, Ardi dkk menemukan surat tanah yang ditandatangani Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh pada 1965. Surat itu menyatakan bahwa bahwa Teuku Daud bin Teuku Radja Udah merupakan pemilik tanah keempat pulau tersebut.
Keberadaan surat tanah di atas membuktikan bahwa Aceh telah melakukan pelayanan publik di keempat pulau sejak 1965. Hasil peninjauan lapangan juga membuktikan adanya kebun kelapa sebagaimana tertera pada surat. Menurut penggarap, ia menyewa lahan kebun tersebut dari warga Kabupaten Aceh Singkil.
Dari segi pelayanan publik, Pemkab Aceh Singkil telah membangun sejumlah fasilitas untuk para nelayan di Pulau Panjang, mulai dari dermaga, rumah singgah hingga musala. Mereka juga membuat tugu batas sebagai pengganti Pilar Batas Utama di Pulau Panjang yang telah disepakati pada 2007.

Mahasiswa bersama ormas pemuda menggelar aksi damai terkait sengketa empat pulau di Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Senin (16/6/2025). ANTARA FOTO/Ampelsa/tom.
Sementara itu, tindakan ataupun pelayanan sejenis tidak dilakukan Pemkab Tapanuli Tengah di pulau-pulau yang dipersengketakan.
Berdasarkan hasil pengumpulan data, pelacakan batas dan validasi, peneliti menemukan beberapa fakta. Antara lain Sumut lebih diuntungkan secara yuridis berkat Keputusan Menteri Dalam Negeri meski secara de facto pengelolaan pulau-pulau ini dilakukan Pemkab Aceh Singkil.
Jika dilihat dari sisi historis, keempat pulau yang dipersengketakan masuk dalam wilayah Aceh.
Secara sosial, budaya yang berkembang di keempat pulau tak berpenghuni tersebut adalah adat Aceh. Hal ini dibuktikan dengan adanya larangan untuk mencari ikan pada Hari Jumat. Nelayan yang ketahuan melanggar akan dihukum sesuai Qanun Aceh.
Sedangkan dari segi geografis, baik Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang lebih dekat ke daratan Kabupaten Tapanuli Tengah.
Guna menyelesaikan sengketa empat pulau yang sudah berkepanjangan ini, peneliti menawarkan beberapa strategi. Strategi yang ditawarkan yaitu menyusun standar operasional prosedur tentang penyelesaian sengketa pulau; menguatkan prosedur penyusunan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, dan Pulau; merevisi Keputusan Menteri Dalam Negeri terkait dengan memasukkan keempat pulau ke wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil; serta menguatkan pemahaman pimpinan terhadap penyelesaian sengketa pulau.
"Berdasarkan hasil kajian dan verifikasi lapangan, tim pusat perlu untuk melakukan revisi Kepmendagri Kode, Data Wilayah, dan Pulau dengan mengubah cakupan wilayah keempat pulau masuk ke wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil," tulis Ardi dkk dalam laporan penelitiannya.
Riset tersebut menyatakan bahwa secara data dan dokumen yang ada, cukup kuat menyatakan bahwa memang keempat pulau tersebut merupakan cakupan wilayah administrasi dari Kabupaten Aceh Singkil. Pelayanan publik yang telah dilakukan Pemprov Aceh pun jadi klaim kuat kelekatan keempat pulau dengan Aceh dibanding dengan Sumut.
https://tirto.id/apa-kata-riset-soal...dan-sumut-hc5F
Semoga bisa diselsekan dengan baik yak

Harusnya jelas statusnya setelah baca artikel ini si, cuma ya , muasal awikwowkwoko nya ya 2008 lalu- Tim Rupabumi perlu dicek, yg abai mereka atau tim lokal verifikator dulu. 2
Nama yg disebut di Grok si ini



itkgid memberi reputasi
1
232
Kutip
5
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan