- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Fadli Zon Serukan Ketelitian dan Keterbukaan dalam Penulisan Sejarah Tragedi Mei 1998


TS
ivoox.id
Fadli Zon Serukan Ketelitian dan Keterbukaan dalam Penulisan Sejarah Tragedi Mei 1998

Menteri Kebudayaan Fadli Zon bersama para peneliti situs warisan budaya Gunung Padang dalam diskusi publik bertajuk "Melihat Kembali Nilai-nilai Penting Situs Cagar Budaya Nasional Gunung Padang: Suatu Upaya Pelestarian Cagar Budaya Berkelanjutan" di Kementerian Kebudayaan pad Selasa (11/2/2025). IVOOX.ID/Fahrurrazi Assyar
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap sejarah, termasuk masa transisi reformasi yang terjadi pada Mei 1998. Ia menilai perhatian publik terhadap peristiwa huru-hara 13-14 Mei 1998 merupakan hal positif, namun juga mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam mengangkat isu yang sensitif, seperti tudingan “rudapaksaan massal”.
Dalam sebuah wawancara publik, Fadli Zon menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada data atau bukti yang benar-benar solid mengenai penggunaan istilah "rudapaksaan massal". Ia mengacu pada hasil liputan investigatif dan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang disebut tidak mampu menghadirkan rincian lengkap seperti nama korban, tempat kejadian, waktu, maupun pelaku secara konklusif. Oleh karena itu, ia mengimbau agar penggunaan istilah tersebut tidak gegabah karena dapat membawa konsekuensi serius terhadap narasi sejarah bangsa.
“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras segala bentuk perundungan dan kekerasan seksual terhadap perempuan, baik yang terjadi pada masa lalu maupun yang masih terjadi hingga hari ini. Apa yang saya sampaikan bukan untuk menihilkan penderitaan korban, melainkan untuk mendorong ketelitian dan keakuratan dalam menyampaikan sejarah,” kata Fadli.
Menurutnya, istilah “massal” dalam konteks kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998 telah menjadi pokok perdebatan selama lebih dari dua dekade. Karena itu, ia menilai perlunya kerangka akademik dan legal yang kuat untuk memastikan bahwa sejarah ditulis berdasarkan fakta yang terverifikasi.
“Sejarah tidak boleh dibangun hanya atas narasi atau opini yang belum diuji. Kita harus berpegang pada prinsip historiografi yang mengedepankan bukti hukum dan akademik, terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif dan berdampak luas terhadap persepsi kolektif bangsa,” ujarnya.
Menanggapi isu hilangnya narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia versi terbaru, Fadli menepis tudingan tersebut. Ia menegaskan bahwa justru salah satu semangat utama penyusunan buku tersebut adalah untuk memperkuat pengakuan atas peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.
Ia menyebut bahwa dalam proses penyusunan hingga Mei 2025, sejumlah tema penting telah diakomodasi secara substansial. Di antaranya adalah kiprah organisasi-organisasi perempuan pada masa kebangkitan nasional seperti Kongres Perempuan 1928, peran perempuan dalam diplomasi dan militer, perjuangan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga isu kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Sebagai penutup, Fadli Zon menegaskan pentingnya keterbukaan dan partisipasi publik dalam penulisan sejarah nasional. Ia menyatakan kesiapannya untuk berdialog secara langsung dengan berbagai kalangan, termasuk tokoh perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil, guna menyusun narasi sejarah yang adil, reflektif, dan mencerminkan semangat kebersamaan.
“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan. Karena itu, mari kita jadikan sejarah sebagai ruang bersama untuk belajar, membangun empati, dan memperkuat persatuan,” katanya.
0
267
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan