- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Rumah-Rumah yang Berjalan


TS
ayomembaca
Rumah-Rumah yang Berjalan
Rumah sebagai simbol eksistensi manusia, bukan sekadar bangunan fisik. Rumah—dalam makna hakiki—adalah tempat berlindung, identitas, akar sejarah, bahkan makna hidup.
Fenomena —banyaknya rumah kosong, rumah terbengkalai, bahkan dijual karena faktor ekonomi, migrasi, atau urbanisasi di Indonesia—berhadapan kontras dengan kenyataan pahit di Palestina, di mana rumah bukan saja sulit dibangun, tapi juga dihancurkan secara sistematis oleh kekuatan politik, militer, dan sejarah konflik.
Ini dapat di lihat sebagai gejala dari dua hal besar:
1. Ketimpangan global dan lokal
Di Indonesia, rumah kosong terjadi karena spekulasi properti, distribusi tanah yang tidak merata, hingga urban planning yang kurang berpihak pada rakyat kecil. Sementara di Palestina, problemnya adalah hak asasi: hak untuk hidup, untuk tinggal, untuk menetap—yang direbut paksa.
Di sini, rumah menjadi simbol ketidakadilan: ada yang membangun tanpa batas, ada yang bahkan tak diizinkan membangun pondasi.
2. Keterputusan antara rumah sebagai ‘tempat hidup’ dan rumah sebagai ‘komoditas’
Di sistem kapitalisme global, rumah diperlakukan seperti barang dagangan: bisa ditimbun, dibeli sebagai investasi, dibiarkan kosong. Ironisnya, ini terjadi di tengah realitas banyak orang tak mampu membeli atau membangun rumah. Di Palestina, keterputusan ini lebih tragis: rumah bukan lagi soal ekonomi, tapi soal hak eksistensial.
fenomena ini sebagai tanda bahwa dunia hari ini sedang krisis dalam memahami makna "bertempat tinggal" sebagai hak dasar manusia. Rumah bukan lagi tempat pulang—ia jadi alat politik, instrumen pasar, bahkan alat penindasan.
Akhirnya, pertanyaan besar muncul:
Siapa yang berhak atas rumah? Apakah rumah milik siapa yang kuat secara ekonomi dan politik, atau hak asasi semua manusia?
Bagi kita, rumah seringkali dianggap sebagai tempat pulang yang tetap. Namun, realitasnya memperlihatkan wajah yang paradoks. Di Indonesia, pemandangan rumah-rumah kosong yang terbengkalai atau dijual bukanlah hal asing. Mereka berdiri bisu, ditinggalkan karena alasan ekonomi, perpindahan, atau ketidaksesuaian impi dengan kenyataan. Sementara itu, di sudut lain negeri yang sama, impian memiliki atap sendiri masih menjadi perjuangan berat bagi banyak keluarga yang terbentur mahalnya material dan sempitnya lahan. Ironi ini bukan hanya milik Indonesia. Di Jepang, jutaan *akiya* (rumah kosong) dijual semurah Rp15.000, namun biaya renovasinya yang mencapai miliaran rupiah justru membuatnya tak terjangkau bagi yang membutuhkan.
Namun, dalam skala penderitaan yang paling tragis, fenomena kehilangan rumah mencapai puncaknya di Gaza. Di sana, rumah bukan sekadar ditinggalkan, tetapi sengaja dihancurkan sebagai bagian dari mesin perang. Lebih dari 59.000 ton bom telah menghujani wilayah itu, mengubah 70% permukiman menjadi reruntuhan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ia mewakili kehidupan yang tercerabut. Rawya Tamboura, salah satu warga, terpaksa bertahan di satu-satunya kamar yang tersisa dari rumahnya, tanpa listrik atau air bersih, mengakui bahwa otaknya "berhenti merencanakan masa depan." Khader Junaid, pengungsi berkali-kali, menjadi simbol hilangnya kemampuan manusia untuk "berakar" ketika dipaksa terus berpindah. Rekonstruksi? Diperkirakan membutuhkan Rp865 triliun dan 15 tahun hanya untuk membersihkan 50 juta ton puing – sebuah tugas titanik di tengah blokade yang bahkan membuat harga pangan melonjak 450%.
Fenomena ini mengaburkan makna esensial rumah. Dalam banyak budaya tradisional Nusantara, rumah adalah perwujudan jati diri kolektif dan harmoni. Rumah Gadang Minangkabau dengan gonjongnya yang menjulang mencerminkan keseimbangan alam dan manusia, sementara Rumah Panjang Radakng suku Dayak mampu menampung ratusan keluarga, menegaskan nilai kebersamaan. Filosofi ini bertolak belakang dengan realitas modern di Gaza, di mana rumah dijadikan sasaran penghancuran sistematis, atau di tempat lain, direduksi menjadi sekadar komoditas investasi yang spekulatif. Pergeseran ini mengikis hubungan sakral antara manusia dan ruang tinggalnya.
Akar masalahnya bersifat sistemik. Di Gaza, kebijakan blokade membatasi bahkan material bangunan paling dasar, sementara di Indonesia dan Jepang, regulasi seringkali gagal menjembatani kesenjangan antara kepemilikan yang menganggur dan kebutuhan mendesak. Ekonomi eksploitatif memperparah situasi, memicu kenaikan harga yang membuat rumah menjadi mimpi yang semakin jauh, atau seperti di Gaza, memaksa fokus bertahan hidup mengalahkan impian membangun kembali. Trauma psikologis akibat terusir dan kehilangan tempat berlindung, seperti yang dialami warga Gaza, menciptakan luka mendalam yang lebih sulit sembuh daripada fondasi beton.
Lalu, di manakah jalan keluarnya? Solusi harus melampaui sekadar batu bata dan semen. Untuk Gaza, rekonstruksi perlu berbasis pada pemulihan martabat melalui proses partisipatif yang melibatkan warga lokal, didukung pendanaan internasional tanpa syarat politik yang mencekik. Di tempat seperti Indonesia atau menghadapi fenomena *akiya*, model subsidi renovasi untuk keluarga berpenghasilan rendah atau pengembangan *co-housing* berbasis komunitas, seperti semangat Rumah Betang, bisa menjadi alternatif. Kisah Ho Van Lang dari Vietnam, yang lebih nyenyak tidur di alam bebas daripada di kamar berpendingin, mengingatkan kita pada kebenaran sederhana: rumah sejati adalah tempat di mana manusia menemukan ruang untuk sepenuhnya "menjadi diri sendiri," tempat jiwa menemukan keteduhan.
"*Mereka tak hanya menghancurkan batu, tapi juga kami dan identitas kami,*" ujar Asmaa Dwaima, dokter gigi Gaza yang rumahnya dihancurkan dua kali. Ucapan ini menyentuh inti fenomena global tentang rumah. Ia mengungkap betapa rapuh fondasi tempat kita berpijak ketika ketimpangan dan kekerasan struktural merajalela. Rumah-rumah yang ditinggalkan, diperjualbelikan, atau diratakan menjadi debu, adalah cermin dari krisis kemanusiaan yang lebih luas – krisis tentang kepemilikan, identitas, dan hak dasar untuk merasa aman. Dalam reruntuhan Gaza, di balik pintu-pintu kosong *akiya*, atau dalam impian tak terwujud keluarga Indonesia, tersimpan pertanyaan mendesak: bagaimana kita membangun kembali bukan hanya dinding, tetapi juga pengertian bersama tentang apa artinya memiliki tempat untuk pulang.
Fenomena —banyaknya rumah kosong, rumah terbengkalai, bahkan dijual karena faktor ekonomi, migrasi, atau urbanisasi di Indonesia—berhadapan kontras dengan kenyataan pahit di Palestina, di mana rumah bukan saja sulit dibangun, tapi juga dihancurkan secara sistematis oleh kekuatan politik, militer, dan sejarah konflik.
Ini dapat di lihat sebagai gejala dari dua hal besar:
1. Ketimpangan global dan lokal
Di Indonesia, rumah kosong terjadi karena spekulasi properti, distribusi tanah yang tidak merata, hingga urban planning yang kurang berpihak pada rakyat kecil. Sementara di Palestina, problemnya adalah hak asasi: hak untuk hidup, untuk tinggal, untuk menetap—yang direbut paksa.
Di sini, rumah menjadi simbol ketidakadilan: ada yang membangun tanpa batas, ada yang bahkan tak diizinkan membangun pondasi.
2. Keterputusan antara rumah sebagai ‘tempat hidup’ dan rumah sebagai ‘komoditas’
Di sistem kapitalisme global, rumah diperlakukan seperti barang dagangan: bisa ditimbun, dibeli sebagai investasi, dibiarkan kosong. Ironisnya, ini terjadi di tengah realitas banyak orang tak mampu membeli atau membangun rumah. Di Palestina, keterputusan ini lebih tragis: rumah bukan lagi soal ekonomi, tapi soal hak eksistensial.
fenomena ini sebagai tanda bahwa dunia hari ini sedang krisis dalam memahami makna "bertempat tinggal" sebagai hak dasar manusia. Rumah bukan lagi tempat pulang—ia jadi alat politik, instrumen pasar, bahkan alat penindasan.
Akhirnya, pertanyaan besar muncul:
Siapa yang berhak atas rumah? Apakah rumah milik siapa yang kuat secara ekonomi dan politik, atau hak asasi semua manusia?
Bagi kita, rumah seringkali dianggap sebagai tempat pulang yang tetap. Namun, realitasnya memperlihatkan wajah yang paradoks. Di Indonesia, pemandangan rumah-rumah kosong yang terbengkalai atau dijual bukanlah hal asing. Mereka berdiri bisu, ditinggalkan karena alasan ekonomi, perpindahan, atau ketidaksesuaian impi dengan kenyataan. Sementara itu, di sudut lain negeri yang sama, impian memiliki atap sendiri masih menjadi perjuangan berat bagi banyak keluarga yang terbentur mahalnya material dan sempitnya lahan. Ironi ini bukan hanya milik Indonesia. Di Jepang, jutaan *akiya* (rumah kosong) dijual semurah Rp15.000, namun biaya renovasinya yang mencapai miliaran rupiah justru membuatnya tak terjangkau bagi yang membutuhkan.
Namun, dalam skala penderitaan yang paling tragis, fenomena kehilangan rumah mencapai puncaknya di Gaza. Di sana, rumah bukan sekadar ditinggalkan, tetapi sengaja dihancurkan sebagai bagian dari mesin perang. Lebih dari 59.000 ton bom telah menghujani wilayah itu, mengubah 70% permukiman menjadi reruntuhan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ia mewakili kehidupan yang tercerabut. Rawya Tamboura, salah satu warga, terpaksa bertahan di satu-satunya kamar yang tersisa dari rumahnya, tanpa listrik atau air bersih, mengakui bahwa otaknya "berhenti merencanakan masa depan." Khader Junaid, pengungsi berkali-kali, menjadi simbol hilangnya kemampuan manusia untuk "berakar" ketika dipaksa terus berpindah. Rekonstruksi? Diperkirakan membutuhkan Rp865 triliun dan 15 tahun hanya untuk membersihkan 50 juta ton puing – sebuah tugas titanik di tengah blokade yang bahkan membuat harga pangan melonjak 450%.
Fenomena ini mengaburkan makna esensial rumah. Dalam banyak budaya tradisional Nusantara, rumah adalah perwujudan jati diri kolektif dan harmoni. Rumah Gadang Minangkabau dengan gonjongnya yang menjulang mencerminkan keseimbangan alam dan manusia, sementara Rumah Panjang Radakng suku Dayak mampu menampung ratusan keluarga, menegaskan nilai kebersamaan. Filosofi ini bertolak belakang dengan realitas modern di Gaza, di mana rumah dijadikan sasaran penghancuran sistematis, atau di tempat lain, direduksi menjadi sekadar komoditas investasi yang spekulatif. Pergeseran ini mengikis hubungan sakral antara manusia dan ruang tinggalnya.
Akar masalahnya bersifat sistemik. Di Gaza, kebijakan blokade membatasi bahkan material bangunan paling dasar, sementara di Indonesia dan Jepang, regulasi seringkali gagal menjembatani kesenjangan antara kepemilikan yang menganggur dan kebutuhan mendesak. Ekonomi eksploitatif memperparah situasi, memicu kenaikan harga yang membuat rumah menjadi mimpi yang semakin jauh, atau seperti di Gaza, memaksa fokus bertahan hidup mengalahkan impian membangun kembali. Trauma psikologis akibat terusir dan kehilangan tempat berlindung, seperti yang dialami warga Gaza, menciptakan luka mendalam yang lebih sulit sembuh daripada fondasi beton.
Lalu, di manakah jalan keluarnya? Solusi harus melampaui sekadar batu bata dan semen. Untuk Gaza, rekonstruksi perlu berbasis pada pemulihan martabat melalui proses partisipatif yang melibatkan warga lokal, didukung pendanaan internasional tanpa syarat politik yang mencekik. Di tempat seperti Indonesia atau menghadapi fenomena *akiya*, model subsidi renovasi untuk keluarga berpenghasilan rendah atau pengembangan *co-housing* berbasis komunitas, seperti semangat Rumah Betang, bisa menjadi alternatif. Kisah Ho Van Lang dari Vietnam, yang lebih nyenyak tidur di alam bebas daripada di kamar berpendingin, mengingatkan kita pada kebenaran sederhana: rumah sejati adalah tempat di mana manusia menemukan ruang untuk sepenuhnya "menjadi diri sendiri," tempat jiwa menemukan keteduhan.
"*Mereka tak hanya menghancurkan batu, tapi juga kami dan identitas kami,*" ujar Asmaa Dwaima, dokter gigi Gaza yang rumahnya dihancurkan dua kali. Ucapan ini menyentuh inti fenomena global tentang rumah. Ia mengungkap betapa rapuh fondasi tempat kita berpijak ketika ketimpangan dan kekerasan struktural merajalela. Rumah-rumah yang ditinggalkan, diperjualbelikan, atau diratakan menjadi debu, adalah cermin dari krisis kemanusiaan yang lebih luas – krisis tentang kepemilikan, identitas, dan hak dasar untuk merasa aman. Dalam reruntuhan Gaza, di balik pintu-pintu kosong *akiya*, atau dalam impian tak terwujud keluarga Indonesia, tersimpan pertanyaan mendesak: bagaimana kita membangun kembali bukan hanya dinding, tetapi juga pengertian bersama tentang apa artinya memiliki tempat untuk pulang.
0
6
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan