- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
(Cerpen Misteri) OCD: Seni Pembunuhan yang Sempurna


TS
djrahayu
(Cerpen Misteri) OCD: Seni Pembunuhan yang Sempurna
Aku menatap tanganku yang bersarung tangan lateks hitam, setiap jari terasa sempurna, rapi, simetris—seperti segala hal dalam hidupku harusnya. Tapi dunia ini kacau, penuh ketidaksempurnaan, dan itu membuat kulitku gatal. Aku menggaruknya perlahan sambil mengamati korban berikutnya melalui jendela. Perempuan itu tertawa, bahagia, tak sadar bahwa dalam hitungan jam, senyum manisnya akan kurenggut dengan cara paling indah: melalui penderitaan.
Aku sudah merencanakan semuanya hingga detail terkecil. Pisau bedah di meja sudah disusun berderet, dari yang terpendek hingga terpanjang, berjarak tepat dua sentimeter. Jarum dan benang sutra tertata rapi di nampan stainless steel, bersinar di bawah lampu operasi yang kusinari redup. Aku ingin ia tetap sadar ketika kulitnya kukupas perlahan, ketika kuku-kukunya kucabut satu per satu. Aku ingin melihat matanya yang melebar, mendengar jeritannya yang pecah, merasakan getar ketakutan yang mengalir dalam nadinya.
"Kau pikir hidup ini adil?" bisikku pada bayangannya di kaca, sambil menekan pisau ke telapak tanganku sendiri, cukup untuk meninggalkan bekas tanpa meneteskan darah. Tidak. Hidup tidak adil. Tapi aku—aku bisa membuatnya lebih seimbang. Satu demi satu, mereka akan merasakan apa yang kurasakan: kekosongan yang hanya bisa terisi dengan teriakan mereka, keputusasaan yang hanya bisa kurenungi dengan darah mereka. Dan malam ini, perempuan itu akan menjadi mahakaryaku yang keempat.
Aku mengikuti langkahnya dari jauh, setiap detak jantungnya seperti musik yang mengalun pelan di telingaku. Dia berhenti di depan sebuah kafe, memesan sesuatu dengan wajah cerah—seolah dunia layak untuk disenyumi. Aku menggigit bibir sampai berdarah, menikmati rasa besi yang mengalir di lidah. Tidak lama lagi, kau akan belajar. Kafe itu terlalu ramai, tapi aku sabar. Aku bisa menunggu. Aku selalu bisa.
Dia berjalan pulang melewati lorong sempit, langkahnya ringan, masih terbuai oleh kebahagiaan palsu. Napasku memburu saat aku mengejarnya dalam diam, bayanganku menyatu dengan kegelapan. Tiba-tiba, dia berbalik—seolah merasakan kehadiranku. Untuk sesaat, matanya bertemu dengan mataku. Ada sesuatu yang menggeliat di dadaku: takutkah itu? Antisipasi? Tapi dia hanya menghela napas dan melanjutkan jalan. Aku tersenyum. Dia bahkan tidak tahu bahwa itu adalah langkah terakhirnya sebagai manusia yang utuh.
Begitu sampai di tempat yang sepi, aku bergerak cepat. Tanganku menutup mulutnya, tubuhnya menjerit tanpa suara. Aku membisikkan mantra-mantra kesakitan di telinganya sambil menikmati kehangatan air matanya yang mengalir di lenganku.
"Kau pikir bahagia itu hakmu?" desisku sambil menyeretnya ke dalam mobil. Bau ketakutan darinya memabukkan. Aku sudah menyiapkan ruang khusus—tempat di mana semua jeritannya akan menjadi lagu pengantar tidurku. Dan ini baru permulaan.
Ruang bawah tanah itu dingin, tembok-temboknya dipenuhi catatan perhitungan matematis—berapa milimeter jarak antara satu sayatan dengan yang lain, berapa detik rata-rata seseorang bisa bertahan sebelum pingsan karena rasa sakit. Aku mengikatnya di kursi besi, tali-telanjang tepat di atas urat-urat yang nantinya akan kurobek. Matanya melotot liar, pupilnya membesar seperti binatang buruan. Sempurna. Aku mengambil pisau pertama, memutarnya di antara jemariku, menikmati pantulan cahaya di ujung logam yang tajam.
"Aku akan membuatmu mengerti arti ketidaksempurnaan," gumamku.
Sayatan pertama selalu yang paling istimewa—kulitnya meregang, lalu pecah, mengeluarkan tetesan pertama yang perlahan menjadi aliran. Dia menjerit, tapi suaranya teredam oleh kain yang kusumpal dalam mulutnya. Aku mencatat setiap kedutan ototnya, setiap helaan napas yang tersengal, setiap denyut nadi di lehernya yang berdetak semakin kencang. Aku tersenyum. Ini baru satu sayatan. Ada begitu banyak lagi yang harus kuselesaikan. Aku mengambil jarum panjang dan menusukkannya perlahan di bawah kukunya. Tubuhnya menggeliat, matanya memohon. Tapi permohonan sia-sia? Aku justru semakin bersemangat.
Empat jam berlalu, dan ruangan itu kini berbau logam, keringat, serta ketakutan yang telah berubah menjadi keputusasaan. Aku mundur selangkah, mengamati karyaku. Dia masih bernafas—terengah-engah, tersedu-sedu—tapi aku bisa melihat cahaya di matanya perlahan padam. Bagus. Aku membersihkan alat-alatku satu per satu, merapikannya kembali ke dalam kotak dengan presisi yang sempurna.
"Besok," bisikku sambil menepuk pipinya yang basah oleh air mata dan darah, "kita lanjutkan lagi. Aku janji akan membuatmu merasakan lebih." Dan sebelum aku mematikan lampu, kulihat bibirnya bergetar membentuk sebuah kata:
"Tolong..."
Tapi kita berdua tahu, tidak ada pertolongan untuk yang sudah terjebak dalam neraka buatanku.
---
Esok harinya, aku kembali dengan segelas air untuknya—hanya untuk memperpanjang permainan. Matanya yang bengkak menyipit saat kusentuh dagunya, kuku-kukuku meninggalkan bekas merah di kulitnya yang pucat.
"Kau pikir ini sudah sakit?" Aku tertawa rendah sambil mengulurkan tanganku ke meja, memilih bor listrik kecil. Suaranya mendengung seperti nyamuk rakus, dan tubuhnya langsung menegang. "Aku akan memberimu lubang-lubang baru... tempat untuk rasa sakit yang lebih berbunyi."
Suara jeritannya pecah ketika logam mulai menggerogoti tulang rusuknya. Aku menyipitkan mata, menikmati setiap getaran yang merambat melalui sarung tanganku. Darah menyembur seperti air mancur kecil, menghiasi lantai beton dengan pola-pola acak yang sangat tidak sempurna. Aku menghela napas kesal, lalu segera menyesuaikan posisi bor untuk lubang berikutnya—tepat tiga sentimeter dari yang pertama. Kali ini, dia tidak menjerit. Hanya erangan panjang, seperti binatang yang tahu ajalnya sudah dekat. Tapi aku belum selesai. Oh, belum.
----
Malam kedua berakhir dengan dia menggantung lemas di ikatannya, napasnya tersengal-sengal seperti mesin rusak. Aku duduk di depannya, menikmati sepotong kue coklat sambil mempelajari setiap kedutan ototnya yang kejang-kejang.
"Kau tahu," aku berbicara dengan mulut penuh, "sebenarnya aku benci melihat sesuatu setengah jadi." Aku berdiri, mengambil kapak dari rak. "Jadi mari kita selesaikan dengan gaya."
Di saat terakhir, matanya yang hampir pudar itu tiba-tiba melebar—apakah dia melihat bayangan ketiga di sudut ruangan? Tapi sudah terlambat. Kapak turun dengan sempurna, dan untuk pertama kalinya sejak mulai, sesuatu di dunia ini terasa pas.
Kepalanya terpelanting ke lantai dengan bunyi dunk yang memuaskan, matanya masih terbuka lebar—bekas teror terakhir membeku di dalamnya. Aku memungutnya perlahan, mengamati setiap detail: bulu mata yang masih basah, garis rahang yang kini mulai kaku, lidah yang sedikit terjulur seperti mengejek nasibnya sendiri. "Akhirnya," bisikku sambil menaruhnya di rak khusus di antara stoples-stoples lain, "kau menjadi sempurna."
Butuh waktu tiga jam untuk membersihkan semua kekacauan, menata kembali setiap alat di tempatnya, memastikan tidak ada satu pun noda yang tersisa. Bau pembersih lantai yang keras bercampur dengan aroma besi tua memenuhi ruangan. Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati kepuasan yang merayap di tulang-tulangku. Tapi kemudian—sesuatu mengganggu. Sebuah noda kecil di dinding, bentuknya tidak simetris. Aku menggosoknya dengan sabar sampai jemariku lecet. Masih ada. Masih ada! Aku mulai menggigil, kuku-kuku mencakar dinding itu sampai berdarah.
Di tengah amukanku, tiba-tiba aku mendengar sesuatu. Sebuah suara... tertawa? Aku berbalik dengan cepat, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya mayat tanpa kepala di kursi, dan stoples-stoples yang berjejer rapi. Tapi di antara mereka, apakah bayangan itu bergerak? Aku menyipitkan mata—lalu tersenyum. Oh. Ternyata aku tidak sendiri.
"Kau lapar juga?" tanyaku sambil mengangkat kapak lagi. Tapi kali ini, kearah mana aku harus memukul? Ruangan itu penuh dengan bisikan sekarang, dan untuk pertama kalinya, kulitku merinding bukan karena antisipasi—tapi karena rasa lapar yang jauh lebih dalam.
(TAMAT)
(TAMAT)
0
16
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan