- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Lelaki di Bawah Hujan


TS
yantosau
Lelaki di Bawah Hujan

Langit menggantung muram di atas kota kecil yang selalu tenggelam dalam kesepian setelah pukul delapan malam. Jalanan basah, lampu-lampu jalan bergetar karena guyuran hujan, dan aroma tanah bercampur aspal menguar ke udara. Di ujung trotoar yang sepi, seorang lelaki tua berdiri sendiri, mengenakan jas hujan abu-abu yang telah memudar warnanya. Di tangannya tergenggam sebuket bunga lili putih yang tampak kontras dengan malam yang gelap.
Namanya Pak Wiryo. Dulu ia adalah seorang guru Bahasa Indonesia yang dihormati di SMA negeri satu-satunya di kota itu. Rambutnya kini hampir seluruhnya putih, tubuhnya kurus, dan suaranya kerap bergetar saat berbicara. Tapi matanya masih menyimpan bara yang sama—hangat, tajam, dan penuh kerinduan.
Setiap malam Jumat, Pak Wiryo akan berdiri di tempat itu. Tepat di depan halte tua dekat Taman Beringin, menunggu sesuatu—atau seseorang—yang tak pernah datang.
Orang-orang menyebutnya gila. Anak-anak menirukan gaya jalannya, dan remaja kerap memotretnya diam-diam untuk dipajang di media sosial dengan caption yang mencibir. Tapi Pak Wiryo tak pernah marah. Tak pernah membalas. Ia hanya tersenyum, lalu kembali menatap ke arah jalan.
Semua berawal lima belas tahun yang lalu, saat istrinya, Bu Retno, pergi ke kota untuk menghadiri reuni kuliahnya. Ia berjanji akan pulang malam itu juga, dan Pak Wiryo, seperti biasa, menyiapkan makan malam kesukaan mereka: sop buntut dan teh manis panas.
Tapi Bu Retno tak pernah pulang.
Mobil travel yang membawanya mengalami kecelakaan di jalan tol, tergelincir karena hujan lebat dan menghantam pembatas jalan. Semua penumpangnya selamat—kecuali satu. Tubuh Bu Retno ditemukan keesokan harinya dalam posisi masih memeluk buket bunga lili yang ia bawa dari pasar pagi sebelum berangkat.
Sejak malam itu, Pak Wiryo berubah. Ia tak lagi mengajar, tak lagi menghadiri pertemuan RT, tak lagi menulis puisi-puisi di majalah sekolah. Ia hanya punya satu kebiasaan yang tersisa: berdiri di halte itu dengan bunga lili di tangan, setiap malam Jumat, di jam yang sama, di musim apapun.
Ada yang bilang Pak Wiryo percaya bahwa istrinya akan kembali menemuinya di tempat itu. Ada yang menyebut ia menunggu reinkarnasi dari Bu Retno, yang akan muncul dalam wujud orang asing yang tak dikenalnya. Tapi yang lebih menyedihkan adalah—tak ada yang benar-benar tahu isi hatinya.
Suatu malam, seorang gadis kecil bernama Kirana, cucu pemilik warung kopi dekat taman, memberanikan diri mendekat. Ia melihat Pak Wiryo menggigil kedinginan, dan memberinya secangkir teh hangat.
"Pak, kenapa Bapak selalu bawa bunga lili di sini?"
Pak Wiryo menatap Kirana dengan lembut. "Karena dia suka bunga lili. Kalau dia datang lagi dan aku tidak bawa, nanti dia kecewa."
Kirana bingung. "Siapa, Pak?"
"Istriku."
"Oh. Tapi… kan katanya beliau sudah di surga."
Pak Wiryo tersenyum, menatap hujan yang masih turun perlahan. "Surga itu luas, Nak. Siapa tahu… kadang-kadang dia turun sebentar, untuk melihat apakah aku masih menunggunya."
Sejak malam itu, Kirana tak lagi menganggap Pak Wiryo gila. Setiap malam Jumat, ia menyusul ke halte dan menemani Pak Wiryo berdiri. Terkadang mereka tidak bicara apa-apa. Hanya diam, memandangi hujan dan mendengarkan kota yang perlahan tertidur.
Lima tahun kemudian, Pak Wiryo tak lagi datang ke halte.
Orang-orang bertanya-tanya, tapi hanya Kirana yang tahu jawabannya. Di meja kecil di dalam kamar Pak Wiryo, ia menemukan surat terakhir bertuliskan tangan:
*"Kepada siapa pun yang membaca surat ini…*
*Jangan tertawakan orang yang menunggu. Karena menunggu adalah bentuk cinta paling sunyi, yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang pernah kehilangan.*
*Bunga lili terakhir ini… kuberikan pada hujan."*
---


intanasara memberi reputasi
1
16
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan