Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Setangkai Bunga di Jendela Kosong
Setangkai Bunga di Jendela Kosong

Di gang sempit Jakarta yang ramai dan berisik, berdiri sebuah rumah kecil dengan jendela tua menghadap jalan. Di jendela itu, selalu ada satu pot bunga berisi mawar merah. Tidak pernah lebih, tidak pernah kurang. Setiap pagi, anak-anak sekolah lewat sambil menoleh ke arah jendela itu, berharap melihat sang pemiliknya yang misterius.

Adalah **Ibu Wina**, perempuan paruh baya yang tinggal seorang diri di rumah itu. Sejak suaminya meninggal akibat kecelakaan kerja di pelabuhan dua puluh tahun lalu, dan anak semata wayangnya pergi merantau ke luar negeri, hidupnya seperti diam. Ia tak pernah keluar rumah kecuali untuk membeli bahan pokok. Namun, pot bunga itu tak pernah absen. Selalu terawat. Selalu berbunga.

Warga kampung menjulukinya "Peri Mawar". Bukan karena ia cantik atau ramah, tetapi karena kehadirannya seperti legenda—ada tapi tidak benar-benar terlihat.

---

Sementara itu, di sisi lain kota, seorang pemuda bernama **Raka** baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai sopir ojek online. Motornya dicuri, dan ia tak punya cukup uang untuk menyewa kos. Ia lalu berjalan pulang ke rumah neneknya di gang tempat Ibu Wina tinggal. Rumah kecil di pojokan yang telah lama kosong sejak neneknya wafat.

Di hari pertamanya kembali, Raka duduk di beranda, memperhatikan orang-orang lewat. Pandangannya tertuju pada jendela dengan pot bunga mawar. Ia tak ingat ada hal seperti itu saat kecil. Dan anehnya, saat ia menatap mawar itu, hatinya terasa hangat. Tenang. Seperti sedang diajak bicara diam-diam.

Hari-hari berlalu. Raka mencoba peruntungan baru sebagai penjual kopi keliling dengan sepeda pinjaman. Tak banyak untung, tapi cukup untuk makan. Setiap pagi, ia selalu melintasi rumah Ibu Wina, menyapa jendela dengan senyuman kecil. Tanpa sadar, itu menjadi ritualnya.

Suatu hari, saat hujan deras, Raka melihat pot mawar itu terjatuh. Tanpa pikir panjang, ia berlari menghampiri, memungut pecahan pot, dan melindungi mawar itu dengan jaketnya. Saat ia berdiri, pintu rumah terbuka.

Keluar seorang wanita tua dengan rambut panjang beruban, mengenakan sweater rajutan abu-abu. Wajahnya lelah, tapi matanya lembut.

“Terima kasih,” ucapnya lirih.

Itulah kali pertama Ibu Wina bicara pada orang luar setelah belasan tahun.

---

Hari-hari berikutnya, hubungan mereka perlahan tumbuh. Raka membantu membenahi taman kecil milik Ibu Wina. Ia mendengarkan cerita masa muda sang ibu, tentang suaminya yang penyair, dan anak laki-laki yang ia relakan merantau demi masa depan.

“Saya menunggu dia pulang setiap hari,” ucapnya sambil menatap mawar yang kembali mekar. “Tapi ia tak pernah kembali, bahkan tak mengirim surat sejak lima tahun terakhir. Pot bunga ini… semacam harapan yang tak ingin saya buang.”

Raka diam. Hatinya menyesak. Ia tahu rasanya ditinggal dan dilupakan.

---

Suatu malam, ketika Raka sedang menyiapkan termos kopi, ia menemukan amplop tua dalam kardus peninggalan neneknya. Di atasnya tertulis dengan tulisan rapi:
*"Untuk Ibu Wina, jika suatu hari cucuku kembali."*

Raka membaca isi surat itu dengan mata berkaca-kaca. Ternyata, anak lelaki Ibu Wina pernah mengirim surat ke rumah nenek Raka, menitipkan kabar dan uang bulanan, tapi sang nenek tak pernah menyampaikannya karena merasa "tak ingin memberi harapan palsu".

Dalam surat itu, anaknya menulis:

*"Ma, aku baik-baik saja. Aku kerja keras di negeri orang. Aku akan pulang kalau sudah bisa bangun rumah untuk Mama di tempat yang lebih baik. Maaf aku belum bisa menghubungi lebih sering. Tapi percayalah, aku rindu Mama setiap hari."*

---

Esoknya, Raka datang ke rumah Ibu Wina. Ia menyerahkan surat itu dengan tangan gemetar. Sang ibu membaca, lalu menangis lama. Tapi kali ini, bukan air mata luka, melainkan kelegaan.

Sejak hari itu, pot bunga di jendela tidak hanya berisi mawar merah. Raka membantu menanam anggrek, melati, dan bunga matahari kecil. Jendela itu kini menjadi warna kehidupan bagi banyak orang yang lewat.

Dan Ibu Wina? Ia kembali hidup. Tak menunggu dalam kesepian, tapi dengan harapan baru.

Bahkan, suatu hari di bulan Desember, seorang pria paruh baya dengan koper besar berdiri di depan rumah itu. Ia menatap jendela, lalu mengetuk pintu dengan tangan gemetar.

Ketika pintu dibuka, hanya ada satu kata yang terucap:

“Ma…”

Dan bunga di jendela bergoyang pelan, seperti ikut tersenyum.

---
intanasaraAvatar border
intanasara memberi reputasi
1
12
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan