Kaskus

Entertainment

jihadabdul28Avatar border
TS
jihadabdul28
Empat Pulau, Tinta Kemendagri, dan Penghinaan Terhadap Sejarah Aceh"
Empat Pulau, Tinta Kemendagri, dan Penghinaan Terhadap Sejarah Aceh"
Empat pulau yang sunyi itu—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—tak pernah menduga bahwa nasib mereka akan diubah oleh selembar surat dari Kemendagri. Pulau-pulau ini bukan wilayah abu-abu. Mereka telah menjadi bagian dari Aceh sejak zaman sebelum republik ini menyusun peta.

Lalu muncullah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.2.2-2138 Tahun 2025, ditandatangani tanggal 25 April 2025. Tiba-tiba saja, pulau-pulau itu dipindahkan ke peta Sumatera Utara, lebih tepatnya ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Bukan lewat perang, bukan lewat musyawarah, tapi lewat peta kering dan lembar formal yang tidak pernah merasakan angin laut di ujung barat Sumatra.

Kemendagri menyebut ini hasil “verifikasi teknis” dan klaim bahwa Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi sudah menetapkan posisi itu sejak 2008. Seolah-olah urusan sejarah dan kehormatan bisa dihapus dengan sekali klik koordinat.

Ketika Administrasi Menjadi Mesin Perampasan

Aceh tak diberi tahu, apalagi diajak bicara. Tak ada pertemuan rakyat. Tak ada kunjungan ke pulau. Hanya keputusan top-down dari kantor pusat. Ketika Gubernur Aceh mengirimkan nota protes, jawabannya: akan dikaji ulang. Akan dibahas lagi. Akan didiskusikan.

Bahkan Jusuf Kalla—tokoh kunci perdamaian Aceh—menyebut keputusan ini cacat formil, karena melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Tapi Kemendagri bergeming, berlindung di balik rapat teknis dan aturan internal.

Jika perubahan batas wilayah provinsi bisa terjadi hanya lewat keputusan menteri, maka apa bedanya negara ini dengan perusahaan logistik yang keliru mencetak label pengiriman?

Dari Lemari Dingin Kekuasaan

Keputusan itu bukan hanya tentang batas. Ini tentang martabat Aceh yang diinjak secara halus tapi brutal. Empat pulau itu kecil di mata satelit, tapi besar dalam sejarah dan identitas. Nama-namanya bukan karangan tim survei, tapi warisan turun-temurun dari masyarakat pesisir.

Kemendagri telah bertindak seperti penjajah modern, bukan sebagai fasilitator keadilan. Ketika tanah diambil tanpa suara rakyat, ketika sejarah disingkirkan oleh citra raster digital, maka republik ini sedang melatih dirinya menjadi mesin birokrasi yang kehilangan nurani.

Gonzo dari Tanah Rencong

Apa yang terjadi bukan sekadar sengketa batas. Ini adalah pengingkaran terhadap sejarah, terhadap MoU Helsinki, terhadap dokumen peta 1992 yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh, Mendagri, dan Pangdam Iskandar Muda.

Apa yang akan dikaji ulang tanggal 17 Juni nanti oleh tim teknis? Apa yang bisa dikembalikan jika martabat sudah dihancurkan lebih dulu?

Empat pulau telah dicabut dari akar sejarahnya, dilempar ke peta baru oleh tangan-tangan dingin di balik keputusan kementerian. Dan kini rakyat Aceh dipaksa diam, menunggu keadilan dari meja yang tak pernah mengundang mereka duduk.

Jika negara ini mengizinkan sebuah keputusan menteri merobek sejarah dan batas wilayah yang telah diatur dalam undang-undang, maka tidak ada pulau yang benar-benar aman, dan tidak ada martabat yang benar-benar dihormati. Hari ini Aceh. Besok siapa?

0
31
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan