- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Warung Kopi Tepi Rel


TS
yantosau
Warung Kopi Tepi Rel

Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya terbit, seorang pria tua bernama Pak Gino sudah duduk di kursi kayu tuanya, menunggu air di ceret mendidih. Warung kecilnya — Warung Kopi Tepi Rel — berdiri tak jauh dari rel kereta api yang membelah Desa Kertanegara. Ukurannya hanya sekitar 3x4 meter, berdinding triplek yang mulai lapuk, dengan atap seng yang berisik jika hujan turun.
Namun meski sederhana, warung itu punya sesuatu yang tak dimiliki warung-warung lain di desa: cerita.
Orang-orang datang ke sana bukan hanya untuk menyeruput kopi hitam panas atau mencocol gorengan ke dalam sambal kacang. Mereka datang untuk bercerita. Tentang rindu. Tentang mimpi yang patah. Tentang anak yang tak pulang. Tentang cinta yang tak sempat diucapkan.
Pak Gino bukan penasihat, bukan pula orang bijak. Ia hanya mendengar. Kadang memberi satu-dua kalimat. Kadang hanya mengangguk sambil mengisi kembali cangkir tamunya.
Suatu pagi, seorang pemuda asing datang. Wajahnya lelah, matanya merah seperti kurang tidur berhari-hari. Ia membawa ransel besar dan mengenakan jaket sobek di bagian siku. Namanya Rangga.
Tanpa banyak bicara, Rangga memesan kopi dan duduk menghadap rel. Mereka hanya diam beberapa menit, hingga suara kereta pertama lewat — menggetarkan gelas dan membuat dinding warung bergetar halus.
“Bapak percaya takdir?” tanya Rangga tiba-tiba.
Pak Gino mengangkat alis. “Kadang iya. Kadang tidak. Tergantung hari.”
Rangga tertawa kecil, suara yang nyaris seperti helaan napas.
“Aku lari dari Jakarta,” katanya. “Gagal buka usaha. Uang habis. Pacar pergi. Orang tua kecewa.”
Pak Gino tak langsung menjawab. Ia menuangkan kopi tambahan ke gelas Rangga.
“Kereta itu,” ujarnya sambil menunjuk rel, “tak pernah bertanya ke mana ia pergi. Ia hanya berjalan di jalur yang tersedia. Tapi kau tahu bedanya manusia dan kereta?”
Rangga menggeleng.
“Manusia bisa turun dan ganti arah. Kereta tidak.”
Rangga menatap pria tua itu, lama.
Sejak hari itu, Rangga menjadi pengunjung tetap. Ia bantu bersih-bersih warung, mengantarkan kopi ke pelanggan, dan memperbaiki papan-papan kayu yang sudah rapuh. Ia mulai tersenyum, mulai tertawa, dan mulai bercerita — bukan tentang luka, tapi tentang cita-cita barunya: membuka kedai kopi keliling.
“Bukan seperti warung kopi fancy, ya Pak,” katanya suatu sore, “tapi yang dekat dengan orang. Di terminal. Di pinggir sawah. Di tempat yang tidak ada sinyal.”
Pak Gino hanya tersenyum sambil mengaduk kopinya. Dalam hati ia tahu: pemuda itu sedang sembuh.
Setahun berlalu.
Warung Kopi Tepi Rel kini lebih rapi. Dindingnya diganti dengan papan baru. Ada rak kecil tempat pelanggan bisa meninggalkan surat, buku puisi, atau foto lama. Di bagian pojok, ada papan tulis bertuliskan:
“Hari ini kamu kuat. Esok kamu lebih kuat lagi. – R”
Dan Pak Gino? Ia masih di sana, mengisi cangkir demi cangkir. Tapi kini ia tak sendiri.
Rangga akhirnya membuka kedai kopinya. Bukan di kota, bukan di mall. Tapi di atas becak motor tua yang ia modifikasi sendiri. Ia menamainya “Kopi Lintasan”, dan ia keliling dari desa ke desa — berhenti di tempat yang jauh dari keramaian, mendengarkan cerita orang-orang, seperti yang dulu dilakukan Pak Gino padanya.
Suatu hari, ia kembali ke Warung Kopi Tepi Rel, membawa dua kantong besar berisi biji kopi yang ia kumpulkan sendiri dari para petani lokal.
“Ini untuk Bapak,” katanya. “Biar warung ini terus hidup. Terus jadi rumah untuk orang-orang lelah.”
Pak Gino menepuk bahunya pelan.
“Warung ini sudah jadi rumahmu juga, Nak.”
Di kejauhan, suara kereta kembali terdengar. Kali ini, tak lagi membawa getaran semata. Tapi juga kenangan, pelajaran, dan harapan baru.


intanasara memberi reputasi
1
17
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan