

TS
intanasara
S E M E S T A

Jasadku lesap ditelan lautan.
Ruhku bersemayam di dalam legam yang benderang.
Mewangi, membumi.
Lagi-lagi romansa Soleram;
Yang membuat bumi bersabda tentang siapa yang lebih setia;
Tentang siapa yang lebih sudi.
Tentang ribuan cangkir yang mendharma bakti.
Tentang jiwaku yang mengabdi pada tafsir.
Tuhan, aku rindu.
Bicaralah; walau hanya dalam sepenggal interval.
Katakanlah; bahwa Kau sangat, sangat mencintaku.
Aku yang tua dan lapuk.
Aku yang bebal dan berkarat.
Aku yang tak ada habisnya mempertanyakan-Mu.
Aku.
Mimpi yang kuemban selama ribuan tahun,
Mewujud wiyata di dalam jaman.
Merambah elegi hening di dalam batas.
Terbit dalam sinaran yang Esa.
Air mata rebah menuju relung belulang.
Menangisi kehidupan,
Memahami kematian.
Anomali yang biadab.
Ketiadaan antagonis di dalam naskah,
Ialah sebuah karsa yang beralasan.
Semesta berjejalan;
Mengiringi nafas yang membubung ke atap.
Bertebaran;
Hampir tak bersuara.
Tubuhku berlabuh di bawah gemintang.
Tunggal di dalam singularitas.
Kusaksikan kekasih di dalam satu suryakanta.
Jelmaan para niskala.
Kupulangkan nyawa ini,
Bersama-sama dengan sebuah ampunan.
Dan tiada yang lebih adiguna;
Selain daripada mengampuni diri sendiri.
Ruhku bersemayam di dalam legam yang benderang.
Mewangi, membumi.
Lagi-lagi romansa Soleram;
Yang membuat bumi bersabda tentang siapa yang lebih setia;
Tentang siapa yang lebih sudi.
Tentang ribuan cangkir yang mendharma bakti.
Tentang jiwaku yang mengabdi pada tafsir.
Tuhan, aku rindu.
Bicaralah; walau hanya dalam sepenggal interval.
Katakanlah; bahwa Kau sangat, sangat mencintaku.
Aku yang tua dan lapuk.
Aku yang bebal dan berkarat.
Aku yang tak ada habisnya mempertanyakan-Mu.
Aku.
Mimpi yang kuemban selama ribuan tahun,
Mewujud wiyata di dalam jaman.
Merambah elegi hening di dalam batas.
Terbit dalam sinaran yang Esa.
Air mata rebah menuju relung belulang.
Menangisi kehidupan,
Memahami kematian.
Anomali yang biadab.
Ketiadaan antagonis di dalam naskah,
Ialah sebuah karsa yang beralasan.
Semesta berjejalan;
Mengiringi nafas yang membubung ke atap.
Bertebaran;
Hampir tak bersuara.
Tubuhku berlabuh di bawah gemintang.
Tunggal di dalam singularitas.
Kusaksikan kekasih di dalam satu suryakanta.
Jelmaan para niskala.
Kupulangkan nyawa ini,
Bersama-sama dengan sebuah ampunan.
Dan tiada yang lebih adiguna;
Selain daripada mengampuni diri sendiri.

Kawanan jenggala merambat lusuh,
Merasuki denyut nadi yang masih membiru.
Aku telah sampai pada sebuah babak.
Pertemuan yang sangat kutunggu-tunggu.
Merasuki denyut nadi yang masih membiru.
Aku telah sampai pada sebuah babak.
Pertemuan yang sangat kutunggu-tunggu.
Ialah jiwa yang gemerlap dan bersahutan.
Kau sejati dan membahana.
Ragamu laksana matahari terbit.
Kusimpan semua tembangmu di dalam remah yang berkarat.
Kau sejati dan membahana.
Ragamu laksana matahari terbit.
Kusimpan semua tembangmu di dalam remah yang berkarat.
Puspa merasuk ke dalam lembut yang meredup.
Hatiku berdegup;
Yakni bumi dan entitas surgawi.
Yakni laut dan jumantara.
Hatiku berdegup;
Yakni bumi dan entitas surgawi.
Yakni laut dan jumantara.
Jantungku mengarungi setiap koordinatmu.
Kau manusia.
Aku berbeda.
Kau yang sangat kunanti.
Kau manusia.
Aku berbeda.
Kau yang sangat kunanti.
Rambut-Mu singgah di atas air yang mengelupas.
Kau bubuhkan cengkrama ke dalam sebuah panggung.
Segalanya menjadi terasa sangat canggung.
Seperti meraki ke dalam kata dan makna.
Kau bubuhkan cengkrama ke dalam sebuah panggung.
Segalanya menjadi terasa sangat canggung.
Seperti meraki ke dalam kata dan makna.
Selembar ikhtisar jenazah berlayar.
Kurayakan kematianmu dalam gempita yang senyap.
Ribuan mata dewata merona di dalam gelora.
Kau; kekasih yang singgah di Utopia.
Kurayakan kematianmu dalam gempita yang senyap.
Ribuan mata dewata merona di dalam gelora.
Kau; kekasih yang singgah di Utopia.

*dilarang keras menyalin atau menyebarkan tanpa seijin TS.
terima kasih, wahai makhluk.
terima kasih, wahai makhluk.
Diubah oleh intanasara 11-06-2025 07:24
0
13
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan