- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Aroma Kenangan


TS
yantosau
Aroma Kenangan

Di sebuah kota kecil yang tenang bernama Granasari, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Ia tinggal di atas toko kecil milik almarhum ibunya yang dahulu terkenal sebagai satu-satunya toko parfum racikan di kota itu — *“Wangi Setia”*. Sejak kepergian ibunya dua tahun lalu, toko itu terkunci rapat, menyisakan hanya debu dan botol-botol kaca yang kosong serta sebagian yang masih berisi cairan warna-warni, sisa-sisa kejayaan masa lalu.
Raka bukanlah seorang peracik parfum. Ia bekerja sebagai penjaga toko elektronik di pusat kota dan menganggap parfum hanyalah cairan harum yang menyenangkan tapi tak punya makna lebih. Namun pada suatu hari, saat membereskan loteng rumah karena atapnya bocor, ia menemukan sebuah buku catatan tua bersampul cokelat dengan goresan tinta emas bertuliskan:
**“Formula Kenangan – oleh Amina”**
Itu adalah tulisan tangan ibunya.
Dengan rasa penasaran, ia membuka buku itu. Di dalamnya terdapat puluhan resep parfum dengan nama-nama aneh dan puitis: **“Hujan Pertama di Desember”**, **“Bayangan Kekasih Lama”**, **“Langit yang Tidak Jadi Pergi”**. Setiap formula dilengkapi catatan kecil, kadang berisi cerita pendek, kenangan, atau bahkan emosi yang terikat dengan aroma itu.
Salah satu halaman membuat Raka terdiam lama. Halaman itu berjudul **“Aroma Ayah”**, dan di bawahnya tertulis:
> “Aroma yang ia kenakan saat melangkah pergi untuk terakhir kalinya. Bergamot yang tajam, bercampur dengan tembakau lembut dan sedikit vetiver. Ia tak kembali, tapi wanginya tak pernah benar-benar hilang.”
Raka menutup buku itu pelan. Ia hampir tidak mengingat ayahnya, hanya samar-samar wangi pakaian yang tertinggal di lemari, yang kini telah hilang dimakan waktu.
Keesokan harinya, sesuatu yang tak biasa menggerakkan Raka. Ia membuka kembali toko ibunya, membersihkannya perlahan. Ia mulai membaca dan mempelajari buku catatan itu, mencoba memahami formula, rasio, bahkan mencium satu per satu minyak esensial yang masih tersisa di rak — lavender yang menenangkan, cendana yang hangat, jeruk keprok yang cerah.
Ia memulai dari parfum yang paling sederhana: **“Pagi di Balkon”**, campuran green tea, citrus, dan white musk. Ia meneteskan bahan-bahan itu dalam botol kecil, mengocoknya perlahan, dan menyemprotkannya ke selembar kertas. Aroma yang muncul begitu akrab — seperti pagi-pagi di rumah itu, saat ibunya masih membuat teh dan menyiram bunga mawar di halaman.
Hari demi hari, Raka belajar meracik ulang parfum-parfum ibunya. Setiap aroma membangkitkan kenangan: suara tawa, pelukan hangat, senyum malu-malu ibunya saat berbicara tentang cinta pertama, atau suara hujan membasahi genting saat listrik mati.
Yang paling sulit baginya adalah membuat ulang parfum berjudul **“Aroma Ayah”**. Ia mencoba tiga kali, lima kali, tujuh kali. Selalu ada yang kurang. Entah terlalu manis, terlalu pahit, atau terlalu asing.
Namun, pada percobaan ke-12, ia memutuskan menambahkan satu tetes ekstrak kulit kayu manis — bahan yang tidak tercantum dalam formula, tapi tiba-tiba terlintas dalam benaknya karena mengingat suara tawa ayahnya saat membacakan dongeng. Ia mencium hasil akhirnya — dan mendadak, sesuatu dalam dadanya bergemuruh. Itu dia. Itu aroma yang mengingatkannya pada bahu seseorang yang memeluknya hangat saat ia berusia lima tahun.
Air mata jatuh di pipinya. Ia menyadari bahwa parfum bukan hanya soal aroma. Ia adalah jembatan waktu, penghubung jiwa, dan penyimpan kenangan paling jujur.
---
Beberapa bulan kemudian, “Wangi Setia” dibuka kembali — kali ini oleh Raka. Tapi bukan sekadar menjual parfum. Ia membuat pengalaman baru: pelanggan datang dan menceritakan kenangan yang paling ingin mereka abadikan — lalu Raka akan meracik aroma yang paling mendekati ingatan itu.
Ada seorang nenek yang ingin mencium kembali aroma laut dan parfum suaminya yang telah tiada. Ada seorang gadis kecil yang ingin mengingat ibunya yang selalu mengenakan parfum mawar dan vanila saat menjemputnya dari sekolah. Ada pula seorang pria muda yang ingin menciptakan aroma untuk lamaran pernikahan yang tak terlupakan.
Bisnis itu tak pernah menjadi besar, tapi selalu penuh. Karena setiap botol parfum yang keluar dari *Wangi Setia* bukan hanya botol biasa — melainkan sepotong kenangan yang kembali hidup.
Dan setiap malam, ketika toko tutup dan semua lampu dipadamkan, Raka naik ke loteng, membuka buku catatan ibunya, dan menulis satu formula baru.
Hari ini judulnya:
**“Pelukan Terakhir yang Membekas Selamanya.”**
---




riodgarp dan intanasara memberi reputasi
2
15
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan