- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Warung Kopi Pak Darto


TS
yantosau
Warung Kopi Pak Darto

Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Slamet, berdirilah sebuah warung kopi sederhana yang dikenal oleh semua warga: **Warung Kopi Pak Darto**. Bangunannya tidak besar, hanya terdiri dari dinding kayu yang mulai lapuk dimakan usia, atap seng yang berisik bila hujan turun, dan meja panjang dengan kursi kayu yang berderit bila diduduki.
Tapi meskipun sederhana, warung itu tak pernah sepi pengunjung. Dari petani yang baru turun dari ladang, sopir truk yang sedang melintas, hingga anak-anak muda desa yang baru pulang sekolah, semua singgah di sana. Bukan semata karena kopi racikan Pak Darto yang nikmat—kopi tubruk kental dengan aroma khas biji robusta lokal—melainkan karena suasana dan kisah-kisah yang selalu hidup di sana.
Pak Darto, pemilik warung, sudah berusia hampir 70 tahun. Tubuhnya kecil, rambutnya memutih seluruhnya, dan langkahnya sudah tidak setegas dulu. Tapi suaranya tetap tegas, matanya tajam, dan senyum lebarnya tak pernah hilang dari wajahnya.
Setiap sore, setelah kopi disajikan, Pak Darto akan duduk di ujung meja, menyulut rokok kretek, dan mulai bercerita.
“Dulu waktu zaman penjajahan,” katanya suatu sore, “desa ini pernah diserbu tentara Belanda. Tapi kalian tahu siapa yang menyelamatkan desa ini?”
Anak-anak muda yang mendengarkan langsung merapat.
“Bukan tentara, bukan pejuang, tapi seorang tukang kayu tua. Namanya Mbah Darmo. Ia pura-pura gila dan menari-nari di depan rombongan tentara. Gara-gara itu, para penjajah pikir desa ini dihuni orang-orang aneh dan tidak penting. Mereka pun pergi tanpa menjarah satu rumah pun.”
Cerita itu mungkin terdengar konyol, tapi bagi warga desa, itu legenda yang diwariskan turun-temurun. Dan Pak Darto, entah bagaimana, selalu punya cara membuat kisah lama terdengar hidup kembali.
Namun, ada satu cerita yang tak pernah ia sampaikan—cerita tentang anak laki-lakinya.
Warga tahu bahwa Pak Darto dulu punya seorang anak bernama Raka, yang pergi ke kota untuk kuliah dan bekerja. Tapi sejak sepuluh tahun lalu, Raka tak pernah kembali. Tak ada yang tahu pasti kenapa. Bila ditanya, Pak Darto hanya akan tersenyum pahit dan berkata, “Dia sedang mencari jalan pulangnya sendiri.”
Sampai suatu hari, sebuah mobil hitam berhenti di depan warung. Seorang pria berjas turun, wajahnya tegas dan rapi, matanya tajam, namun dalam sorotnya tersimpan kelelahan panjang.
Ia berjalan pelan, dan saat bertemu tatapan Pak Darto, waktu seolah berhenti.
“Pak…” katanya lirih.
Pak Darto berdiri. Tangannya gemetar. Rokok di ujung bibirnya jatuh ke lantai. Ia tak berkata apa-apa, hanya memandang pria itu lama, sebelum akhirnya membuka kedua lengannya.
Raka berlari memeluk ayahnya. Air mata tumpah tak tertahan.
Warga yang menyaksikan dari kejauhan terdiam. Mereka tahu, ini bukan sekadar pertemuan ayah dan anak. Ini adalah kisah lain yang akhirnya mendapat akhir bahagia.
Sejak hari itu, Warung Kopi Pak Darto berubah. Kini, ada dua orang yang menyambut tamu. Raka memilih menetap dan membuka kedai kopi kecil di samping warung ayahnya, menggabungkan gaya modern dengan racikan khas Pak Darto.
Tapi satu hal tetap sama: setiap sore, masih ada kisah yang diceritakan. Bedanya, kini ada dua generasi yang duduk berdampingan, meneruskan cerita dan menjaga warisan sederhana: secangkir kopi dan kenangan yang tak pernah hilang.
---


riodgarp memberi reputasi
1
54
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan