- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
Cerita dari Maha Kumbh Mela, Ritual yang lebih Ramai dibandingkan Haji


TS
gentongbabi
Cerita dari Maha Kumbh Mela, Ritual yang lebih Ramai dibandingkan Haji

Tahukah bahwa di dunia ini ada ritual keagamaan yang melampaui jumlah jemaah haji, bukan sekadar dua kali lipat, tapi bisa sepuluh kali lipat lebih banyak? Sebuah ziarah yang mengubah kota kecil menjadi samudra manusia, tempat dosa dipercaya bisa luruh hanya dengan satu percikan air.
Namanya Maha Kumbh Mela. Sebuah ziarah kolosal di India yang hanya berlangsung setiap 12 tahun di kota Prayagraj, dan versi terbesarnya ini baru saja selesai Februari 2025 kemarin, dengan total 663 juta manusia datang dalam enam minggu. Sebuah angka yang sulit dipercaya, tapi nyata. Bahkan pada satu hari terakhir saja, 15,3 juta orang mandi bersama di Sungai Gangga.
Peristiwa ini bukan festival dalam pengertian biasa. Tidak ada panggung konser. Tidak ada penjualan tiket. Tidak ada daftar tamu. Tapi entah bagaimana, orang dari seluruh India datang---dari desa-desa terpencil yang bahkan tak muncul di peta, dari kota metropolitan yang sibuk, dari perbukitan Himalaya, dari wilayah yang panas dan kering di Rajasthan, bahkan dari luar negeri, dari Jepang, Amerika, Rusia, Indonesia. Semua menuju satu titik: pertemuan Sungai Gangga, Yamuna, dan sungai mitologis Saraswati. Triveni Sangam, tempat yang dianggap paling suci dalam kepercayaan Hindu, menjadi titik tumpu seluruh semesta spiritual selama beberapa minggu yang padat itu.
Asal mula perayaan ini berasal dari mitologi Samudra Manthan---saat para dewa dan asura (iblis) memutar lautan untuk memperoleh amerta, air keabadian. Dalam perebutan kendi amerta itu, empat tetes nektar jatuh ke bumi: Haridwar, Ujjain, Nashik, dan Prayagraj. Di situlah Kumbh Mela diadakan secara bergilir. Tapi hanya Prayagraj yang menjadi tuan rumah Maha Kumbh Mela---versi terbesarnya---setiap 12 tahun. Dan hanya setiap 144 tahun sekali terjadi konjungsi langit yang sangat langka, membuat edisi tahun ini disebut paling sakral dalam tujuh generasi terakhir. Banyak yang datang bukan hanya demi ritual, tapi karena merasa ini adalah satu-satunya kesempatan hidup untuk ikut menyaksikan keajaiban spiritual ini.
Begitu masuk ke wilayah Kumbh, semua yang biasa jadi luar biasa. Tenda-tenda berjajar sejauh mata memandang, membentuk kota darurat seluas lebih dari 30 kilometer persegi. Ada sistem air bersih sejauh 250 km, 100.000 toilet portabel, 1.200 menara lampu, dan jaringan dapur umum yang mampu memberi makan ribuan orang setiap jam. Rumah sakit lapangan tersedia di tiap zona, lengkap dengan ambulans, apotek, dan pos bantuan darurat. Semua ini dibangun dari nol dan dibongkar kembali saat festival usai. Kota dalam kota. Dunia dalam dunia. India dalam bentuk paling mentah dan paling megah sekaligus.
Tak hanya itu. Karena risiko keamanan sangat besar, sistem canggih berbasis AI diterapkan oleh pemerintah Uttar Pradesh. Kamera pengawas dipasang di ribuan titik. Software cerdas mampu menghitung jumlah kerumunan secara real-time, bahkan bisa mendeteksi lonjakan anomali seperti kepadatan mendadak, kebakaran, atau pelanggaran pagar pengaman. Begitu sistem mendeteksi area terlalu padat, lampu indikator menyala, dan petugas dikirim untuk membubarkan massa secara halus. Ini bukan India yang lambat dan kacau seperti stereotip lama. Ini India yang bisa mengelola ratusan juta manusia dalam satu tempat, tanpa huru-hara besar, walau sempat terjadi satu insiden bulan lalu---ketika kepadatan memicu kepanikan di salah satu gerbang masuk, menyebabkan korban jiwa.
Sebuah pengingat bahwa tak ada sistem yang benar-benar sempurna menghadapi manusia sebanyak ini.
Yang datang ke Kumbh Mela bukan sekadar peziarah fanatik. Ada sadhu---pertapa dengan tubuh berbalur abu, berambut gimbal puluhan tahun, sebagian tak berpakaian, membawa tongkat dan kendi. Mereka berjalan dalam barisan pada hari paling suci, membuka prosesi mandi dengan Shahi Snan, mandi kerajaan. Ribuan kamera mengarah ke mereka. Tak sedikit dari sadhu ini yang sudah punya akun media sosial, ribuan pengikut, bahkan masuk televisi. Tapi tidak semuanya ingin dilihat. Banyak pula yang tetap diam. Bertapa di tenda terpencil. Tak bicara selama tiga dekade. Tidur di ranjang paku. Atau hidup hanya dari satu genggam makanan per hari.
Lalu ada umat biasa, yang jumlahnya puluhan juta. Mereka datang membawa anak, nenek, bekal, kain basah, dan harapan. Ada yang datang naik truk dari desa, ada yang naik kereta lusuh selama dua hari, ada yang jalan kaki berminggu-minggu. Semua hanya ingin satu hal: menyentuhkan tubuh ke air sungai pada saat yang dipercaya suci. Banyak yang hanya sempat berendam tiga detik karena arus manusia begitu padat. Tapi itu cukup. Keyakinan tidak diukur oleh durasi, tapi oleh niat dan getaran hati. Beberapa menangis. Beberapa tersenyum dalam diam. Beberapa duduk lama di tepian, menatap air mengalir dengan wajah yang sulit dijelaskan: tenang, pasrah, dan entah kenapa terlihat lega.
Hari-hari biasa di Kumbh penuh warna. Ada pasar malam, pertunjukan teater jalanan, pembacaan kitab suci, diskusi filsafat, bahkan pengobatan Ayurveda gratis. Tenda-tenda akhara seperti universitas spiritual yang terbuka untuk siapa saja. Di beberapa tenda, guru spiritual memberikan ceramah yang diikuti ribuan pendengar, lengkap dengan terjemahan dalam bahasa Inggris dan Rusia. Di tenda lain, yoga dilakukan massal setiap pagi. Banyak yang datang bukan untuk mandi, tapi untuk belajar. Ada mahasiswa India yang cuti kuliah. Ada pebisnis yang datang mencari kedamaian. Bahkan Perdana Menteri Narendra Modi ikut mandi dan menyebut Maha Kumbh sebagai "persatuan sejati seluruh elemen bangsa."
Dampak ekonomi sangat besar. Lebih dari 10 juta pekerjaan temporer tercipta---dari sopir, pedagang, juru masak, penjaga tenda, sampai pembersih. Hotel dan homestay di radius 100 km penuh. Penjual makanan jalanan bisa meraup 10 kali lipat pendapatan biasa. Bahkan tukang cukur dan pembuat gelang punya antrean tak putus sepanjang hari. Tahun ini saja, perputaran ekonomi lokal diperkirakan mencapai lebih dari 3 miliar dolar. Festival spiritual berubah menjadi motor ekonomi rakyat. Tanpa harus kehilangan ruhnya.
Namun Maha Kumbh Mela bukan hanya soal data atau skala. Ia adalah peristiwa yang hanya bisa benar-benar dimengerti jika dilihat dan dirasakan langsung. Ada momen-momen kecil yang tak terekam kamera: seorang ibu yang mencuci kaki ayahnya sebelum masuk sungai, seorang kakek yang menyuapi cucunya setelah mandi, seorang pertapa tua yang memberi bunga kepada anak kecil, lalu tersenyum dengan wajah yang seperti tak pernah tersenyum selama sepuluh tahun.
Di malam hari, suasana berubah magis. Lentera-lentera kecil dilepaskan ke air. Mantra dinyanyikan dalam gelombang rendah. Bau dupa dan kayu bakar bercampur dengan udara dingin. Sungai tak lagi terlihat seperti sungai, tapi seperti cermin raksasa yang memantulkan langit. Seseorang bisa duduk di tepian selama berjam-jam tanpa merasa bosan. Tak ada layar ponsel. Tak ada notifikasi. Hanya air, bintang, dan dengungan doa.
Banyak turis asing yang datang untuk mencari "pengalaman India yang sejati." Tapi Maha Kumbh bukan sekadar atraksi. Ia hidup, ia bergerak, ia menyentuh. Dan ia tidak butuh promosi. Karena dari tahun ke tahun, manusia akan terus datang. Sebab bukan mereka yang mencari Kumbh, tapi Kumbh yang memanggil mereka.
Dan ketika semuanya usai, kota tenda dibongkar, jalanan dibersihkan, sungai kembali sunyi, hanya satu hal yang tersisa: kenangan. Tapi bagi mereka yang sudah masuk ke air suci itu, mungkin juga sebuah rasa baru. Entah ringan. Entah bersih. Entah hanya sugesti. Tapi tetap saja terasa.
Tak ada paspor. Tak ada visa. Tak ada pembatas keyakinan. Semua hanya datang dan mandi. Dan percaya, bahwa air bisa membawa mereka pulang ke dalam diri sendiri.


Sumber







choco_nanas dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.4K
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan