- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Langit di Atas Lantai Dua


TS
yantosau
Langit di Atas Lantai Dua

Lantai dua rumah sakit itu tidak pernah sepi. Di sanalah pasien-pasien dengan penyakit kronis dirawat—beberapa untuk waktu yang lama, beberapa hanya sebentar, sebelum akhirnya pulang… atau pergi selamanya.
Di salah satu kamar itu, terbaring seorang remaja bernama Nara. Usianya baru tujuh belas tahun, tapi tubuhnya sudah lemah karena penyakit lupus yang dideritanya sejak kecil. Setiap pagi, Nara duduk di ranjang dekat jendela, menatap langit yang berganti warna. Itu adalah jendela yang sama di mana ia menuliskan impian-impian kecil dengan embun: ingin pergi ke pantai, ingin naik kereta jarak jauh, ingin makan ramen asli Jepang, ingin melihat bintang jatuh.
Namun semua itu hanya sebatas tulisan, karena tubuhnya tak mengizinkan banyak hal. Ia jarang keluar dari lantai dua itu. Temannya hanya buku, perawat, dan sesekali pengunjung yang lewat di lorong.
Hingga suatu hari datang seorang pemuda bernama Bima. Ia adalah relawan sosial dari komunitas seni kampusnya. Ia masuk ke kamar Nara sambil membawa ukulele, menyapa dengan senyum cerah yang seolah menabrak dinginnya udara rumah sakit.
“Namamu siapa?” tanya Bima.
“Nara.”
“Boleh aku nyanyi?”
Nara hanya mengangguk. Ia tak terbiasa dengan orang asing, apalagi yang terlalu semangat seperti Bima. Tapi suara Bima ternyata lembut, lagunya jenaka, dan ada cara ia memainkan senar ukulele yang membuat waktu terasa lebih ringan.
Sejak hari itu, Bima sering datang. Ia membacakan puisi, menggambar, memainkan lagu, atau hanya duduk diam menemani Nara. Perlahan, Nara mulai terbuka. Ia mulai bercerita—tentang rasa lelahnya, tentang mimpinya yang tak sempat, tentang rasa takut ketika malam tiba dan rasa sakit menyerang.
Bima mendengarkan semua itu. Tak sekali pun ia menyela, tak pernah ia berkata, “Kamu harus semangat.” Ia tahu, Nara tidak butuh disuruh kuat. Ia hanya butuh seseorang yang mengerti tanpa menuntut.
Suatu pagi, Nara menemukan kejutan di meja samping tempat tidurnya: sebuah miniatur pantai dari kardus dan pasir, dengan bendera kecil bertuliskan: “Pantai impian Nara.” Di bawahnya tertulis, *Langit akan selalu ada, bahkan ketika kaki kita belum bisa ke sana.*
Nara menangis. Untuk pertama kalinya sejak dirawat, ia merasa dilihat—bukan sebagai pasien, tapi sebagai manusia.
Namun waktu tidak menunggu siapa pun. Kondisi Nara makin memburuk. Dokter hanya bisa memberi kabar bahwa “waktu Nara mungkin tidak lama lagi.”
Bima tidak datang selama tiga hari. Nara merasa ada sesuatu yang hilang. Ternyata, Bima sedang mengurus sebuah pertunjukan kecil—di taman rumah sakit.
Saat sore menjelang, perawat mendorong kursi roda Nara keluar kamar, menuju taman. Di sana, telah terpasang panggung sederhana, dihiasi lentera-lentera kertas, dengan tulisan besar:
**“Langit di Atas Lantai Dua – Sebuah Panggung Untuk Nara”**
Bima naik ke atas panggung, membawakan lagu-lagu yang pernah mereka nyanyikan bersama. Mahasiswa lain ikut tampil, membaca puisi-puisi yang terinspirasi dari tulisan Nara. Semua orang di taman sore itu memberi tepuk tangan, bukan karena pertunjukan hebat, tapi karena cinta yang sederhana telah menyentuh semua hati.
Nara hanya tersenyum, menatap langit yang mulai temaram. Hari itu ia tidak merasa seperti pasien. Ia merasa seperti bintang panggung.
Beberapa hari setelah pertunjukan itu, Nara meninggal dunia. Ia pergi dengan tenang, ditemani surat kecil dari Bima:
> “Nara,
>
> Terima kasih telah mengajarku bahwa hidup bukan tentang seberapa lama kita berjalan, tapi tentang seberapa dalam kita mencintai setiap detiknya.
>
> Langit yang kau lihat dari lantai dua sekarang jadi lebih terang.
>
> — Bima”
---


intanasara memberi reputasi
1
19
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan