Kaskus

Entertainment

yantosauAvatar border
TS
yantosau
Hanya Aku yang Menunggu
Hanya Aku yang Menunggu

Namanya Raya. Ia datang seperti pagi yang tenang di antara deru kehidupan yang sering kali gaduh. Bukan orang yang menonjol di keramaian, tapi selalu mampu membuat waktu terasa lebih lambat saat ia berbicara. Senyumnya bukan yang paling indah, tapi cukup untuk membuat jantungku berdetak tak beraturan.

Aku mengenalnya sejak semester awal kuliah. Kami satu kelas, satu kelompok praktikum, bahkan sempat sekelompok dalam beberapa tugas besar. Dari semua itu, aku sadar, perasaanku tumbuh tanpa aba-aba. Tidak sekaligus jatuh, tapi perlahan. Seperti hujan yang turun rintik-rintik sebelum akhirnya deras.

Raya sering bercerita banyak hal—tentang keluarganya di Bandung, tentang mimpinya menjadi penulis buku anak, hingga tentang laki-laki yang diam-diam membuat matanya bersinar.

Namanya Rino. Senior satu angkatan di organisasi kampus. Tinggi, tenang, dan menurutku… biasa saja. Tapi di mata Raya, dia berbeda. Setiap kali Rino lewat saat kami duduk di taman kampus, Raya selalu berhenti bicara sejenak. Matanya mengikuti langkah Rino, lalu tersenyum kecil. Saat itulah, hatiku berdenyut perih, tapi tetap tersenyum menemaninya.

Aku adalah pendengar setia cerita-cerita tentang Rino. Tentang betapa Rino pintar menyusun kalimat, tentang caranya membawakan materi dalam pelatihan, bahkan tentang bagaimana Rino menyukai kopi hitam tanpa gula.

Dan aku… aku tidak suka kopi.

Pernah suatu malam, saat hujan deras seperti ini, kami duduk di kantin kampus yang hampir kosong. Raya bercerita dengan mata berbinar, bahwa Rino akhirnya membalas pesannya. Sebuah pesan singkat: “Makasih ya udah dateng ke acaraku tadi.”

Aku hanya mengangguk, berusaha tak terlihat patah. Tapi hatiku remuk perlahan.

“Aku harap dia tahu, kalau aku benar-benar serius,” kata Raya malam itu sambil memeluk jaketnya erat. “Aku tahu dia belum tentu punya rasa yang sama. Tapi nggak apa-apa. Aku cuma ingin dia tahu aja.”

Aku ingin menjawab, “Kalau begitu, bagaimana denganku yang juga merasa hal yang sama pada kamu?” Tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Kalimat itu hanya menjadi gema dalam benak, tak pernah menjadi suara nyata.

Setiap hari aku menguatkan diri. Menemani Raya mencari hadiah untuk Rino, memotret Raya diam-diam saat dia tampak bahagia, menghapus chat yang hampir kukirim berisi perasaanku. Setiap kali aku ingin jujur, aku teringat senyumnya saat menyebut nama Rino.

Mungkin, mencintai diam-diam adalah satu-satunya cara agar aku tetap berada di sisinya.

Sampai hari itu datang.

Hari di mana Raya mendatangiku dengan wajah berbinar lebih dari biasanya. Tangannya menggenggam sebuah undangan kecil berwarna krem.

“Aku… diundang ke acara pernikahan Rino minggu depan,” katanya.
Aku menatapnya. Hati ini terasa kosong. “Kamu datang?”
“Datang. Aku mau kasih selamat langsung.”

Aku mengangguk. Lalu berpaling, pura-pura sibuk membuka buku catatan.

Malam itu aku menangis. Bukan karena Rino, bukan karena undangan itu, tapi karena aku sadar: yang paling menyakitkan bukan ketika cinta kita ditolak, tapi ketika cinta kita bahkan tak pernah sempat diperjuangkan.

Dan Raya, seperti biasa, tak pernah tahu. Dia tak pernah menyadari bahwa selama ini, seseorang yang benar-benar mencintainya hanya duduk tak jauh darinya, dalam diam, menunggu kesempatan yang tak pernah datang.

---
intanasaraAvatar border
intanasara memberi reputasi
1
18
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan