- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Warung Kopi Tengah Malam


TS
yantosau
Warung Kopi Tengah Malam

Hujan gerimis turun sejak sore, menyisakan embun tipis di kaca-kaca jendela kota. Di ujung gang sempit, berdiri sebuah warung kecil dengan papan kayu bertuliskan *“Kopi & Cerita”*. Lampu kuning remang-remang menggantung di atas pintu, menebar cahaya hangat di tengah gelapnya malam.
Warung itu milik Pak Darto, lelaki paruh baya berambut abu yang dikenal murah senyum dan pandai meracik kopi. Warungnya hanya buka dari jam 9 malam sampai jam 3 pagi. Warga sekitar menyebutnya *warung orang-orang gelisah*, karena pelanggannya datang dengan mata sembab, raut muram, atau gelak tawa yang terdengar memaksa.
Malam itu, sekitar pukul 12, pintu warung terbuka pelan. Seorang pemuda dengan jaket kulit lusuh masuk dan langsung duduk di sudut dekat rak buku tua. Wajahnya dingin, matanya sayu, dan tangan kirinya memegang buku catatan kecil.
Pak Darto menatapnya dari balik meja kopi. “Malam, Mas. Kopi biasa atau kopi cerita?”
Pemuda itu mendongak, agak terkejut. “Kopi cerita?”
Pak Darto tertawa kecil. “Kopi cerita itu kopi yang dibuat kalau Mas mau cerita. Ceritanya yang nentuin rasa kopinya.”
Pemuda itu diam sejenak, lalu menyodorkan buku catatannya. “Kalau saya kasih cerita ini, kopinya bisa pahit tapi hangat?”
Pak Darto menerima buku itu, membuka halaman pertama, dan membaca pelan-pelan. Tentang kehilangan ibu, tentang rindu yang membusuk, tentang perasaan yang tidak bisa dibagi kepada siapa pun. Ia menutup buku itu perlahan.
“Kopi pahit hangat, satu,” katanya sambil mulai meracik.
Sementara pemuda itu menatap keluar jendela, dua pelanggan lain masuk. Seorang perempuan muda dengan bekas eyeliner yang luntur, dan seorang bapak dengan map cokelat penuh surat pengunduran diri. Semua memilih duduk berjauhan. Sunyi. Hanya suara gemericik hujan dan dentingan sendok dari dapur kecil Pak Darto.
“Di tempat ini,” kata Pak Darto pelan, sambil menyajikan kopi, “semua orang boleh diam. Tapi kalau mau bicara, tak akan ada yang menertawakan.”
Pemuda itu menyeruput kopinya. Pahit, hangat, dan anehnya… sedikit manis di akhir. Ia menatap Pak Darto dan berkata pelan, “Rasa ibuku suka bikin kopi seperti ini.”
Pak Darto hanya tersenyum. “Cerita Mas itu masuk ke dalam kopi.”
Dan sejak malam itu, pemuda itu datang hampir setiap malam. Kadang membawa cerita baru, kadang hanya duduk diam sambil mendengarkan hujan. Warung Kopi & Cerita terus hidup, jadi tempat persinggahan bagi mereka yang tak tahu harus pulang ke mana dulu, atau sedang kehilangan arah.
Sebab, di kota yang serba cepat ini, tempat paling berharga bukan yang terang dan ramai, tapi yang mengerti diam dan menyimpan luka.
---


intanasara memberi reputasi
1
80
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan