- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gaya Jokowi & KDM Eks Cagub DKI Ini Tak Ingin Dedi Mulyadi The Next Mulyono


TS
matt.gaper
Gaya Jokowi & KDM Eks Cagub DKI Ini Tak Ingin Dedi Mulyadi The Next Mulyono
Gaduh Cocoklogi Gaya Jokowi dan KDM, Eks Cagub Jakarta Ini Tak Ingin Dedi Mulyadi The Next Mulyono

Eks Calon gubernur Jakarta, Dharma Pongrekun, turut menanggapi terkait cocoklogi sosok Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang dibandingkan dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Banyak yang beranggapan gaya belusukan yang khas Jokowi dinilai sama dengan yang dilakukan Dedi Mulyadi saat ini.
Purnawirawan jenderal bintang tiga Polri tersebut berharap agar Dedi Mulyadi tidak menjadi penerus dari Mulyono, nama lain Jokowi.
"Mudah-mudahan, munculnya Pak Mulyadi bukan kelanjutan dari Mulyono," ujar Dharma Pongrekun.
Dharma Kun beralasan karena pola dari cara memimpin KDM (Kang Dedi Mulyadi) dinilai sama dengan Jokowi.
"Karena polanya sama nih. Jangan sampai konsultannya sama. Karena masifnya pemberitaan segala macam, bagaimana bayar mereka, sudah berlangsung cukup lama itu dia membangun," tambahnya.
Pensiunan jenderal Polri bintang tiga bernama Dharma Pongrekun itu mewanti-wanti Dedi Mulyadi di masa awal kepemimpinannya di Jawa Barat.
Rocky Gerung Nilai Ijazah Jokowi Jadi Beban Prabowo, Geramnya Hotman Paris Bakal Kenalkan Satu Aspri
Jika KDM (Kang Dedi Mulyadi) terus melakukan kesalahan yang dibuatnya saat ini, maka Dharma memiliki sebuah kesimpulan.
Ia menilai bahwa KDM merupakan seorang agen pemerintah yang memuluskan agenda global.
Lantas, kesalahan apa yang saat ini dilakukan KDM?
Dharma menilai pembiaran terhadap penarikan pajak kepada rakyat kecil merupakan suatu kesalahan.
"Kalau membela rakyat, stop pajak untuk rakyat miskin. Jangan cuman motor enggak bisa bayar lalu diputihkan, bukan. Mampukan rakyat untuk bisa punya tabungan, punya dana, lalu mintakan pajak. Itu tugas pemerintah," ujar Dharma seperti dikutip dari YouTube Ngaji Roso yang tayang pada Kamis (22/5/2025).
Menurut Dharma Kun, KDM lebih baik untuk memberikan kesejahteraan terlebih dahulu terhadap rakyatnya baru melakukan penarikan pajak.
Ia bahkan meminta pembangunan infrastruktur untuk sementara disetop dan memprioritaskan terhadap kehidupan rakyat.
"Kalau perlu jangan pakai pembangunan, kasih makan rakyat dulu. Cuman kan ada rasionalitas yang dibangun untuk membenarkan bahwa pemungutan pajak itu benar."
"Ngapain bangun-bangun jalan kalau rakyat enggak bisa makan, jadi bangun lah prioritas. Enggak usah ditertibkan dulu, pikirin dulu rakyat makannya udah bener belum? Udah terpenuhi. Baru itu," katanya.
Untuk membuat rakyat mandiri, kata Dharma, KDM bisa memberikan mereka modal usaha.
Ia meminta agar pemerintah daerah menjaga kelancaran produksi-produksi lokal seperti di kawasan pabrik tekstil di daerah Soreang agar tidak gulung tikar.
Selain itu, menghentikan barang impor yang masuk ke Jawa Barat.
"Modali rakyat, mulai dari merangkak, berdiri, berjalan, dia lari, di situ harus hadir jadi jangan ngubeng-ngubeng di situ aja. Hanya bicara ini, nah bagaimananya harus jelas," lanjutnya.
Setelah rakyat menjadi makmur, kata Dharma, pemerintah Jawa Barat bisa melakukan penarikan pajak.
Namun, jika tetap membiarkan pemerintah menarik pajak terhadap rakyat kecil di tengah kehidupannya yang masih sulit, maka KDM menjadi bagian dalam rencana memuluskan agenda elite global.
"Setelah rakyat makmur, pajak ditarik jadi fair. Utamakan itu jadi jangan main paksa pajak tarik, rakyat enggak makan. Kalau sampai itu terus dilaksanakan, itu agen (global) namanya," katanya.
Tanggapan Mardigu
Menurut pengusaha sekaligus pegiat media sosial, Mardigu Wowiek Prasantyo, Dedi Mulyadi jauh lebih totalitas terjun ke masyarakat ketimbang Jokowi.
"Jujur aja ya, kalau dia masuk gorong-gorong, KDM (Kang Dedi Mulyadi) itu masuk ke dalemnya. Kalau Pak Jokowi kan cuma ngeker foto diambil yaudah. Kakinya juga masih bersih, gitu ya," katanya seperti dikutip dari iNews TV pada Kamis (22/5/2025).
Ia melanjutkan ketika belusukan, Jokowi hanya beraksi 'di luaran' saja sementara Dedi Mulyadi masuk sampai ke akar permasalahannya.
"Ini hal-hal seperti ini berbeda, jadi kalau Pak Jokowi di setiap titik hanya foto-foto kalau KDM itu action itu aja bedanya versi saya," katanya.
Selain itu, perbedaan lainnya, Jokowi lebih terlihat ingin mencari popularitas sedangkan KDM lebih menunjukkan transparansi dalam kegiatannya.
"Jokowi sangat ingin mempopulerkan atau ingin terkenal atau ingin menjual dirinya. Kalau KDM ini lebih ke transparansi atau keterbukaan. Dia bergerak bukan mau pamer, tapi dia ingin menginformasikan keterbukaan. Jadi, itu bagi saya adalah dua hal yang berbeda," jelasnya.
Namun, Mardigu menilai ada persamaan antara Jokowi dengan KDM.
Keduanya memiliki karakter yang sederhana dan sama-sama mencintai rakyatnya.
"(Jokowi) Dengan gerakan-gerakan waktu di Solo, waktu di Jakarta, sama dengan KDM. Tapi, saya pikir begitu jadi presiden saya tidak bilang ada kesamaannya dengan KDM," lanjutnya.
Tanggapan Dedi dijuluki Mulyono Jilid II
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menanggapi sebutan atau julukan Mulyono Jilid II yang disematkan kepadanya.
Dedi Mulyadi yang kerap membagikan aktivitasnya turun dan bertemu langsung dengan masyarakat, dianggap sejumlah netizen memiliki gaya politik yang serupa dengan Jokowi.
Sekedar informasi, Jokowi meraih popularitas karena gaya blusukannya hingga bisa menaiki anak tangga pimpinan eksekutif, dari Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden Indonesia dua periode (2014-2024).
Sejumlah netizen lantas menduga, Dedi Mulyadi akan mengikuti langkah Jokowi.
Pada Senin (19/5/2025), Dedi Mulyadi akhirnya menanggapi sebutan 'Mulyono Jilid II' untuknya.
Ia menilai sebutan tersebut disematkan oleh orang-orang yang selalu memperhatikan segala aktivitasnya.
"Setelah bisa melewati masa-masa sulit, menyelamatkan anak remaja di Jawa Barat dari berbagai problem kriminal yang dialaminya melalui pendidikan disiplin di Barak Militer, kini berbagai pihak mulai mengepung kembali," ucap Dedi Mulyadi.
"Dengan berbagai stigma, sebagai Gubernur Konten, Mulyono Jilid II, Gubernur Pencitraan dan berbagai tayangan lainnya, yang sengaja dibuat dengan tujuan cuma satu, karena mereka sangat memperihatikan saya," imbuhnya.
Dedi Mulyadi menilai netizen yang memberikan pandangan dan komentar buruk soal dirinya, bukan berasal dari Jawa Barat.
Menurut Dedi Mulyadi, mereka adalah buzzer yang memang memiliki tujuan untuk menjelek-jelekkan dan menciptakan citra buruk tentang dirinya.
Ia lalu mengungkit soal videonya saat sedang mengaduk semen yang kini tengah viral kembali.
Gara-gara video tersebut, Dedi Mulyadi ramai disebut sebagai Gubernur Pencitraan.
Padahal menurut Dedi Mulyadi video tersebut direkam sekitar 6 tahun lalu.
"Apapun yang saya lakukan dikomentari, dan ini dilakukan oleh orang di luar Jawa Barat, artinya banyak warga di luar Jawa Barat kesal sama saya," kata Dedi Mulyadi.
Meski mendapatkan serangan dan sebutan negatif, Dedi Mulyadi mengaku tidak masalah.
Dedi Mulyadi menilai, warga Jawa Barat akan selalu mencintainya.
Ia lalu menantang para buzzer untuk kembali membuat konten negatif soal dirinya.
"Bagi saya enggak ada masalah, terima kasih ya telah berupaya menggiring opini agar saya dibenci oleh warga," ujar Dedi Mulyadi.
"Salam untuk para buzzer tetap semangat, bikin konten negatif sebanyak-banyaknya tentang saya,"
"Agar bapak dan ibu bisa ngebul dapurnya," imbuhnya.
Beda dari Jokowi
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi melihat perbedaan telak antara Dedi Mulyadi dan Jokowi.
"Sebenarnya kalau menyebut seorang KDM (Kang Dedi Mulyadi) versi lain dari Jokowi, Jokowi versi 2.0 itu enggak seluruhnya benar juga sih," kata Burhan, sapaan karib sang pengamat, saat bicara di program On Point with Adisty, Youtube Kompas TV, tayang Sabtu (10/5/2025).
Menurut Burhan, Dedi Mulyadi sangat artikulatif, sedangkan Jokowi tidak.
Seorang Dedi Mulyadi bisa menghadapi masalah dengan berdialog, diskusi hingga berdebat.
Burhan menyontohkan salah satu peristiwa yang membuat nama Dedi Mulyadi populer di Purwakarta.
Saat itu dia menjabat Anggota DPRD Purwakarta (1999-2004).
Setelahnya, ia menjadi Wakil Bupati dan Bupati Purwakarta.
"Kalau kita lihat jejaknya KDM ini, misalnya waktu dia menjadi anggota DPRD Purwakarta, waktu itu Purwakarta penuh dengan demo buruh."
"Ketika koleganya dari anggota DPRD Purwakarta tidak mau menemui demo-demo buruh, dia temuin. Ramai terjadi perdebatan sangat sengit gitu ya, tetapi setelah demo itu dia justru populer karena berani mendebat dan sekaligus mengajak dialog mereka yang kontrak."
"Setelah itu dia maju sebagai kepala daerah kan dan sukses," papar Burhan.
Burhan menegaskan, seorang Jokowi tidak bisa seperti Dedi Mulyadi dalam hal berdialog seperti peristiwa dengan buruh itu.
"Sesuatu yang kalau kita bayangkan seorang Pak Jokowi agak beda. Pak Jokowi itu kan lebih banyak senyum, kalau ditanya, 'Ya kok tanya saya' gitu kan," kata Burhan.
Sebaliknya, kata Burhan, Dedi Mulyadi juga tidak mungkin bersikap seperti Jokowi yang sedikit bicara.
"Itu enggak mungkin pernyataan itu keluar dari KDM. KDM pasti menjawab," jelasnya.
Salah satu faktor perbedaan Dedi Mulyadi dengan Jokowi adalah latar aktivismenya di kampus.
"Karena latar belakangnya juga beda kan. Pak Jokowi latar belakang aktivismenya waktu mahasiswa di mapala, KDM aktivis murni ini, dia aktivis di HMI, aktif di organisasi kemudaan," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.
https://jakarta.tribunnews.com/2025/...#goog_rewarded
Iya aja deh

Eks Calon gubernur Jakarta, Dharma Pongrekun, turut menanggapi terkait cocoklogi sosok Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat yang dibandingkan dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Banyak yang beranggapan gaya belusukan yang khas Jokowi dinilai sama dengan yang dilakukan Dedi Mulyadi saat ini.
Purnawirawan jenderal bintang tiga Polri tersebut berharap agar Dedi Mulyadi tidak menjadi penerus dari Mulyono, nama lain Jokowi.
"Mudah-mudahan, munculnya Pak Mulyadi bukan kelanjutan dari Mulyono," ujar Dharma Pongrekun.
Dharma Kun beralasan karena pola dari cara memimpin KDM (Kang Dedi Mulyadi) dinilai sama dengan Jokowi.
"Karena polanya sama nih. Jangan sampai konsultannya sama. Karena masifnya pemberitaan segala macam, bagaimana bayar mereka, sudah berlangsung cukup lama itu dia membangun," tambahnya.
Pensiunan jenderal Polri bintang tiga bernama Dharma Pongrekun itu mewanti-wanti Dedi Mulyadi di masa awal kepemimpinannya di Jawa Barat.
Rocky Gerung Nilai Ijazah Jokowi Jadi Beban Prabowo, Geramnya Hotman Paris Bakal Kenalkan Satu Aspri
Jika KDM (Kang Dedi Mulyadi) terus melakukan kesalahan yang dibuatnya saat ini, maka Dharma memiliki sebuah kesimpulan.
Ia menilai bahwa KDM merupakan seorang agen pemerintah yang memuluskan agenda global.
Lantas, kesalahan apa yang saat ini dilakukan KDM?
Dharma menilai pembiaran terhadap penarikan pajak kepada rakyat kecil merupakan suatu kesalahan.
"Kalau membela rakyat, stop pajak untuk rakyat miskin. Jangan cuman motor enggak bisa bayar lalu diputihkan, bukan. Mampukan rakyat untuk bisa punya tabungan, punya dana, lalu mintakan pajak. Itu tugas pemerintah," ujar Dharma seperti dikutip dari YouTube Ngaji Roso yang tayang pada Kamis (22/5/2025).
Menurut Dharma Kun, KDM lebih baik untuk memberikan kesejahteraan terlebih dahulu terhadap rakyatnya baru melakukan penarikan pajak.
Ia bahkan meminta pembangunan infrastruktur untuk sementara disetop dan memprioritaskan terhadap kehidupan rakyat.
"Kalau perlu jangan pakai pembangunan, kasih makan rakyat dulu. Cuman kan ada rasionalitas yang dibangun untuk membenarkan bahwa pemungutan pajak itu benar."
"Ngapain bangun-bangun jalan kalau rakyat enggak bisa makan, jadi bangun lah prioritas. Enggak usah ditertibkan dulu, pikirin dulu rakyat makannya udah bener belum? Udah terpenuhi. Baru itu," katanya.
Untuk membuat rakyat mandiri, kata Dharma, KDM bisa memberikan mereka modal usaha.
Ia meminta agar pemerintah daerah menjaga kelancaran produksi-produksi lokal seperti di kawasan pabrik tekstil di daerah Soreang agar tidak gulung tikar.
Selain itu, menghentikan barang impor yang masuk ke Jawa Barat.
"Modali rakyat, mulai dari merangkak, berdiri, berjalan, dia lari, di situ harus hadir jadi jangan ngubeng-ngubeng di situ aja. Hanya bicara ini, nah bagaimananya harus jelas," lanjutnya.
Setelah rakyat menjadi makmur, kata Dharma, pemerintah Jawa Barat bisa melakukan penarikan pajak.
Namun, jika tetap membiarkan pemerintah menarik pajak terhadap rakyat kecil di tengah kehidupannya yang masih sulit, maka KDM menjadi bagian dalam rencana memuluskan agenda elite global.
"Setelah rakyat makmur, pajak ditarik jadi fair. Utamakan itu jadi jangan main paksa pajak tarik, rakyat enggak makan. Kalau sampai itu terus dilaksanakan, itu agen (global) namanya," katanya.
Tanggapan Mardigu
Menurut pengusaha sekaligus pegiat media sosial, Mardigu Wowiek Prasantyo, Dedi Mulyadi jauh lebih totalitas terjun ke masyarakat ketimbang Jokowi.
"Jujur aja ya, kalau dia masuk gorong-gorong, KDM (Kang Dedi Mulyadi) itu masuk ke dalemnya. Kalau Pak Jokowi kan cuma ngeker foto diambil yaudah. Kakinya juga masih bersih, gitu ya," katanya seperti dikutip dari iNews TV pada Kamis (22/5/2025).
Ia melanjutkan ketika belusukan, Jokowi hanya beraksi 'di luaran' saja sementara Dedi Mulyadi masuk sampai ke akar permasalahannya.
"Ini hal-hal seperti ini berbeda, jadi kalau Pak Jokowi di setiap titik hanya foto-foto kalau KDM itu action itu aja bedanya versi saya," katanya.
Selain itu, perbedaan lainnya, Jokowi lebih terlihat ingin mencari popularitas sedangkan KDM lebih menunjukkan transparansi dalam kegiatannya.
"Jokowi sangat ingin mempopulerkan atau ingin terkenal atau ingin menjual dirinya. Kalau KDM ini lebih ke transparansi atau keterbukaan. Dia bergerak bukan mau pamer, tapi dia ingin menginformasikan keterbukaan. Jadi, itu bagi saya adalah dua hal yang berbeda," jelasnya.
Namun, Mardigu menilai ada persamaan antara Jokowi dengan KDM.
Keduanya memiliki karakter yang sederhana dan sama-sama mencintai rakyatnya.
"(Jokowi) Dengan gerakan-gerakan waktu di Solo, waktu di Jakarta, sama dengan KDM. Tapi, saya pikir begitu jadi presiden saya tidak bilang ada kesamaannya dengan KDM," lanjutnya.
Tanggapan Dedi dijuluki Mulyono Jilid II
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menanggapi sebutan atau julukan Mulyono Jilid II yang disematkan kepadanya.
Dedi Mulyadi yang kerap membagikan aktivitasnya turun dan bertemu langsung dengan masyarakat, dianggap sejumlah netizen memiliki gaya politik yang serupa dengan Jokowi.
Sekedar informasi, Jokowi meraih popularitas karena gaya blusukannya hingga bisa menaiki anak tangga pimpinan eksekutif, dari Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden Indonesia dua periode (2014-2024).
Sejumlah netizen lantas menduga, Dedi Mulyadi akan mengikuti langkah Jokowi.
Pada Senin (19/5/2025), Dedi Mulyadi akhirnya menanggapi sebutan 'Mulyono Jilid II' untuknya.
Ia menilai sebutan tersebut disematkan oleh orang-orang yang selalu memperhatikan segala aktivitasnya.
"Setelah bisa melewati masa-masa sulit, menyelamatkan anak remaja di Jawa Barat dari berbagai problem kriminal yang dialaminya melalui pendidikan disiplin di Barak Militer, kini berbagai pihak mulai mengepung kembali," ucap Dedi Mulyadi.
"Dengan berbagai stigma, sebagai Gubernur Konten, Mulyono Jilid II, Gubernur Pencitraan dan berbagai tayangan lainnya, yang sengaja dibuat dengan tujuan cuma satu, karena mereka sangat memperihatikan saya," imbuhnya.
Dedi Mulyadi menilai netizen yang memberikan pandangan dan komentar buruk soal dirinya, bukan berasal dari Jawa Barat.
Menurut Dedi Mulyadi, mereka adalah buzzer yang memang memiliki tujuan untuk menjelek-jelekkan dan menciptakan citra buruk tentang dirinya.
Ia lalu mengungkit soal videonya saat sedang mengaduk semen yang kini tengah viral kembali.
Gara-gara video tersebut, Dedi Mulyadi ramai disebut sebagai Gubernur Pencitraan.
Padahal menurut Dedi Mulyadi video tersebut direkam sekitar 6 tahun lalu.
"Apapun yang saya lakukan dikomentari, dan ini dilakukan oleh orang di luar Jawa Barat, artinya banyak warga di luar Jawa Barat kesal sama saya," kata Dedi Mulyadi.
Meski mendapatkan serangan dan sebutan negatif, Dedi Mulyadi mengaku tidak masalah.
Dedi Mulyadi menilai, warga Jawa Barat akan selalu mencintainya.
Ia lalu menantang para buzzer untuk kembali membuat konten negatif soal dirinya.
"Bagi saya enggak ada masalah, terima kasih ya telah berupaya menggiring opini agar saya dibenci oleh warga," ujar Dedi Mulyadi.
"Salam untuk para buzzer tetap semangat, bikin konten negatif sebanyak-banyaknya tentang saya,"
"Agar bapak dan ibu bisa ngebul dapurnya," imbuhnya.
Beda dari Jokowi
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi melihat perbedaan telak antara Dedi Mulyadi dan Jokowi.
"Sebenarnya kalau menyebut seorang KDM (Kang Dedi Mulyadi) versi lain dari Jokowi, Jokowi versi 2.0 itu enggak seluruhnya benar juga sih," kata Burhan, sapaan karib sang pengamat, saat bicara di program On Point with Adisty, Youtube Kompas TV, tayang Sabtu (10/5/2025).
Menurut Burhan, Dedi Mulyadi sangat artikulatif, sedangkan Jokowi tidak.
Seorang Dedi Mulyadi bisa menghadapi masalah dengan berdialog, diskusi hingga berdebat.
Burhan menyontohkan salah satu peristiwa yang membuat nama Dedi Mulyadi populer di Purwakarta.
Saat itu dia menjabat Anggota DPRD Purwakarta (1999-2004).
Setelahnya, ia menjadi Wakil Bupati dan Bupati Purwakarta.
"Kalau kita lihat jejaknya KDM ini, misalnya waktu dia menjadi anggota DPRD Purwakarta, waktu itu Purwakarta penuh dengan demo buruh."
"Ketika koleganya dari anggota DPRD Purwakarta tidak mau menemui demo-demo buruh, dia temuin. Ramai terjadi perdebatan sangat sengit gitu ya, tetapi setelah demo itu dia justru populer karena berani mendebat dan sekaligus mengajak dialog mereka yang kontrak."
"Setelah itu dia maju sebagai kepala daerah kan dan sukses," papar Burhan.
Burhan menegaskan, seorang Jokowi tidak bisa seperti Dedi Mulyadi dalam hal berdialog seperti peristiwa dengan buruh itu.
"Sesuatu yang kalau kita bayangkan seorang Pak Jokowi agak beda. Pak Jokowi itu kan lebih banyak senyum, kalau ditanya, 'Ya kok tanya saya' gitu kan," kata Burhan.
Sebaliknya, kata Burhan, Dedi Mulyadi juga tidak mungkin bersikap seperti Jokowi yang sedikit bicara.
"Itu enggak mungkin pernyataan itu keluar dari KDM. KDM pasti menjawab," jelasnya.
Salah satu faktor perbedaan Dedi Mulyadi dengan Jokowi adalah latar aktivismenya di kampus.
"Karena latar belakangnya juga beda kan. Pak Jokowi latar belakang aktivismenya waktu mahasiswa di mapala, KDM aktivis murni ini, dia aktivis di HMI, aktif di organisasi kemudaan," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.
https://jakarta.tribunnews.com/2025/...#goog_rewarded
Iya aja deh


dragunov762mm memberi reputasi
1
533
27


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan