- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Rumah Nomor 17


TS
yantosau
Rumah Nomor 17

Sudah lama rumah itu kosong. Rumah tua di ujung jalan Gang Melati, tepatnya nomor 17. Atapnya sudah ditumbuhi lumut, cat temboknya mengelupas, dan jendela kayunya berderit tiap diterpa angin. Warga sekitar menyebutnya “rumah bisu”—karena tak pernah terdengar suara dari dalamnya selama bertahun-tahun.
Namun semua berubah ketika seorang pemuda bernama **Gilang** pindah ke sana.
Gilang adalah penulis muda yang pindah dari kota ke desa untuk mencari suasana baru. Ia tertarik pada rumah nomor 17 karena harganya sangat murah dan pemilik lamanya tidak banyak tanya. “Ambil saja kalau berani tinggal,” kata si penjual sambil tersenyum aneh.
Hari pertama di rumah itu berjalan tenang. Gilang menikmati suasana sunyi yang menurutnya ideal untuk menulis novel barunya. Tapi malam hari, sesuatu mulai terasa janggal. Tepat pukul 2 dini hari, ia mendengar suara ketukan dari loteng. *Tok… tok… tok…*
Gilang naik ke atas, membuka loteng yang gelap dan berdebu. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Ia menganggap itu hanya suara kayu yang memuai. Namun malam berikutnya, suara itu kembali. Kali ini diiringi bisikan lirih. Suara perempuan.
“Pulangkan… aku…”
Gilang terbangun dengan keringat dingin. Tapi ia tetap tinggal. Rasa takut berubah menjadi rasa ingin tahu. Ia mulai menelusuri bagian-bagian rumah yang belum sempat ia jamah. Di balik lemari tua, ia menemukan **sebuah buku harian berdebu**, bertuliskan nama **Larisa**.
Isi buku itu membuat bulu kuduknya merinding.
Larisa adalah seorang gadis yang tinggal di rumah itu bersama ibunya. Ayahnya hilang saat Larisa masih kecil. Ibunya mulai berubah menjadi sosok yang aneh dan sering terkunci di kamar, berbicara sendiri. Suatu malam, Larisa menulis bahwa ibunya mencoba mengurungnya di loteng. Halaman terakhir buku harian itu berakhir dengan coretan tak beraturan dan bercak merah seperti darah.
Gilang menutup buku itu dengan tangan gemetar.
Keesokan harinya, ia bertanya ke warga sekitar. Seorang nenek tua yang tinggal sejak muda menceritakan sesuatu yang membuat darah Gilang berdesir.
“Larisa itu anak manis. Tapi suatu malam, dia menghilang. Ibunya bilang dia pergi ke rumah bibinya di kota. Tapi tak pernah ada kabar sampai ibunya sendiri meninggal. Beberapa orang bilang mereka dengar jeritan dari rumah itu malam-malam. Tapi siapa yang berani masuk? Rumah itu sudah ‘menyimpan’ sesuatu.”
Sejak itu, Gilang tak bisa tidur. Ia merasa selalu diawasi. Cermin di kamar menunjukkan bayangan perempuan berambut panjang. Buku harian Larisa kadang berpindah tempat sendiri. Gilang bahkan sempat menemukan tulisan "AKU DI SINI" di balik pintu kamar mandi.
Puncaknya terjadi pada malam ke-13.
Gilang kembali mendengar suara ketukan dari loteng. Kali ini lebih keras. Dengan berani, ia naik dan membuka pintu loteng. Tapi di sana, ia menemukan **sebuah peti kayu tua** yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Dengan tangan gemetar, ia membuka peti itu… dan menemukan **kerangka manusia kecil** yang dibungkus selimut anak-anak.
Gilang segera melapor ke polisi. Penyelidikan dilakukan. Hasil forensik menunjukkan bahwa kerangka itu memang milik seorang remaja perempuan, dan diidentifikasi sebagai Larisa dari DNA yang masih bisa cocok dengan saudara jauhnya.
Rumah itu pun akhirnya dikosongkan total dan diberi garis polisi.
Gilang pindah dari desa, membawa serta kisah nyata yang kemudian ia jadikan novel berjudul **"Anak Loteng"**. Novel itu meledak di pasaran. Namun Gilang tak pernah membahas proses penulisannya dalam wawancara.
Satu-satunya catatan ia tinggalkan di akhir bukunya, hanya satu kalimat pendek:
> *“Semoga kamu tenang sekarang, Larisa.”*
---


intanasara memberi reputasi
1
306
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan