- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Warung Kopi Tengah Hujan


TS
yantosau
Warung Kopi Tengah Hujan

Hujan deras mengguyur kota kecil itu sejak pagi. Di tengah derasnya air yang menetes dari langit, sebuah warung kopi sederhana berdiri di tikungan jalan — terbuat dari papan kayu tua dengan atap seng berkarat, diberi nama **“Kopi Pak Din”**.
Warung itu bukan sekadar tempat minum kopi. Bagi sebagian orang, itu tempat berlindung dari luka hidup yang tak terlihat oleh hujan. Dan hari itu, seorang pemuda bernama **Arga** menepi di sana, basah kuyup, wajahnya letih, matanya kosong.
“Mas, duduk saja dulu. Biar saya bikinkan kopi hitam,” ujar Pak Din, pria sepuh berusia 60-an, dengan suara serak namun ramah.
Arga tak menjawab. Ia hanya mengangguk dan duduk di bangku panjang, menatap hujan yang turun tanpa kompromi. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena beban yang tak bisa ia ceritakan.
Pak Din meletakkan secangkir kopi panas di hadapannya. Aromanya tajam, menyengat hidung, tapi menenangkan. “Kopi itu pahit, Mas. Tapi, kalau dinikmati perlahan, pahitnya malah bisa bikin tenang.”
Arga menatap Pak Din. “Pak... pernah merasa gagal total?”
Pak Din tertawa kecil. “Kalau tidak pernah, mungkin saya bukan manusia.”
Arga menghela napas panjang. “Saya kehilangan pekerjaan, tabungan saya habis. Orang tua saya mengira saya sukses di kota, padahal saya tidur di halte tiga malam ini. Tadi saya mau nekat lompat dari jembatan. Tapi hujan turun, dan entah kenapa... saya malah belok ke sini.”
Warung jadi hening. Hanya suara rintik hujan dan desir angin yang terdengar.
Pak Din duduk di seberang Arga. Ia membuka cerita tanpa diminta.
"Dulu saya punya toko elektronik. Lumayan besar. Tapi waktu krisis moneter 1998, semua hancur. Hutang, tekanan mental, istri saya sakit, dan meninggal tiga bulan setelah itu. Anak saya pindah ke luar negeri, dan saya ditinggal sendirian. Waktu itu saya juga mau mengakhiri semuanya.”
Arga tertegun. “Lalu kenapa Bapak masih di sini?”
Pak Din tersenyum, lalu menunjuk cangkir kopi. “Karena hidup, seperti kopi ini, memang pahit. Tapi bukan berarti tak layak dinikmati. Saya putuskan untuk mulai dari nol. Buka warung kecil. Sederhana. Tapi saya bertemu banyak orang. Orang sedih, orang patah hati, orang bingung mau ke mana. Dan saya sadar… saya masih bisa berguna. Walau cuma buat seduh kopi dan dengar cerita orang.”
Arga menunduk. Matanya mulai memerah. “Saya takut, Pak. Takut pulang. Takut dicap gagal. Takut kecewakan semua orang.”
Pak Din menepuk bahunya pelan. “Nak… hidup bukan tentang menang atau kalah. Tapi tentang bangkit atau menyerah. Kamu cuma perlu satu alasan buat terus hidup. Dan kadang, alasan itu sesederhana… secangkir kopi hangat di tengah hujan.”
Arga menatap ke luar. Hujan mulai mereda. Jalanan masih basah, tapi langit mulai terang.
“Pak… boleh saya bantu di warung ini?”
Pak Din terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Boleh. Tapi syaratnya satu: jangan pernah berhenti berharap.”
---
### **Epilog**
Lima tahun kemudian, warung kopi itu tetap berdiri. Tapi kini, namanya berubah: **“Kopi Tengah Hujan”**. Arga menjadi pemiliknya. Ia tak pernah lupa hari ketika hujan menyelamatkannya, dan seorang pria tua memberinya secangkir harapan.
Setiap sore, ia menulis satu kalimat di papan kecil di depan warung:
> “Kamu tidak gagal. Kamu hanya sedang berhenti sebentar.”
---






andrik.02 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
331
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan