- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Di Balik Kabut Senja


TS
yantosau
Di Balik Kabut Senja

Di sebuah desa kecil yang diselimuti kabut hampir sepanjang tahun, tinggal seorang pemuda bernama Raka, anak tunggal dari seorang tukang kayu yang tinggal di pinggir hutan. Sejak kecil, Raka hidup sederhana. Ibunya telah tiada sejak ia berusia lima tahun, dan ayahnya, Pak Darmo, membesarkannya seorang diri dengan tangan kasar dan hati yang lembut.
Meski hidup dalam keterbatasan, Raka tumbuh menjadi anak yang cerdas dan bersemangat. Ia sangat suka membaca, meski buku-buku yang dimilikinya hanyalah buku bekas dari sekolah desa yang robek dan lusuh. Setiap malam, ia membaca di bawah cahaya lampu minyak sambil mendengarkan suara jangkrik dan angin yang meniup daun-daun jendela.
Cita-cita Raka sederhana tapi besar: ia ingin menjadi guru, agar anak-anak di desanya bisa bermimpi setinggi bintang, seperti dirinya.
Namun, kenyataan tidak seindah harapan. Setelah lulus SMP, Raka tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Ayahnya semakin tua dan sakit-sakitan. Untuk bertahan hidup, Raka mulai bekerja membantu warga desa: mengangkat kayu, membersihkan ladang, bahkan menggali sumur. Ia melakukan apa saja, selama itu halal.
Tapi semangatnya tak padam.
Setiap malam, ia tetap belajar sendiri. Ia menulis di buku catatan bekas, membaca ulang pelajaran SMP, dan berdoa dengan sungguh-sungguh agar suatu hari ia bisa melanjutkan sekolah. Hingga suatu hari, sebuah pengumuman datang dari balai desa: ada program beasiswa untuk anak desa berprestasi yang putus sekolah.
Dengan penuh harap, Raka mendaftar.
Ia mengikuti tes seleksi di kota kecamatan, menempuh perjalanan sejauh 25 kilometer dengan berjalan kaki dan menumpang truk sayur. Di sana, ia bersaing dengan puluhan pemuda lain. Namun takdir baik berpihak padanya: Raka lulus! Ia mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan SMA dan kuliah di kota!
Tangis bahagia meledak di pelukan ayahnya saat mendengar kabar itu.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Di tahun terakhir SMA, ayahnya jatuh sakit parah. Raka harus memilih: tetap belajar di kota atau pulang merawat ayahnya.
Tanpa ragu, ia memilih pulang.
Ia meninggalkan bangku sekolah, meninggalkan beasiswanya, dan kembali ke desa. “Ayah lebih penting dari semua mimpi,” katanya. Ia merawat ayahnya dengan sabar, memberinya makan, mencuci, hingga mengganti pakaiannya setiap hari. Sampai akhirnya, pada suatu malam yang dingin, Pak Darmo menghembuskan napas terakhir di pelukan anaknya.
Raka kehilangan segalanya. Beasiswa hangus. Cita-cita tampak jauh. Tapi hatinya tetap teguh.
Selama dua tahun berikutnya, ia tinggal di desa. Mengajar anak-anak kecil membaca dan menulis di gubuk kayu miliknya secara gratis. Ia percaya, "Jika aku tidak bisa ke sekolah, biar aku yang membuat sekolah datang ke mereka."
Semangat Raka menyebar. Warga mulai menyumbang papan tulis, buku-buku, bahkan meminjamkan ruangan. Lalu, suatu hari, seorang wartawan lokal datang dan menulis kisahnya. Artikel itu viral.
Pemerintah pun turun tangan.
Raka diundang ke kota. Ia diberi beasiswa kuliah dan didaulat sebagai inspirasi nasional dalam bidang pendidikan desa. Ia akhirnya lulus menjadi sarjana pendidikan, dan kembali ke desa, bukan sebagai pemuda biasa—tapi sebagai guru yang pernah dikorbankan oleh waktu, namun tak pernah dikalahkan oleh nasib.
Kini, gubuk kecil itu telah menjadi sekolah desa resmi. Di depannya tertulis papan kayu sederhana:
"Sekolah Kabut Senja – Tempat Mimpi Tidak Pernah Mati."
📝 Pesan Moral:
Hidup akan menguji keteguhanmu dengan kehilangan, pengorbanan, dan kesabaran. Tapi selama hatimu tetap percaya pada kebaikan, semua yang kau tanam akan tumbuh, pada waktunya.


intanasara memberi reputasi
1
60
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan