- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Surat yang Tak Pernah Sampai


TS
yantosau
Surat yang Tak Pernah Sampai

Hujan turun deras sore itu, membasahi gang sempit tempat tinggal Naya di kawasan pinggiran kota. Hujan selalu membawanya pada kenangan lama yang sulit ia hapus—tentang seseorang yang pernah ia tunggu bertahun-tahun, tapi tak pernah kembali.
Naya duduk di ambang jendela rumah kontrakannya. Di tangannya ada sebuah kotak kayu kecil yang sudah mulai lapuk. Ia membuka perlahan dan mengeluarkan tumpukan surat-surat lama yang telah menguning. Semuanya dari satu orang—Raka.
Empat tahun lalu, Naya dan Raka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai dalam diam dan sederhana. Mereka bukan pasangan yang banyak menuntut, tapi mereka punya satu impian bersama: keluar dari kota kecil itu dan hidup di tempat baru yang lebih baik.
Namun takdir berkata lain. Pada malam ulang tahun Naya yang ke-22, Raka tiba-tiba menghilang. Tak ada pesan, tak ada perpisahan. Hanya kabar samar dari teman-teman bahwa ia pergi ke Jakarta mengejar pekerjaan.
Naya hancur. Ia merasa dibuang tanpa penjelasan. Bertahun-tahun ia mencoba melupakan, mencoba memulai hidup baru, namun luka itu seperti tak pernah sembuh sepenuhnya. Hingga suatu hari, seorang kurir datang membawa sebuah kantong besar berisi surat-surat yang ternyata tidak pernah sampai padanya.
Empat tahun lalu, saat Raka sampai di Jakarta, ia langsung mengirimkan surat pada Naya. Ia tak punya telepon pintar kala itu, dan akses sinyal di tempat tinggal Naya juga buruk. Raka bekerja sebagai buruh bangunan sambil menulis surat hampir setiap minggu. Ia bercerita tentang perjuangannya, kerinduannya, dan rencana untuk menjemput Naya setelah ia punya cukup tabungan.
Namun entah mengapa, tak satu pun suratnya sampai. Ternyata, alamat yang ia tulis salah satu huruf: "Gg. Cempaka" menjadi "Gg. Cempuka". Rumah di alamat itu kosong dan tak berpenghuni, tapi surat-surat terus ditumpuk oleh seorang tetua pos yang tak tega membuangnya. Hingga akhirnya, petugas baru menemukan tumpukan surat itu saat membersihkan kantor pos lama.
Naya membaca satu per satu surat itu sambil menangis. Raka tak pernah meninggalkannya. Ia hanya salah menulis satu huruf.
Sementara itu, di sudut Jakarta, Raka duduk termenung di warung kopi tempat ia biasa istirahat usai bekerja. Wajahnya lebih dewasa sekarang, ada sedikit garis kelelahan di matanya. Di sakunya, selalu ada satu foto kecil: Naya, dengan senyum malu-malu di bawah pohon flamboyan.
Ia masih menunggu. Tapi kini ia tak lagi menulis surat. Ia hanya diam dan berharap suatu hari takdir akan mempertemukan mereka lagi.
Dua bulan kemudian, Naya memberanikan diri pergi ke Jakarta. Berbekal alamat yang disebut dalam salah satu surat terakhir, ia menyusuri jalan-jalan di daerah Kalideres. Ia gugup, takut jika Raka sudah tidak di sana. Tapi langkahnya terus bergerak, didorong harapan dan penyesalan yang menumpuk terlalu lama.
Dan di sanalah ia melihatnya—di bangku kayu dekat warung kopi. Lelaki yang dulu ia kenal, kini duduk sendiri sambil menatap hujan.
"Raka..." bisik Naya pelan.
Raka menoleh. Matanya membelalak, dan sesaat waktu seolah berhenti.
"Aku dapat semua suratmu... Tapi mereka tak pernah sampai dulu," kata Naya sambil menahan tangis.
Raka berdiri. "Jadi... kamu tahu aku nggak pernah ninggalin kamu?"
Naya mengangguk. Mereka tak bicara banyak lagi. Tak perlu. Hujan sore itu menjadi saksi bahwa salah paham bisa menghancurkan banyak hal, tapi juga bisa mempertemukan dua hati yang masih utuh meski lama terpisah.
Pesan Moral:
Kadang, satu huruf yang salah bisa mengubah takdir. Tapi cinta sejati, selalu menemukan jalannya kembali.






tatikartini dan 3 lainnya memberi reputasi
4
133
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan