- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Saronde: Cinta dari Ujung Pantai


TS
yantosau
Saronde: Cinta dari Ujung Pantai

Langit Gorontalo memerah saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Debur ombak Pelabuhan Kwandang terdengar lembut, seperti alunan musik pengantar malam. Di kejauhan, Pulau Saronde tampak seperti bayangan tenang yang menyimpan banyak rahasia.
Di tepi dermaga, seorang pemuda bernama Fadel duduk bersandar di perahu kayu miliknya. Kulitnya legam terbakar matahari, matanya tajam menatap laut lepas. Ia adalah anak seorang nelayan yang sejak kecil terbiasa hidup dengan angin laut dan suara camar.
Namun Fadel bukan sekadar nelayan biasa. Ia menyimpan impian besar: mengangkat kembali kejayaan wisata laut Gorontalo, terutama Pulau Saronde yang kini mulai dilupakan.
Setiap malam, Fadel menulis ide-ide dalam buku catatannya—tentang penginapan ramah lingkungan, festival budaya Saronde, hingga program belajar selam bagi anak-anak desa. Tapi ia sadar, ide sebesar itu butuh lebih dari sekadar tekad—ia butuh dukungan, dan mungkin, keajaiban.
---
Suatu pagi, saat Fadel membersihkan perahunya, seorang perempuan asing datang menghampiri. Ia mengenakan topi jerami lebar, kaca mata hitam, dan membawa ransel besar. Namanya Riani, mahasiswi antropologi dari Yogyakarta yang sedang meneliti budaya pesisir Gorontalo.
"Maaf, Kak... bisa antar saya ke Saronde?" tanyanya dengan logat Jawa halus.
Fadel mengangguk, dan tanpa banyak bicara, mereka pun berangkat. Laut tenang, dan sepanjang perjalanan Riani banyak bertanya: tentang upacara adat, makanan khas seperti bilenthango, hingga kisah rakyat Hulontalangi.
Di Saronde, Riani takjub. Pasirnya seputih tepung, airnya sebening kristal, dan hutan kecil di tengah pulau menyimpan suara burung-burung endemik. Tapi yang membuatnya betah bukan hanya alamnya—melainkan cara Fadel berbicara penuh cinta tentang tempat itu.
"Apa yang kamu harapkan dari pulau ini?" tanya Riani suatu sore.
Fadel menatap cakrawala. "Agar anak-anak nanti tahu, bahwa tanah mereka ini kaya, indah, dan bisa dibanggakan. Aku ingin Saronde jadi lambang harapan."
---
Hari berganti minggu. Kedekatan Fadel dan Riani tumbuh. Bersama, mereka membuat dokumentasi tentang cerita rakyat Gorontalo. Mereka mewawancarai tetua kampung, memotret nelayan yang sedang menganyam jala, bahkan menyaksikan tarian Saronde yang dibawakan saat malam bulan penuh.
Namun, hari kepergian Riani tiba. Ia harus kembali ke Yogyakarta.
"Aku akan kembali," katanya di dermaga. "Tapi kali ini, bukan sebagai peneliti. Aku akan bawa teman-teman, sponsor, dan pengakuan."
Fadel hanya mengangguk, menahan gelombang di dadanya. Ia tahu, cinta sejati tidak selalu tinggal di satu tempat, tapi selalu tahu jalan untuk kembali.
---
Enam bulan kemudian, dermaga Kwandang tak pernah seramai ini. Puluhan orang datang dari berbagai kota: mahasiswa, vlogger, wartawan, bahkan perwakilan kementerian pariwisata. Semua ingin melihat “keajaiban tersembunyi” yang disebut Riani dalam vlog-nya yang viral: **“Saronde, Surga yang Terlupakan.”**
Fadel berdiri di tepi pantai, mengenakan baju adat berwarna biru tua. Di sampingnya, Riani tersenyum, kini bukan lagi sebagai tamu, tapi bagian dari perjuangan.
Malam itu, festival Saronde pertama dibuka. Ada tarian, musik karambangan, pameran kerajinan tangan, dan pembacaan puisi berbahasa Gorontalo. Tapi bagian yang paling menyentuh hati semua orang adalah saat Fadel naik ke atas panggung dan berkata:
"Pulau ini bukan hanya tempat tinggal. Ini adalah cerita. Cerita tentang tanah, laut, dan manusia yang percaya bahwa keindahan tak harus dicari jauh-jauh. Kadang, cukup dengan mendengarkan angin, dan percaya pada mimpi."
Tepuk tangan bergemuruh. Di atas langit Saronde, kembang api meledak, menyala seperti harapan yang akhirnya menyentuh bintang.
---


intanasara memberi reputasi
1
74
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan