- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Lelaki Penjaga Angin


TS
yantosau
Lelaki Penjaga Angin

Di sebuah desa terpencil di lereng Gunung Rinjani, hidup seorang lelaki tua bernama Raka. Tidak ada yang tahu pasti berapa usianya. Rambutnya seputih kabut pagi, matanya setenang telaga, dan langkahnya selalu pelan seolah mengikuti irama angin yang berembus pelan dari gunung.
Orang-orang desa menyebutnya *Penjaga Angin*. Konon, setiap kali angin berembus terlalu kencang hingga merobohkan pohon atau merusak atap rumah, lelaki tua itu akan muncul dari balik kabut dan menenangkan badai hanya dengan menatap langit dan berbisik pelan.
Anak-anak menyukai cerita itu, tapi orang dewasa menganggapnya cuma dongeng. Mereka tahu Raka memang tinggal sendirian di pondok kecil di pinggir hutan pinus, tapi mereka mengira kehadirannya di saat-saat badai hanyalah kebetulan.
Namun, Dira—seorang anak laki-laki berusia 12 tahun—percaya. Ia pernah melihat sendiri Raka berdiri di tengah ladang saat angin kencang mengamuk. Dengan tangan terangkat dan mata terpejam, lelaki tua itu seperti berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat. Tak lama kemudian, angin reda, dan suasana kembali tenang.
Dira penasaran. Suatu malam, ia diam-diam mengikuti Raka yang berjalan ke arah hutan setelah senja. Bulan menggantung rendah, dan udara dingin menyelimuti desa. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara dedaunan yang menyambut langkah mereka.
Akhirnya, Raka berhenti di sebuah batu besar yang ditumbuhi lumut. Ia berlutut dan menyentuh tanah. Dira melihat dari balik semak.
Lelaki tua itu berbicara, tapi bukan pada dirinya sendiri. Ia berkata, “Sudah waktunya, Kawa. Bumi tak bisa terus menampung murka kalian. Biarkan manusia belajar dari kesalahan mereka sendiri.”
Dira menahan napas. Tiba-tiba, angin kencang berembus turun dari atas bukit, tapi alih-alih merusak, angin itu seperti menari, mengitari Raka, lembut, nyaris seperti pelukan.
Lalu Raka berdiri, dan memandang ke arah Dira. “Keluar saja. Kau sudah lama mengintip.”
Dira terkejut, tapi ia keluar dengan ragu. “Maaf... aku cuma ingin tahu... apakah cerita itu benar...”
Raka tersenyum tipis. “Angin bukanlah hanya udara yang bergerak. Mereka makhluk tua, jauh lebih tua dari manusia. Mereka pernah membisikkan rahasia langit pada leluhur kita. Tapi manusia sekarang tak mendengar lagi.”
“Lalu... kenapa kakek bisa berbicara dengan mereka?” tanya Dira, matanya berbinar.
Raka menatap langit. “Karena aku mendengarkan.”
Sejak malam itu, Dira sering datang ke pondok Raka. Ia belajar mendengarkan suara angin, bukan sekadar hembusannya, tapi pesannya. Ia belajar kapan angin membawa kabar buruk, kapan ia membawa kesuburan, dan kapan ia hanya datang untuk menenangkan hati yang gelisah.
Tahun demi tahun berlalu. Raka akhirnya wafat dalam tidurnya, diiringi angin lembut yang turun dari gunung.
Kini, di pondok tua itu, tinggal seorang lelaki muda yang suka duduk di depan pintu sambil memejamkan mata. Anak-anak desa menyebutnya *Penjaga Angin Baru*.
Dan setiap kali badai datang, suara seorang lelaki muda terdengar membisik pelan ke langit, seperti menyampaikan pesan, atau mungkin—meminta izin.
---


intanasara memberi reputasi
1
23
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan