- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kertas-kertas yang Tak Pernah Dibuang


TS
yantosau
Kertas-kertas yang Tak Pernah Dibuang

Di sebuah kota kecil bernama Langit Biru, terdapat toko buku tua yang terjepit di antara dua bangunan modern. Namanya “Arsip Waktu.” Tidak banyak yang tahu toko itu masih buka, karena catnya mengelupas, papan namanya nyaris runtuh, dan pintunya berderit seperti menjerit tiap kali dibuka.
Pemiliknya adalah pria tua bernama Pak Mardan. Rambutnya putih semua, matanya tajam, dan jalannya lambat tapi pasti. Ia tinggal sendirian, tanpa istri, anak, atau kerabat yang sering datang.
Namun ada satu hal aneh dari toko itu: semua buku yang dijual adalah bekas, tapi tak satu pun boleh dibeli sebelum Pak Mardan membacakan sepenggal isi buku tersebut. Katanya, “Setiap buku punya kenangan, dan kau harus mendengar kisahnya dulu sebelum membawanya pergi.”
Suatu hari, datanglah seorang jurnalis muda bernama Raka. Ia mendengar rumor bahwa “Arsip Waktu” menyimpan koleksi naskah tua yang tak pernah diterbitkan, bahkan konon menyimpan tulisan tangan penulis besar yang hilang secara misterius.
“Pak, boleh saya lihat bagian belakang toko ini?” tanya Raka, sopan.
Pak Mardan menatapnya lama. “Kalau kau hanya mencari berita, lebih baik pergi. Tapi kalau kau ingin tahu kebenaran, bersiaplah untuk tak bisa kembali sama.”
Raka tergelak. “Saya wartawan, Pak. Risiko itu makanan saya sehari-hari.”
Malam itu, Pak Mardan mengunci pintu toko dan mengajak Raka masuk ke ruang belakang. Di sana, berjajar rak-rak kayu penuh dengan kertas usang, catatan tangan, puisi, surat cinta, dan naskah novel yang belum selesai.
“Semua ini,” kata Pak Mardan, “adalah tulisan yang tidak pernah selesai, tidak pernah dikirim, atau tidak pernah dibaca. Tapi mereka tetap hidup di sini. Menunggu seseorang… yang mau mendengarkan.”
Raka mengambil selembar kertas dengan tinta pudar. Di sana tertulis: *“Aku tahu kau membaca ini setelah aku tiada. Tapi jika cinta bisa menyebrangi waktu, biarkan aku kembali melalui kata-kata.”*
Seketika, ruangan terasa lebih dingin. Lampu redup berkedip. Rak buku bergetar pelan. Raka menoleh ke Pak Mardan, tapi pria tua itu memejamkan mata seperti sedang mendengar musik yang tak terdengar.
“Banyak orang berpikir tulisan adalah benda mati,” bisik Pak Mardan. “Tapi mereka lupa bahwa setiap huruf adalah napas penulisnya. Dan kadang, napas itu belum berhenti…”
Raka menginap malam itu di toko. Ia terus membaca tulisan demi tulisan—surat pengakuan, naskah puisi patah hati, jurnal perjalanan seorang penjelajah yang hilang, hingga coretan anak kecil yang berkata, *“Ayahku janji akan pulang. Tapi tak pernah datang.”*
Setiap tulisan membuat suasana berubah. Kadang hangat seperti pelukan, kadang menyeramkan seperti bayangan di sudut ruangan. Tapi satu hal pasti: mereka terasa hidup.
Keesokan paginya, Raka menulis artikel berjudul **“Toko Buku yang Menyimpan Nyawa”**, tapi saat hendak mengirimnya ke redaksi, ia ragu. Bukan karena takut tak dipercaya, tapi karena ia tahu: begitu tulisan itu keluar, toko itu akan ramai, dan rahasia akan hilang.
Akhirnya, ia menyimpan artikel itu. Ia datang lagi ke “Arsip Waktu” minggu berikutnya, dan minggu berikutnya lagi. Tak sebagai jurnalis, tapi sebagai pendengar.
Beberapa bulan kemudian, Pak Mardan meninggal dalam tidur. Tapi toko tidak tutup. Raka, entah mengapa, kini yang berdiri di balik meja, menyambut setiap tamu dengan senyum dan berkata:
> “Setiap buku punya kenangan. Dan kau harus mendengarnya dulu sebelum membawanya pergi.”
---




riodgarp dan intanasara memberi reputasi
2
136
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan